02-TWO CUPS AMERICANO

1762 Kata
‘Njir, kenal juga kagak malah main semprot aja ini bocah!’ Sorry to say, bukannya gue ngga berani nampol si Rindu-Itu-Berat ini. Tapi, gue udah kepala tiga, ngga pantes nyikapin satu masalah dengan adu jotos. Kalau kata almarhumah Mbah Ti dulu, makin tua harus makin bijak. Lagian, yang waras better ngalah. Beres numpahin emosinya, sohibnya Reina akhirnya pergi. Gue masih diam di posisi gue, begitu pun Reina, sementara Rain udah pulas di kursi teras sampai mangap-mangap. Capek bener kayaknya mau jadi dokter. “Naik apa kamu ke sini, Yo?” tanya Om Ari yang baru kembali dari gerbang kediaman mereka. “Taksi, Om. Mobil Papa dipake Ara ke Jakarta.” Oh iya, gue yatim piatu. Papa yang gue maksud di sini adalah ayahnya Ara. “Oh, Ara ke kantor?” “Iya, Om.” “Ya sudah, tunggu Om ambil kunci mobil dulu.” Gue mengangguk sopan sembari menyalam beliau takzim lalu berlanjut ke Tante Nisa – ibunya Reina – yang bikin rambut gue acak-acakan lagi. “Bunganya buat Mami?” tanya beliau. Gue loading sesaat, ‘Mami?’ “Buat Reina, Tante. Tapi, ini buat Tante,” jawab gue sembari menyodorkan salah satu paper bag yang gue bawa. Isinya pisang molen di kotak ayaman bambu. Dekat rumah Ara ada yang jual pisang molen dengan rasa terdabes! Pisangnya manis banget, selimutnya juga pas manis, lembut dan garingnya setelah digoreng. Bocoran dari Reina, maminya suka banget makanan yang satu ini. “Mentah itu, Tan. Kata si Mamang, aman dimasukin freezer. Nanti kalau mau digoreng, tunggu suhu normal dulu. Enak banget, Tante.” “Yang di dekat rumah Ara ya?” “Iya, Tan. Tante tau?” “Tau. Waktu SMA kan Ara – tiap ke sini sama Nina – bawa molen terus.” “I see.” “Duduk di dalam aja, Yo. Papinya Reina pasti ganti baju dulu.” Gue kembali mengangguk. Tante Nisa membangunkan putra bontotnya lalu masuk ke dalam rumah seraya menggiring Rain yang nampak manja. Gue pun dulu begitu ke Mama, rasanya nyaman. Buat gue, dekapan dengan wanginya Mama adalah tempat terdamai di muka bumi. ‘Al Fatihah.’ Jujur, kedua telapak tangan gue dingin dan basah. Gue jarang begini kalau ngga karena gugup luar biasa. Si Dilan, tadi datang ke sini naik Alphard. Dan gue, datang naik takol alias taksi online. Gimana ngga nervous kebayang bakalan numpang sama Om Ari, bukannya justru bawa kendaraan yang layak untuk mengajak beliau berkendara. “Mas?” cicit Reina. Gue mengangkat kedua sudut bibir gue, menyodorkan buket bunga yang nyarinya susah pake banget. Nyaris setengah hari baru akhirnya gue nemu bunga favoritnya Reina ini. Kalau di Amsterdam, Ranunculus bermekaran antara Maret sampai Juni. Apa karena sekarang Desember makanya di Indonesia pun nyaris ngga ada? Ini juga gue dapat di salah satu perkebunan bunga besar di Lembang, mekar di greenhouse yang bikin harganya naik berkali-kali lipat dibanding saat musim panen alami. Reina menerima buket pemberian gue plus paper bag berisi sedikit hadiah untuknya. Ia lalu menggenggam tangan gue dan mengikis jarak. “Makasih, Mas.” “Sama-sama, ya humaira.” “Mas ih! Norak!” “Lah kok norak? Beneran tuh, kalau dipanggil gitu, pipi kamu langsung merah, Rei.” “Terus? Sengaja ya malah diulangin?” “Iya dong!” jawab gue tanpa dosa. Reina memberengut, gue malah terkekeh tanpa memalingkan tatapan dari wajah cantiknya. “Mas?” “Apa?” “Itu … soal Dilan tadi ….” Tangan gue yang bebas terangkat, mengacak-acak poninya. Senyuman pun masih gue pertahankan. Jujur, gue butuh mood yang stabil untuk berhadapan dengan Om Ari. Ide tentang membahas Dilan, sepertinya bisa dieksekusi nanti kan? “Mas Rio,” lirih Reina lagi, langsung speechless kalau gue sentuh. “Nanti ya Rei. Habis Mas jalan sama Papi baru kita ngobrol.” *** Jihan’s Homey Home, nama tempat yang gue kunjungi dengan Om Ari. Belakangan, tempat ini lagi hype di Bandung, baru buka sekitar sebulanan tapi waiting list-nya sudah sampai tiga bulan ke depan. Kafe ini ngga hanya menjual makanan dan minuman enak, tapi juga suasana yang nyaman. Berlantai dua dengan jarak antara lantai ke plafon yang cukup tinggi. Satu lantai hanya memiliki tujuh meja. Lima di indoor area dan dua di teras. Uniknya, masing-masing meja diberi partisi non-permanen yang memberi privasi lebih pada pelanggannya. Ditambah lagi, desain interior bertema Scandinavia dan berwarna alam atau pastel. Jika waktu kunjung tak dibatasi, dugaan gue, mereka yang datang bakalan malas pulang. Asli, cozy banget! Yang gue baru tau … ternyata kafe ini yang punya adalah tantenya Reina, adik dari Tante Nisa. “Kamu kenal sama Hana dan Edo?” tanya Om Ari begitu kami duduk dan melihat-lihat buku menu. “Mmm … tau sih, Om. Waktu nikahannya Gail, Reina ngenalin ke beliau berdua.” “I see.” Tante Hana dan Om Edo, berarti punya empat usaha. Yang tiga, sudah pernah Reina ceritakan ke gue. Event Organizer yang namanya diambil dari nama putra sulung mereka; Raya Bumi Organizer. Perfume boutique – Alfa Canis Majoris – yang tokonya ada di salah satu mall besar di Jakarta. Ya, nama usaha itu pun diambil dari nama putra kedua mereka dalam bahasa latin. Bisnis ketiga adalah Samudera Photography. Ngga salah kok, emang Samudera itu nama putra ketiga mereka. Dan sekarang, yang sedang gue datangi, Jihan’s Homey Home, namanya diambil dari nama putri kecil mereka yang baru lahir dua bulan lalu. Reina bilang, kafe ini sudah siap dari sebelum Jihan lahir, tapi ayah dan ibunya ngga mau launching sebelum buah hati mereka launching ke dunia. Keren aja atau keren banget? “Saya juga baru tau kalau ternyata ayahnya Gail sahabatnya Om ya?” lanjut gue, memulai obrolan lagi biar ngga senyap. Om Ari mengangguk. Gail itu sahabat Ara dari kecil. Reina itu sahabat Nina – adik gue satu-satunya. Ara dan Gail satu SMA dengan Nina dan Reina. Saat Ara jadian sama Nina, otomatis gue jadi mengenal Reina dan Gail dengan cukup baik. Balik ke buku menu. Berhubung gue kangen banget karedok dan baso aci, jadilah gue mesan keduanya. Rada ngga nyambung emang. Kalau papinya Reina pesan Chinese Poached Chicken tanpa nasi. Selama makan, kami berdua ngga ngobrol. Baru setelahnya, dengan ditemani dua hot americano, pertanyaan pertama beliau meluncur. “Apa rencana kamu, Yo?” “Soal Reina atau di luar Reina, Om? Misalnya karir.” “Kalau bicara soal Reina, artinya kamu harus jelaskan semua hal yang akan memberi impact pada putri saya, termasuk karirmu. Saya benar kan?” Gue mengangguk. “Kontrak saya di Amsterdam sampai akhir tahun ini, Om,” ujar gue akhirnya. “Setelah kontrakmu berakhir?” “Pulang, Om. Mau buka firma sendiri di Bandung atau Jakarta.” “Modalnya sudah siap?” “InshaaAllah, Om.” “Ngga minat dengan tawaran Dirga? Gabung dengan 3D, apalagi Nina dan Ara sudah tanda tangan kontrak kerja untuk tiga tahun pertama kan? Mereka yang berkarir di luar negeri dan sudah berkeluarga, akan berpikir panjang untuk kembali ke tanah air, Yo.” Ya, gue tau itu. Ngga banyak orang kayak gue yang sudah punya posisi enak di luar negeri malah kepingin pulang untuk bangun usaha dari nol. Selain menggerus tabungan di tahap awal, kemungkinan usaha itu gagal juga pasti ada kan? “Iya, Om.” “Iya apa?” “Nina juga kemungkinan akan bertahan di sana sampai Gala selesai SD, Om. Rencananya begitu.” “Bukannya kamu mau buka firma bareng Nina?” Yang ini juga benar. Punya firma arsitektur sendiri adalah impian gue dan Nina. Papa juga berprofesi sebagai arsitek. Jadi, dari kecil, impian menjadi seperti Papa sudah tertanam di kepala gue dan Nina. Hanya saja, Papa ngga sempat membuka firma sendiri. Papa sempat bilang kepingin kayak papanya Ara yang berani take a risk membuka usaha. Sayangnya, tabungan pun orang tua kami ngga punya. Dianggap sebagai yang tersukses di keluarga membuat keduanya merasa berkewajiban membebaskan saudara-saudaranya dari kemiskinan. Seolah membiayai dua anak ngga membutuhkan dana yang besar, Mama Papa juga harus menanggung banyak hal. Bahkan, saat keduanya meninggal, rumah yang kami tempati belumlah lunas. Apa akhirnya keluarga besar gue membantu? Ngga sama sekali. Mereka malah minta gue mengambil alih posisi Papa yang jelas-jelas gue tolak dan akhirnya berujung panjang dengan beberapa trik kotor yang mereka upayakan agar bisa mengambil alih harta yang tersisa. Apa ada yang tersisa? Ya, tumpukan hutang! Apa mereka tau? Sampai akhirnya gue dan Nina dicoret dari daftar keluarga besar, ngga ada satu pun dari mereka yang tau. Gue dan Nina, hanya berdua di dunia ini. “Betul, Om. Tapi, sampai Nina kembali, ngga apa-apa kok saya yang jalani dulu,” jawab gue. “Kamu sudah paham resiko berbisnis dan membuka usaha sendiri, Yo?” “InshaaAllah, Om.” “Bagaimana dengan resiko yang harus Reina jalani?” “Maksud Om?” “Kamu tau maksud saya, Yo.” “Tentang seberapa serius saya dengan Reina, Om?” “Betul.” “Saya siap menikahinya detik ini juga, Om.” Gue lalu mengambil selembar kertas yang bertuliskan detail sumber pemasukan gue dan alokasinya. Catatan itu gue sodorkan ke Om Ari seraya menunduk. Bukan untuk pamer apalagi riya. Lagipula, harta yang gue miliki ngga ada seujung kuku apa yang Om Ari punya sebagai pewaris Purwadinata. Trust me, kekayaan keluarga Reina benar-benar bikin gue berpikir beribu kali sebelum akhirnya nekat menunjukkan cinta gue ke dia. “Apa karena Dilan?” tanya Om Ari seraya melipat kembali kertas di tangannya. “Dilan, Om?” “Hmm. Kamu bilang siap menikahi Reina sekarang juga, apa karena omongan Dilan yang kamu dengar diam-diam sampai bikin kamu ingin kabur tadi?” “Saya kabur bukan karena omongan Dilan, Om.” “Lalu?” Gue mendengus pelan, pun menundukkan kepala, menatap uap yang meninggalkan cangkir. “Karena saya tiba-tiba berpikiran buruk ke Om dan Tante. Dan asumsi itu terlalu menyesakkan untuk saya,” lirih gue meski gue yakin masih jelas terdengar di telinga Om Ari. “Maksud kamu?” “Tadi, saya pikir, Om sengaja nyuruh saya datang malam ini supaya bisa mendengar apa yang Dilan mau, dan melihat langsung keakraban Om dan Tante dengan kedua orang tua Dilan. Saya … merasa Om dan Tante mengkhianati saya, bahkan sebelum saya sempat menunjukkan betapa saya menyayangi putri Om.” ‘Buset! Kenapa mulut gue lancar bener ngoceh?’ Om Ari hidungnya kembang kempis, keningnya makin mengerut, bibirnya dia gigitin, dadanya naik turun agak cepat, dan wajahnya rada memerah. Kadang gue juga punya ekspresi begitu, biasanya kalau team gue molor memenuhi tenggat waktu proyek. Kesal banget gitu rasanya. Nahlo, jangan-jangan sebentar lagi … ‘Pletak!’ That’s it, buku menu yang kerasnya minta ampun mendarat di kepala gue! “Bocah ngaco!” maki Om Ari. ‘Karma apa ini ya Allah?’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN