Lamaran Indah

1096 Kata
Winda menatap dalam kekasihnya, terlihat jelas binar kebahagiaan di wajahnya. Ia tersenyum, tapi air bening menyeruak dari pelupuk matanya. “Hei kenapa menangis? Kau tidak senang?” tanya Rizal sembari menghapus air bening itu dari pipi sang kekasih. “Bodoh, kau sedang menawarkan hal yang selama ini aku impi-impikan, bisa-bisanya aku tidak senang? aku justru sangat bahagia!” ucap Winda sambil tersenyum. “Kalau bahagia, air mata tidak boleh muncul dari matamu ini. Hanya senyuman yang akan menghiasi wajahmu mulai sekarang. Aku tidak ingin ada air mata sekalipun itu adalah air mata kebahagiaan. Jangan menangis lagi karena tangisan identik dengan kesedihan dan aku tidak suka kau bersedih di hari bahagia ini,” ucap Rizal sambil mencium kening sang kekasih dengan sangat lembut. “Baiklah, aku tidak akan menangis lagi, sekarang pasangkan cincin itu di jariku,” ucap Winda. Rizal tersenyum, ia pun meraih tangan putih lembut itu dan meremasnya dengan lembut. Wajah Winda memerah, apalagi saat mata elang Rizal memandangnya dengan dalam. Sungguh, ketampanan dan kelembutan Rizal tiada tandingannya. Jika diberi pilihan apapun, ia akan rela melakukan apa saja demi terus memiliki pria yang menjadi kekasihnya ini. Winda benar-benar semakin jatuh cinta dengan kekasihnya ini. Rizal dengan lembut menyematkan cincin itu di jari manis Winda lalu menciumnya dengan penuh kelembutan. “Braakkk…!” di saat yang sama, salah satu bingkai foto yang terpajang di atas lemari hias tiba-tiba jatuh dan mengejutkan mereka. Seorang pelayan dengan cepat keluar dan memungut pecahan kaca di bingkai itu. “Ini foto nona Winda…” ujar pelayan itu sambil mengeluarkan sebuah foto dari bingkai yang sudah hancur itu. “Oh, tidak apa-apa, Bi. berikan foto itu padaku,” ucap Winda. Pelayan itu lalu menyerahkan foto itu kepada Winda. Gadis itu terlihat termenung menatap foto yang ada ditangannya. Rizal menyadari jika kekasihnya itu merasa kurang suka kejadian yang tiba-tiba itu, karena seperti kepercayaan banyak orang, jika foto tiba-tiba terjatuh tanpa sebab, itu merupakan firasat akan terjadinya hal buruk. Tapi Rizal sama sekali tidak mempercayai takhayul itu. Baginya, semua yang terjadi adalah takdir yang tidak bisa dihindari dan bukan karena adanya kejadian atau firasat tertentu. Jika pun memang terjadi sesuatu setelah tanda itu, itu hanya merupakan hal yang seharusnya kita anggap sebagai kejadian yang kebetulan. “Kau kaget?” tanya Rizal sambil menyentuh pundak Winda. Winda menatap Rizal dengan senyum getir. “Aku tidak yakin tapi entahlah, perasaanku tidak enak. kenapa fotoku tiba-tiba jatuh saat kita merasakan kebahagiaan ini?” ucap Winda. “Sayang, kita tidak boleh mengaitkan sesuatu yang terjadi dengan hal-hal yang buruk. Bisa saja bingkai foto itu terjatuh karena memang posisinya yang labil atau ditiup angin. Pintunya kan terbuka tadi,” ucap Rizal mencoba mengurangi rasa cemas Winda. “Iya, aku tahu, tapi tetap saja.” “Sstt… jangan mendahului ketetapan Tuhan dengan prasangka yang tidak baik. Kau tahu, sesuatu yang kita pikirkan biasanya itulah yang akan terjadi. Coba kau alihkan pikiran negatifmu itu dengan harapan indah yang akan kita hadapi nanti, maka itulah yang akan terjadi,” ucap Rizal kembali mencoba meyakinkan kekasihnya. “Iya, akan aku coba. Lagipula, apa untungnya memikirkan sesuatu yang buruk-buruk padahal kebahagiaan sudah ada di depan mata. Terima kasih telah menenangkanku, sayang,” ucap Winda. Ia bersyukur karena Rizal tidak menyudutkannya saat kejadian seperti ini. Berbeda dengan keluarganya yang sangat mempercayai hal-hal seperti itu. Ia jadi semakin tidak sabar ingin menikah dengan Rizal dan hidup berdua bersama dengan pria yang amat ia cintai itu. Rizal kembali memeluknya, meyakinkannya jika apa yang baru saja terjadi hanyalah kebetulan belaka. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan dan masa depan mereka. Setidaknya itulah keyakinannya. Selebihnya semua akan ditetapkan oleh yang maha penentu takdir. “Kau tidak perlu memikirkan yang lainnya, cukup pikirkan kuliah dan setelah lulus nanti, kembalilah dan hidup bersamaku. Karena itu adalah masa depan yang kita cita-citakan bersama,” ucap Rizal sambil mendekap hangat Winda. Betapa indah perasaan bahagia yang Winda rasakan, hatinya seakan mau meledak saja karena tak mampu membendung rasa senang yang membuncah. Lamaran ini adalah sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Ia jadi semakin bersemangat untuk segera menyelesaikan kuliahnya dan kembali pulang ke sisi kekasihnya. “Ah, aku jadi tidak sabar, Rizal. Bisakah kita nikah saja sekarang?” rengek Winda sambil bergelayut maja di lengan Rizal. “Kita akan menikah jika orang tuamu merestui, bukankah, salah satu syarat orang tuamu merestui hubungan kita yaitu kau harus menyelesaikan kuliahmu dulu?” sanggah Rizal sambil menarik hidung mancung sang kekasih dengan gemas. “Aku takut berpisah denganmu, kau tahu. Semakin lama aku merasa semakin mencintaimu, Rizal. Aku tidak ingin melihatmu tersenyum dengan perempuan lain. Apa aku terlalu terobsesi padamu? aku jadi takut,” ucap Winda. “Kalau begitu kau juga harus di terapi..” ucap Rizal menggoda. “Ih, memangnya aku salah satu pasienmu, tapi aku senang sih, diterapi oleh dokter tampan sepertimu..” ucap Winda. “Kau akan menjadi pasien kesayanganku, karena pasien ini akan menemani hidupku selamanya,” balas Rizal. Ia lalu menatap Winda dengan tatapan dalam. “Aku mencintaimu,” ucapnya. “Kalau begitu, kau harus membuktikan cintamu itu baru aku akan percaya,” ucap Winda. Senyum misteriusnya tersungging. Dan Rizal tahu maksud nakal kekasihnya itu. Ia pun dengan cepat mendekatkan wajahnya di bibir Winda lalu menciumnya sebentar. “Nah, itu. Aku sudah memberikanmu bukti,” ucap Rizal. “Ih kau curang! Kok ciumnya sebentar saja, sih? Aku mau lagi…” rengek Winda. Rizal menggeleng. Pria tampan itu berdiri dan lari menjauh saat Winda bersikeras menghampirinya. Dan Begitulah, mereka melewati malam itu dengan candaan yang membuat keduanya dipenuhi kebahagiaan. Sementara itu, Lina sedang termenung di sebuah restoran tempatnya makan. Ia tampak sendiri dan terlihat gelisah. Sesekali ia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Tak lama seorang wanita muncul dan berjalan menuju ke arahnya. “Maaf sayang, aku membuatmu menunggu…” sapa wanita itu sambil tersenyum. Ia hendak memeluk Lina tapi gadis itu menghindar. Lina menatap tajam wanita itu, untuk wanita yang berumur 40-an, penampilannya masih berani. Mungkin karena ia merasa dirinya cantik, Lina akui wajah dan kulitnya memang masih terbilang cantik. Bahkan sangat terawat. Jika dibandingkan dengan wanita seumurannya, wanita itu jauh lebih muda. Sebenarnya siapa wanita ini dan apa pekerjaannya. Lina terus bertanya-tanya dalam hati. “Kau tidak perlu banyak basa basi. Katakan apa maumu, kenapa kau berani-beraninya mengancamku untuk datang kemari?” ucap Lina dengan dingin. “Sayangku, jangan tergesa-gesa begitu. Ini bahkan baru permulaan. Karena nantinya kita akan selalu bertemu untuk suatu kesepakatan,” ucap wanita itu sambil meminum minuman yang ada di depannya. “Kesepakatan apa maksudmu?” Lina terkejut. Apa maksud dari ucapab wanita ini? “Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku, hah…!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN