Bab 1
Rizal Abinaya Daffin, seorang psikiater tampan putra semata wayang dari salah satu politikus sekaligus konglomerat terhormat. Tubuh tinggi atletis 185 cm dengan wajah yang selalu membuat semua pasiennya ingin betah berlama-lama di rawat olehnya. Wajah tampan dan teduh itu sudah banyak membuat hati para wanita patah.
Sikap ramah dan penuh perhatian membuat para wanita itu terbuai dengan perasaan yang mereka ciptakan sendiri dari ilusi mereka. Hingga, ada yang berani menyatakan perasaan secara terang-terangan, tapi banyak pula yang mencintai sang dokter tampan dalam diam. Akan tetapi, sangat disayangkan mereka harus menelan pil pahit patah hati karena Rizal ternyata sudah memiliki tambatan hati yang begitu sangat ia cintai.
Pagi itu Rizal sudah rapi dan sangat tampan, kemeja biru navi dipadukan dengan celana panjang bahan berwarna hitam khas kantoran. Rambutnya di sisir kebelakang, ia terlihat sangat berkharisma. Sebenarnya, ia sendiri adalah salah satu pewaris Abinaya grup, perusahaan keluarga Abinaya yang terkenal seantero negeri. Bahkan cabangnya sudah merambah ke ranah internasional. Keluarga Abinaya sudah terkenal sejak lama, pendiri pertama perusahaan yang bergerak di bidang otomotif , ia adalah kakek Abinaya Marques Daffin. Pria berdarah Eropa yang menikah dengan salah satu gadis cantik pribumi. Ia adalah kakek dari Rizal.
Pria yang sangat menjunjung tinggi prinsip hidup yaitu bekerja tanpa mengenal lelah dan menjadikan pekerjaan adalah sesuatu yang menyenangkan. Alih-alih menjadikan pekerjaan itu adalah bentuk keharusan untuk menghasilkan uang, kakek Abi selalu berkata, jadikanlah perkerjaan itu sebagai teman hidup yang paling menyenangkan, sehingga kau tidak perlu takut untuk terbebani. Dari perasaan senang itulah, akan muncul ide-ide cemerlang yang semakin membuatmu lebih produktif tanpa batas.
Hal itu yang selalu ditekankan oleh kakek Abi, menanamkan prinsip sukses untuk semua anak cucunya sehingga perusahaan besar itu berkembang hingga sekarang. Hal itu pula yang menjadikan ayah Rizal tidak begitu memaksakan sang putra untuk terjun ke dunia bisnis, sang ayah Pramudia Abinaya Daffin, membiarkan Rizal memilih apa yang Rizal inginkan. Hasilnya, Rizal memilih untuk menjadi seorang dokter ahli jiwa dimana pekerjaan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia bisnis yang digeluti ayahnya.
Saat ini Rizal seperti biasa akan berangkat kerja. Ia hanya tinggal sendiri di apartemen mewah miliknya, orang tuanya tinggal di kota yang berbeda, mereka hanya mengunjungi Rizal beberapa bulan sekali untuk memeriksa kondisi yang putra.
Rizal terlihat sudah siap ke klinik miliknya, memasuki mobil Porsche hitam, Rizal benar-benar sangat bersinar, menyilaukan mata. Memakai kaca mata hitam, dan melaju.
Ponselnya berbunyi, ia melirik ke arah monitor yang tersambung ke ponsel. My future terlihat di layar. Senyumnya seketika terbit, ia menekan tombol hijau pada layar monitor .
“Halo sayang , kamu belum tidur? ini kan sudah jam 11 malam, di Taronto sana. Apa kau berniat begadang lagi?” sapanya penuh perhatian.
“Hmm.. belum. Mataku tidak bisa terpejam, aku sudah tidak sabar lagi ketemu kamu. Aku sudah kangen sama kamu, tapi waktunya masih lama.” Suara manja dari seberang terdengar. Rizal kembali tersenyum.
“Iya, aku juga merasakan hal yang sama sayang, tapi jangan hal itu kau jadikan alasan untuk begadang. Kau harus selalu memperhatikan kesehatanmu, sebaiknya kau tidur sekarang supaya besok pagi kau bangun cepat dan kuliah yang benar agar nanti permintaan cutimu cepat disetujui. Kita pasti akan bertemu, hanya perlu sedikit bersabar. Kau tahu, aku bahkan terus memimpikan hari bahagia kita nanti. Saat pertunangan kita di gelar. Hari itu akan menjadi hari yang paling bahagia dalam hidupku, aku juga sudah menunggu lama untuk itu. Aku sangat mencintaimu Wulan, aku ingin sekali segera memilikimu,” ucap Rizal dengan penuh keseriusan.
“Ouhh.. itu sangat manis sekali, sayang. Aku juga mencintaimu dan aku sangat bahagia mendengar ucapanmu. Oh iya, kamu sedang apa sekarang?”
“Aku sedang dalam perjalanan menuju klinik. Ada pasien baru yang aku harus tangani,” jawab Rizal sambil terus fokus menyetir.
“Hmm, pria atau wanita?” Wulan bertanya lagi, dan kali ini gadis itu seakan ingin tahu.
“Loh, kenapa kau tumben-tumbennya menanyakan hal itu ? apakah komitmen kepercayaan kita sudah memudar?” Rizal balik bertanya, ia sedikit kaget. Tidak biasanya kekasihnya itu menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan tentang pasiennya. Kecuali jika Rizal bercerita atau curhat dengannya tentang beberapa masalah pasien yang cukup pelik.
Selama ini Wulan tidak pernah ingin tahu tentang bagaimana dan siapa yang menjadi pasiennya atau apa yang dia lakukan dalam proses penyembuhan pasien-pasien Rizal. Tetapi pertanyaan Wulan sekarang sedikit membuatnya bingung.
“Tidaklah sayang, aku akan menjaga prinsip itu karena aku sangat mempercayaimu. Hatiku tidak pernah ragu sedikit pun kepadamu. Tapi yah, aku cuma mau tau saja seperti apa pasienmu yang sekarang, lagi pula tidak ada salahnya kan, kalau aku mengetahui sedikit tentang mereka?” ujar Wulan.
Rizal menghela nafas dalam.
“Pasienku ini adalah putri dari salah satu kolega bisnis papa, om Kizara memintaku secara khusus untuk menyembuhkan sikap psikopat putrinya itu. Aku juga belum melihat pasien itu sih, yah semoga dia tidak terlalu membuatku susah saja. Om Kizara sangat baik, beliau juga sudah aku anggap seperti orang tuaku sendiri, makanya aku akan berusaha untuk membantu beliau,” jelas Rizal, dia memutar stir dan berbelok ke halaman sebuah bangunan berlantai 3 miliknya.
“Iya sayang, aku doakan kali ini kau juga akan berhasil seperti biasa. Kau pasti bisa dengan mudah menyembuhkan pasien-pasienmu. Kau adalah penyembuh mereka, dan aku yakin suatu hari nanti kau akan menjadi seorang psikiater handal yang terkenal,” ucap Wulan dengan suara lembut dan tulus. Rizal bisa merasakan kehangatan mengalir dalam relung hatinya mendengar untaian doa tulus dari kekasihnya itu.
“Terima kasih, sayang. Dan kau akan menjadi wanita yang paling bahagia memiliki suami seorang ahli jiwa terkenal. Seperti aku yang juga akan sangat bangga memiliki istri seorang dokter spesialis bedah yang cantik dan cerdas sepertimu.” Rizal kemudian menimpali ucapan sang kekasih dengan tak kalah semangatnya.
“Hiks..hiks…” Rizal terkejut mendengar suara tangis dari seberang.
“Hei kau kenapa sayang, kenapa tiba-tiba menangis?!” Rizal bingung.
“Hiks.. aku hanya terharu mendengar ucapanmu barusan. Aku ingin memelukmu sekarang tapi tidak bisa, aku mau pulang besok saja, tidak mau menunggu 2 bulan lagi, hiks..hiks..” Wulan terisak, hati Rizal ikut merasa sedih.
Hatinya terasa gamang, hubungan jarak jauh yang telah mereka jalani setahun terakhir ini membuatnya merasa tersiksa. Jika kerinduannya menyeruak, ia hanya bisa meredam perasaan itu dengan menatap wajah cantik kekasihnya di layar ponsel.
“Bersabarlah sebentar lagi Wulan, bukankah kau sangat terharu mendengar harapan kita? Itu berarti kita harus mewujudkan semua angan itu. Kau harus menjadi seorang ahli bedah yang sukses sesuai harapan kita dan keinginan kedua orang tuamu. Aku juga berjanji akan melakukan hal yang sama, tapi itu semua tidak akan terwujud kalau kau pulang sekarang. Yang harus kau lakukan adalah, mengikuti ujian pentingmu dan lolos meraih angka baik. Setelah itu kau bisa datang dan bertemu denganku. Aku akan melamarmu secara resmi saat acara pertunangan kita nanti. Dan setelah kau lulus, kita akan menikah.” ucap Rizal dengan penuh keyakinan.
Isak tangis Wulan terhenti, “Benarkan yang kamu katakana itu? ka..kau akan melamarku?” tanya Wulan tergagap tak percaya. Dilamar oleh kekasih yang sangat ia cintai merupakan sesuatu yang tidak terhitung nilanya. Bahkan isi dari seluruh dunia pun tidak mampu menandingi kebahagiaan yang ia rasakan.
“Iya, aku berjanji padamu. Setelah kau selesaikan kuliahmu, kita akan menikah. Kau akan menjadi dokter spesialis bedah dan aku suamimu akan menjadi dokter psikiater. Kita akan hidup bahagia sampai tua. Sekarang tidurlah, kau sudah membuatku membiarkanmu begadang. Istirahat ya, sayang. I love you," ucap Rizal penuh cinta.
Harapan itu sungguh membuatnya selalu bersemangat menjalani hubungan jarak jauh yang sangat tidak mudah itu. Harapan yang masih menjadi angan yang selalu membuatnya tersenyum bahagia.
“I love you more.” Balas Wulan dengan suara manjanya yang selalu membuat Rizal gemas sendiri setiap kali mendengarnya.
Rizal tersenyum dan mematikan sambungan telepon, merapikan tatanan rambutnya yang masih rapi. Rizal keluar dari mobil dan berjalan dengan langkah pasti masuk ke dalam ruangan.
“Selamat pagi dokter tampan, hari ini kau bahkan semakin menawan pak.” Seorang perawat berusia sekitar 40 tahun menyapa Rizal. Hal itu selalu ia lakukan, bercanda dan sekali menggoda dokter tampan itu.
Rizal hanya tersenyum merespon guyonan asistennya. Hal semacam itu sudah sangat sering ia terima dari wanita yang sudah menjadi partner kerjanya selama ini. Rizal duduk di depan meja kerjanya dan memeriksa beberapa dokumen rekam medis yang bertumpuk..
“Suster Juwi, apakah laporan ini sudah kamu periksa semua?” tanya Rizal sambil membuka lembaran kertas dalam map itu.
“Sudah, dokter hanya perlu memeriksanya sekali lagi sebelum saya input ke database. Oh iya dokter, tadi pak Kizara menelepon, dan meminta nomor antrian paling depan untuk konseling putrinya. Beliau akan datang setengah jam lagi katanya,” ucap Perawat itu memberi informasi.
“Iya saya sudah tahu, kemarin juga pak Kizara menghubungi saya. Makanya hari ini kita tidak perlu menerima pasien lain dulu. Kamu tolong siapkan semuanya di meja saya ya, agar jika nanti pasien datang dia akan merasa nyaman.” Rizal memberi instruksi.
Sementara itu di mansion keluarga Kizara.
Seorang gadis cantik bermata bulat, hidung sedikit mancung dengan wajah oval. Bibir sensualnya tersenyum manis. Ia terlihat berdiri di depan cermin besar yang ada di hadapannya. Memutar tubuhnya beberapa kali, memastikan jika penampilannya yang seksi itu sudah sempurna. Kaki jenjang mulus putih dengan tubuh langsing, membuatnya semakin mempesona.
“Sempurna, kali ini aku akan bertemu dengan Alex dan bercinta sepuasnya, hi..hi..” ucapnya sambil cekikikan. Membayangkan tubuhnya akan menggeliat nikmat oleh pria yang sudah ia kencani cukup lama itu membuatnya memejamkan mata. Darahnya berdesir membayangkan betapa kekarnya tubuh Alex. Hanya dengan itu saja, ia sudah merasa basah di bawah sana.
“Uh.. aku sudah tidak sabar lagi,” gumannya sambil menggigit bibir bawahnya.
Terdengar suara ketukan pintu kamar, sebelum suara pria terdengar dari luar.
“Lina sayang, apa kau ada di dalam?”
Lina menoleh ke arah sumber suara lalu berjalan menuju pintu. Membukanya dan mendapati ayahnya berdiri di hadapannya.
“Ada apa pa?” tanyanya sedikit malas.
“Sayang, apa papa bisa mengajakmu keluar? Papa ingin menemui seorang dokter, ini menyangkut pengobatanmu yang sudah kau setujui itu. Kau sudah berjanji kalau hari ini kita berangkat.” Kizara tempat berbicara sangat hati-hati dengan gadis cantik yang ada di hadapannya itu.
Lina menghela nafasnya kasar. “Pa, aku mau keluar, sudah ada janji dengan temanku. Kita perginya besok-besok aja ya?” Lina menolak, wajahnya yang tadinya ceria berubah cemberut. Ia sama sekali tidak ingat kalau hari ini ada janji dengan ayahnya. Sehingga saat Alex menghubunginya semalam, ia langsung mengiyakan saja ajakan pria itu. Lagi pula ia juga sudah rindu belaian.
“Sayang, kau bisa bertemu temanmu kapan saja kau mau. Tapi konseling ini sangat penting untukmu. Papa bahkan sudah jauh-jauh hari membuat reservasi dengan dokter. Jadi sangat tidak mungkin kalau kita membatalkannya, kan?” Kizara mencoba membujuk putrinya itu.
Lina menatap ayahnya, melihat harapan besar di mata orang tuanya itu, ia akhirnya mengangguk setuju.
Lagi pula ia tidak ingin melihat ibunya sakit lagi, meskipun sebenarnya ia tidak terlalu peduli.
“Bagus sayang, kita berangkat sekarang saja ya. Em, kau tidak ingin mengganti pakaianmu dulu? Di sana ada banyak orang. Tidak sopan menggunakan pakaian itu di klinik kesehatan.” Teguran ayahnya secara halus itu membuat Lina menghentakkan kaki lalu menutup pintu begitu saja. Kizara hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah seenaknya dari sang putri.
Mobil yang Lina dan ayahnya tumpangi sudah terparkir di halaman sebuah klinik. Kizara dan putrinya turun dari mobil. Lina mengikuti ayahnya dengan langkah gontai, dia sangat tidak suka hal-hal yang berkaitan dengan dokter atau yang berhubungan dengan mereka. Ia hanya terpaksa mengikuti ucapan sang ayah karena mengingat kesehatan ibunya yang sedang bermasalah karena sikapnya.
“Selamat pagi pak Kizara, dokter sudah menunggu dari tadi. Mari silakan lewat sini.” Suster Juwi menyapa dengan ramah sambil mengarahkan mereka menuju ruangan Rizal.
“Silakan masuk,” suster Juwi membuka pintu untuk mereka. Kizara dan Lina masuk ke dalam.
Sesampainya di dalam, Rizal langsung menyambut mereka.
“Selamat pagi om, mari silakan duduk,” sapa Rizal tersenyum ramah sambil menjabat tangan Kizara kemudian mempersilakan tamunya itu untuk duduk di sofa.
Lina yang sejak tadi hanya berdiri, menatap fokus ke arah Rizal. Sungguh pria yang ada di hadapannya ini sangat tampan. Tapi, Lina tidak tertarik. Mengingat ia seorang dokter psikiater yang pastinya akan sangat menyusahkan nanti, membuatnya hanya menatap datar sambil berjalan menuju sofa lalu duduk dengan menyilang kaki.
“Oh, jadi ini yang akan menjadi dokter penyembuhku, Papa? Apa Papa tidak salah pilih dokter? Dia kelihatannya masih muda dan sepertinya kurang pengalaman. Pasti kau baru lulus kan, dokter? Sudah berapa pasien yang kau sembuhkan? Atau jangan-jangan, aku adalah pasien pertama sekaligus percobaanmu? Pa, sebaiknya kita cari dokter lain.” Lina mulai kembali bertingkah. Dengan seenaknya ia menghina Rizal.
“Lina, kau jangan berkata kasar begitu dengan dokter Rizal! Dokter Rizal ini sudah menyandang dokter psikiater terbaik di Indonesia. Beliau juga lulusan terbaik dan sudah mendapatkan beberapa penghargaan dari pemerintah. Beliau ini adalah dokter bersertifikasi resmi. Dan tentunya papa tidak akan sembarang memilih konselor untukmu, sayang.”
Kizara mencoba membuat Lina paham dengan status Rizal, sementara Rizal hanya tersenyum-senyum. “Ah tidak apa-apa om, santai saja. Banyak yang menganggap saya seperti itu, kok. Jadi hal itu sudah biasa,” komentarnya tanpa merasa tersinggung sama sekali.
Rizal kemudian menatap perempuan cantik dan angkuh di hadapannya itu dengan senyum ramah sebelum kembali menatap Kizara.
“Oh iya perkenalkan, ini adalah putriku.” Kizara memperkenalkan Lina. Rizal hanya mengangguk sambil tersenyum ke arah Lina.
“Sayang, sebaiknya mulai sekarang kau harus mencoba menyapa doktermu dengan ramah karena mulai hari ini kau akan selalu akan diawasi dan di dampingi oleh dokter Rizal sampai kau dinyatakan sembuh dan berubah menjadi lebih baik,” imbuh Kizara kemudian. Lina hanya bisa menatap ayahnya dengan hembusan nafas gusar.
“Tapi papa, aku tidak suka ada orang lain mencampuri urusan pribadiku apalagi kalau harus di awasi segala. Bukankah penyembuhanku akan cukup dengan konseling rutin saja, kenapa harus ada pengawasan segala? Ini tidak masuk akal..!” Lina membantah keras. Tatapannya tajam ke arah Rizal.