Dan di sinilah gue sekarang. Mematut diri di depan cermin. Menatap bayangan gue sendiri yang mengenakan black jeans, white t-shirt dan denim jacket. Kata Ara – adik ipar gue – style kayak begini ngga akan pernah salah. Sambil menata surai, suara sambungan panggilan video ke nomor cewek yang sedari tadi mengisi relung pikiran gue – terdengar.
“Hmm,” sapanya, nyaris ngga kedengaran di telinga gue. Kayak malas gitu menjawab.
“Bagus ngga Rei?” tanya gue tanpa basa-basi.
Dia Reina, cewek gue. Meski, ngga pernah ada moment resmi di mana gue minta dia jadi cewek gue.
Semuanya mengalir begitu saja. Gue yang selalu rindu, selalu kepingin gangguin dia, selalu ngerasa waktu terlalu cepat berlalu saat bersama dia. Katakanlah gue narsis, tapi gue cukup yakin, Reina juga merasakan hal yang sama. So, begitulah kisah kami bermula. Dari komunikasi yang intens, saling merindu dan mencari. Sampai di satu hari gue memberanikan diri menggenggam tangannya. Lalu kesetanan saat ayahnya Reina berniat menjodohkan putri sulungnya dengan pria lain. Pun sampai kala itu gue mengutarakan perasaan namun ngga menginginkan hubungan yang gamang. Gue ingin memilikinya dengan cara yang benar dan terikat resmi di mata Tuhan dan Negara.
Nyeritain Reina, bakalan jadi satu n****+. Sumpah! Apakah gue pernah nyangka kalau gue akan memberi label ‘cewek gue’ atau ‘pacar gue’ ke dia? Ngga pernah sama sekali. But that’s happened!
Wajah mungil, deep set eyes, hidung mancung nan bangir, bibir penuh, dan alis ulat bulu. Begonya, gue baru ngeh belakangan ini kalau dia secantik itu. Apa begitu tepatnya? Kayaknya sih! Tapi, bagian paling gemesinnya adalah … sifatnya yang jutek dan galak. Kalau bukan karena karakternya itu, demit pengkolan aja bakalan ikut antri untuk jadiin dia sang pemenang hati. Kebayang ngga apa yang terjadi kalau seorang Reina bisa lembut ke gue? Sungguh, itu adalah prestasi yang patut dibanggakan!
“Kirain hape lo hilang atau lo buang ke laut, Mas!”
Tuh kan, Reina mulai ngegas lagi. Imut banget sumpah!
“Di Bandung ngga ada laut, Rei,” jawab gue enteng.
“Terus? Apa alasan lo ngga balas chat dan ngga ngangkat telpon gue? Bosan hidup?”
Awet banget emang galaknya cewek gue.
“Kok lo gue lagi sih?” rajuk gue, sok manja. Kalau Nina – adik gue – sampai dengar, dia pasti bergidik jijik. Asyem emang!
“Jawab aja kenapa sih Mas!”
“Nyari bunga, Rei.”
“Bunga?”
“Iya.”
“Buat?”
“Terus beli baju baru. Emang kamu ngga ngeh aku pakai jaket baru?”
“Ngeh kok, Mas.”
“Aku juga beli buat kamu. Couple, Rei.”
Wajah manisnya melembut, juteknya cewek gue pun mengikis.
“Ini kan pertama kali aku ke rumah kamu dengan misi khusus, ngajak Papi jalan. Jadi, dari pagi aku jalan keliling Bandung. Nyari bunga, hunting baju, potong rambut plus cukuran. Emang ngga kelihatan ya aku rada gantengan?”
Dan akhirnya, tawa renyahnya terdengar.
“Tapi Mas jadi gantengan buat Papi, bukan buat Reina.”
“Buat Reina juga kok,” balas gue membela diri sambil terkekeh. “Gimana? Mas oke ngga? Kalau begini ke rumah kamu, Papi ilfil ngga?”
“Ngga kok. Tapi, coba kaosnya dimasukin, Mas. Biar agak rapih. Ngerti kan Papi kayak gimana?”
“Oke.”
“Sip!”
“Ya sudah, sampai nanti, ya humaira?”
“Sampai nanti, Mas. Hati-hati ya?”
“Hmm.”
***
“Ngapain di situ, Mas?”
‘Mas?’
Rain hanya menautkan panggilan kehormatan itu pada Mas Rio dan Bisma. Mas Rio adalah cowok yang belakangan berstatus sebagai pacarku. Sementara Bisma adalah suami dari Nina sahabatku. Malam ini, Mas Rio memang berjanji datang. Meski bukan untuk mengajakku berkencan, melainkan untuk mengajak Papi mengukur jalan atau meneguk secangkir kopi di kafe favorit salah satu dari mereka.
Dan frasa ‘ngapain di situ, Mas?’ agak membingungkan di telingaku.
Aku melangkah lagi, menjejakkan kaki di anak tangga terdekat dari mushola tempatku berada.
Rumah keluargaku berlantai dua setengah. Yang dikatakan setengah lantai itu dijadikan mushola dan ruang kerja Mami Papi. Dua dari empat sisinya berdinding kaca. Lantai tersebut juga menjorok lebih panjang setengah meter, beralas kaca begitupun atapnya, memberi pencahayaan alami di siang hari. Aku menyukai tempat itu, apalagi saat hujan karena kala aku berdiri di area kaca, sensasi melayang bawah hujan tanpa efek kuyup sungguh memberi ketenangan.
“Yo?”
Itu suara Papi. Terdengar setelah suara berdebum dari pintu yang menutup di belakangku.
Aku memutuskan berlari di anak-anak tangga.
Dari lantai satu, juga terdengar suara beberapa orang yang tengah berbincang. ‘Ada tamu?’
“Reina,” tegur seseorang yang suaranya sangat aku kenali tepat saat kakiku menapak di anak tangga terakhir.
Aku menoleh, mendapati Dilan – my another bff – yang berdiri dari duduknya di ruang tamu. Langkahku terhenti, mematung. Alasannya … satu, kenapa Dilan ada di rumahku? Dua, kenapa ia datang tak sendiri?
“Tadi kata Om dan Tante, lo lagi shalat?” ujar Dilan lagi.
Hanya anggukan kaku yang bisa kuberi. Perasaanku sungguh tak nyaman.
“Rei, ini ….”
“Tunggu Lan.” Aku terpaksa memotong apa pun yang hendak ia katakan. Lalu aku memberi senyum tulus seraya mengangguk sopan pada tetua yang membersamainya. Yang lebih penting saat ini, bagiku, adalah memeriksa kejadian di teras.
Aku melangkah tergesa lagi. Lalu melewati pintu utama rumahku, bergabung dengan empat orang di sana; Mami dan Papi, Rain – adikku, juga Mas Rio – yang membawa sebuket Ranunculus dan paper bag. Namun, yang lebih mencolok adalah raut wajah cintaku yang nampak suram.
Ranunculus merah, yang berarti keberanian dan hasrat. Ranunculus merah adalah favoritku, yang artinya juga buket itu pasti ia bawa untukku.
“Mas Rio kenapa?” Pertanyaan spontan mengalir begitu saja.
Mas Rio menghela napas. Dan untuk pertama kalinya, aku mendengar nada marah dan kecewa dari suaranya.
“Kenapa kamu ngga bilang kalau ada yang datang melamar kamu malam ini, Rei?”
“Melamar?” Sontak, titik pandangku mengarah ke Papi dan Mami. Seingatku, aku sudah mengatakan pada keduanya jika sekarang aku bersama Mas Rio. Dan perjodohan dalam bentuk apa pun, aku tolak sepenuhnya.
“Maaf, gue ngga bilang Rei,” ujar Dilan dari balik punggungku. “Gue agak khawatir karena beberapa bulan belakangan lo ngga responsif. So, gue pikir sudah waktunya.”
“Waktu apa?” tanyaku, ketus.
“Ngelamar lo.”
“Apa gue minta lo ngelamar gue? Kita sahabatan, Lan. Lo amnesia?”
“Ngga. Dan gue jatuh cinta sama sahabat gue sendiri!”
Aku tertawa. Absurd sekali situasi ini. Jatuh cinta katanya?
Oke, biar aku jelaskan.
Aku mengenal Dilan di bangku kuliah. Tak banyak mahasiswa Indonesia yang mengambil program bachelor’s degree di Technische Universität München. Apalagi di jurusan dan angkatan yang sama. So, di situlah persahabatan kami bermula.
Meski Dilan itu cowok, awal-awal perkuliahan kelihatan banget dia kewalahan menghadapi culture shock. Berhubung kami bertanah air satu, ya ngga mungkin kan aku ngga peduli? Dari sana … pertemanan berubah menjadi persahabatan. Bahkan saat Dilan pacaran dengan beberapa cewek interlokal, sikap dia ngga pernah berubah. Dilan selalu berusaha agar cewek-ceweknya kala itu juga berteman baik denganku.
Lulus S1, kami kompak memutuskan langsung lanjut S2. Sembari menjalani studi, kami mulai dilibatkan dalam penyusunan desain konseptual, melakukan pemodelan sederhana, juga membantu dalam pengumpulan data situs dari beberapa proyek yang kerap Papa Ga – adik Mami – kerjakan. Satu kampus, satu kelas, dan satu pekerjaan. Seakrab itulah aku dengannya. Dan kami baru berpisah setelah gelar master kami kantongi.
Meski … tak berpisah begitu saja.
Aku dan Dilan menjalin partnership untuk membuka firma arsitektur di Jakarta. Tentu saja, secara keseluruhan, modal usaha tersebut tak hanya dari kami berdua, masih ada pihak lain yang ikut berkontribusi. Sementara firma mulai berjalan, Dilan masih meniti karir di München. Namun, ia bilang, satu hari nanti ia akan pulang dan menjalankan usaha ini bersamaku. Masalahnya, seingatku ia tak bilang jika akan pulang dalam waktu dekat. Dan melamarku? Apa tak salah?
“Lo nge-prank gue?” tanyaku kemudian.
Dilan menyeringai singkat, lalu bernapas dalam seraya menatapku lekat. Tatapan yang membuatku sadar jika ia tak sedang bercanda.
“Lan ….”
“Kita ngga pernah ya Rei bikin aturan ngga boleh jatuh cinta pada satu sama lain.”
“Tapi bukan berarti lo boleh tiba-tiba datang dan ngelamar gue begini, Lan.”
“Kenapa ngga boleh? Dia boleh ngga peduli sama perasaan lo, menghilang dari hidup lo, seenaknya balik dan macarin lo.”
“Dilan!” Aku menyentak.
“Gue, Rei! Gue yang menghibur lo saat dia dan adiknya menghilang. Gue yang ada di samping lo melewati hari-hari berat di mana lo ngerasa dikhianati. Gue Rei! Dia ngga berhak milikin lo!”
Aku … kehabisan kata.
“Oh, mungkin lo bertanya-tanya dari mana gue tau siapa dia? Sure! Orang-orang sekantor pada ngomongin lo! Ngaduin lo ke gue! Lo ngga lupa kan kalau gue juga pemilik dari firma kita? We belong together, Reina. Semua orang tau itu. Semua orang menganggap demikian! Dan gue pun beranggapan sama. Lo juga ngga pernah tuh menyangkal setiap kali mereka ngejodoh-jodohin kita.”
“Tapi gue ngga pernah mengiyakan!”
“Jadi, lo cuma nganggap gue cadangan? Lo bikin gue berpikir kita akan berakhir bersama, tapi saat b******n itu – yang ngga pernah peduli sama lo – balik dan jatuh cinta sama lo … lo memilih untuk ngebuang gue?”
“Dilan … ngga gitu.”
“Yang gue rasain begitu, Rei!”
Dada dan tenggorokanku rasanya terbakar. Sorot mata Dilan menunjukkan betapa kecewanya ia padaku. Aku memang tak pernah menanggapi perkataan orang, tapi itu karena kupikir apa yang mereka utarakan terlalu konyol. Dilan sahabatku, dan aku tak pernah merasa lebih dari itu.
“Lo ngga ingat gimana terpukulnya lo saat sahabat lo dan abangnya yang b*****t itu menghilang gitu aja? Bahkan Om, Tante dan Rain ngga tau kan Rei? Lo ngga cerita sama mereka gimana kacaunya kondisi lo begitu balik ke München! Lo tumpahin semua ke gue! I was the one accompanying you through it all. Dan lo bilang gue ngga berhak jatuh cinta sama lo?”
Dilan … murka. Dan aku mulai paham di mana letak kesalahanku.
“Lo keterlaluan, Rei! Selama ini gue ngetawain lo setiap kali lo curhat kalau Om dan Tante nyoba ngejodoh-jodohin lo karena gue pikir ngga mungkin lo akan mengiyakan. Tapi sekarang? Gue bahkan ngga ngira lo akan ngasih dia kesempatan!”
“Dilan, lo ngga bisa ….”
Dilan mengangkat kedua tangannya, isyarat jika ia enggan mendengar apa pun yang hendak aku jelaskan.
“Kita pulang dulu, Mom, Dad,” ujar Dilan lagi, pada kedua orang tuanya. “Setelah semuanya siap, baru kita kembali ke sini,” lanjutnya seraya kembali menatapku. “I won’t give up, Rei!”
Aku mendengus. Sesak.
Orang tua Dilan melangkah lebih dulu. Papi dan Mami berusaha bersikap sopan dengan mengantar keduanya menuju pagar rumah kami. Dilan lalu menyusul langkah. Namun, ia berhenti tepat di depan Mas Rio.
“Gue adalah orang satu-satunya cowok yang stand by her side selama tujuh tahun terakhir. Who do you think you are? Sehebat apa lo sampai lo ngerasa berhak pulang ke Indonesia dan ngambil hati Reina? Lebih baik lo balik ke Amsterdam, dan jangan pernah muncul lagi di hadapan Reina! She doesn’t deserve you!”