Gue … nyengir kuda!
“Segitu piciknya saya di pikiran kamu?” cecar Om Ari lagi.
Gue jadi ingat pesan Papa Jagat – papanya Ara – sebelum gue ke sini tadi. Papa bilang, sejinak-jinaknya seorang pria, kalau anak gadisnya didekati pria lain, pasti bisa jadi buas. Soalnya, dulu kakeknya Ara begitu. Almarhum dikenal sebagai pria yang sangat sabar dan tak banyak bicara di lingkungannya. Tapi, begitu tau Papa serius sama Mama, bawaannya senggol bacok aja ke Papa. Begitu terus, sampai akhirnya Papa Mama menikah.
So, harusnya gue ngga aneh kan kalau Om Ari rada tegang ke gue?
“Saya yang picik, Om. Bukan Om,” ujar gue. “Harusnya saya ngga boleh berpikiran begitu. Lagian, meskipun seandainya itu benar, saya juga ngga akan mundur. Udah kepalang sayang sama Reina, Om.”
“Terus ngapain tadi kamu keluar sampai papasan sama Rain?”
“Berasa sesak aja Om. Mau nenangin diri dulu. Kalau saya nekat gabung di ruang tamu, yang ada saya malah bikin malu.”
“Jadi, Dilan itu bikin malu?”
“Om ingat aja muka orang tuanya tadi. Saya kalau berani ribut di depan orang tua kayak gitu, Mama Papa bisa bangkit dari kubur, Om.”
Om Ari menyesap kopinya lagi. Gue bermakmum.
“Sebanyak apa yang kamu dengar?” tanya beliau lagi.
“Ngga banyak, Om. Cuma yang pas bagian dia cinta sama Reina dan kalau Om ngijinin dia mau menikahi Reina.”
‘Kenapa jadi ngebahas ini sih?’
“Berarti kamu ngga lihat kalau orang tuanya Dilan juga shock dengan permintaan anaknya?”
Awalnya kening gue mengerut, lalu pikiran gue kembali ke sekitar satu setengah jam yang lalu, saat gue tersembunyi di foyer dan hanya mendengar yang Dilan katakan. Ya, gue memang ngga lihat ekspresi mereka. Gue pun menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Om Ari.
“Reina dan Dilan pernah punya hubungan serius, Om?” tanya gue akhirnya. Jujur aja, sedari tadi pertanyaan itu bercokol di pikiran gue.
“Pacaran maksud kamu?”
“Hubungan yang serius ngga harus selalu pacaran, Om. Menurut saya begitu. Dengan sama-sama tau kalau saling sayang, sama-sama komitmen menjaga hati, saya rasa itu udah serius.” Mengingat yang gue jalani dengan Reina sejak kami bertemu lagi, gue rasa … definisi gue tentang makna serius cukup masuk akal.
“Mereka serius sahabatan,” ujar Om Ari. “Atau … setidaknya bagi Reina begitu.”
Om Ari memotong bolu tape di piring kecilnya, melahap sesuap. Bandros di piring gue malah masih utuh. Ambyar aja mood gue ngomongin mantan-pacarnya-si-Milea.
“Gimana Yo?”
“Soal apa, Om?”
“Soal ancaman Dilan. Saya ngga mau lho Reina jadi stress gara-gara kalian.”
Gue terkekeh singkat. Salah satu alis Om Ari menukik, ngga nyanga mungkin dengan respon gue yang terkesan santai.
“Saya minta maaf, Om. Karena … sepertinya akan begitu kalau Dilan ngga mau mengerti perasaan kami berdua,” ujar gue. Seperti yang pernah gue bilang, gue hidup di dunia ini ujung-ujungnya hanya berdua dengan Nina. Adik gue itu sekarang sudah menikah, jadi … bisa dikatakan gue sendiri. Untuk orang yang sendirian kayak gue begini, ngga perlu takut kehilangan apa pun kan? So, gue ngga perlu pura-pura semua akan baik-baik aja dan Reina bakalan bahagia terus sama gue. Faktanya, cinta perlu diperjuangkan. Termasuk dari unexpected rival macam Dilan.
Yang ngga gue sangka, Om Ari malah ngekek. Disambung mengangguk.
“Kamu perlu pendapat saya ngga Yo?” tanya beliau lagi.
“Apa itu Om?”
“Kalau saya jadi Dilan, saya pun akan tersinggung dengan kehadiran kamu.”
Jantung gue rasanya mencelos. Asumsi kalau Om Ari sebenarnya ngga keberatan dengan niat Dilan bercokol lagi di kepala gue.
“Yang Dilan bilang, ngga ada yang salah. Saya pun sudah memperingatkan Reina soal perasaan romansa yang bisa aja hadir ini. Hampir ngga ada persahabatan murni antara cewek dan cowok. Tapi, setiap kali saya menasehati Reina, anak itu malah ketawa, Papi konyol katanya. Sekarang kejadian kan.”
Gue mengangguk.
“Dan mengingat dia yang selama ini dekat dengan Reina, tau gimana sedihnya Reina saat kamu dan Nina menghilang … saya rasa wajar kalau Dilan murka.”
“Iya, Om.”
Mau bilang apa? Kalau gue di posisi Dilan, sahabat gue diperlakukan kayak gue memperlakukan Reina, gue juga pasti ngga terima kan? Bukan, ini bukan soal gue yang ngga peka tentang perasaan Reina. Tapi, tentang gue dan Nina yang pergi seenaknya dan melibatkan Reina dalam kesulitan kami.
“Sayangnya, Dilan ngga bisa menahan emosinya saat saya bilang mungkin saya akan meninggalkan mereka karena ada janji dengan kamu,” lanjut Om Ari. “Itu sebabnya dia meminta Reina secara impulsif dan ujung-ujungnya Dilan meledakkan amarahnya di depan kedua orang tuanya, juga di depan saya dan maminya Reina.”
“Kalau Reina sama Dilan, bisa-bisa nanti pas mereka ada masalah, dia marah-marah di depan umum tuh Om.”
Tips menarik hati camer, pastikan rival lo mendapatkan kesan jelek sejelek-jeleknya jelek!
“Kamu lagi ngejatuhin rival-mu?”
Gue spontan nyengir kembali. Ketahuan juga niat gue. “Ngga panteslah Om cowok emosian gitu disaingkan dengan saya,” sangkal gue, sok pede lebih keren dari Dilan.
Om Ari tergelak lagi. “Anak itu ngga main-main, Yo.”
“Saya tau, Om.”
“Biar bagaimanapun, saya papinya Reina, saya ngga akan rela putri saya terluka seandainya kamu dan Dilan ngga bisa meredam emosi kalian."
***
Bandung tetap padat meski malam sudah beranjak larut. Gue melirik ke jam di dashboard, sudah pukul 21:30, entah apakah gue bisa ngobrol dulu sama Reina sebelum kembali ke rumah nanti.
“Dulu, kamu ngga pernah punya perasaan sama Reina?”
Gue sontak menoleh mendapatkan pertanyaan itu dari Om Ari. Wajah Om Ari nampak tenang. Gue yang jadi ngga tenang.
“Jalan, Yo,” ujarnya kemudian. Titik pandang gue kembali ke depan. Perlahan sedan mewah itu gue lajukan.
“Saya ngga pernah kepikiran untuk naksir sama Reina, Om.”
“Karena mantanmu?”
“Dulu … salah satu alasannya pasti itu Om.”
“Alasan lainnya?”
“Mungkin karena Reina seumuran sama Nina, Om. Lihat Reina ya kayak lihat Nina, Om.”
“Terus, kapan kamu mulai punya perasaan khusus ke Reina?”
“Pas pulang ke sini, Om.”
“Karena apa?”
Gue spontan terkekeh. “Apa jatuh cinta perlu alasan Om?”
Om Ari pun ikut tertawa renyah. “Kita memang ngga bisa milih bakalan jatuh cinta sama siapa.”
Anggukan gue menjadi respon dari pernyataan beliau barusan.
“Saya juga naksir sama adik sahabat saya sendiri. Ngga jauh beda sama kamu,” ujar beliau kemudian.
“Iya, Om. Untung Om Irgi ngga kontra ya Om? Soalnya logika cowok kan kalau adiknya pacaran sama sobatnya, takut ngerusak persahabatan mereka incase pasangan itu putus.”
“Kata siapa Irgi ngga kontra?”
“Emang kontra, Om?”
“Ngga bisa dibilang kontra juga sih. Intinya, dia juga ngga begitu aja percaya sama saya. Irgi tuh termasuk orang yang pintar menyembunyikan emosinya. Tapi, karena saya salah satu orang terdekatnya, tetap aja saya tau. Dia juga khawatir saya dan Nisa berpisah.”
Dan kisah legend itu pun, mengalir begitu saja.
“Saya naksir Nisa itu sejak kelas satu SMA. Pertama kali main ke rumah Irgi. Nisa tuh bawaannya jutek. Sama Irgi hubungannya jenis love hate relationship.” Om Ari memberi jeda dengan kekehannya. “Tapi, itu ngga merenggangkan keakraban dan kasih sayang antara keempat bersaudara itu. Saya pribadi, karena melihat hangatnya mereka, jadi ikut memperbaiki hubungan saya dengan Teh Kirana dan Denok.”
“Memperbaiki Om?”
“Maksudnya, tadinya kan kami bertiga jarang saling mengabari. Ngga seakrab itu sampai bisa berbagi cerita. Saya juga tipe yang malas dekat-dekat duluan ke Teteh dan Denok. Tapi, sejak kenal Irgi dan adik-adiknya, ya saya jadi manja ke Teteh, jadi usil ke Denok.”
Gue malah ketawa coba, ngebayangin Om Ari usil tuh kayak absurd banget.
“Awalnya, saya sampai dikira ketempelan. Tapi, setelah keluarga kami sesekali bertemu, Teteh dan Denok jadi paham kenapa sikap saya makin aneh.”
Asli, gue ngga bisa ngga ketawa.
“Tadinya saya pikir, Irgi ngga tau kalau saya naksir Nisa. Saya sering modus main ke rumah Irgi, dari numpang makan sampai nginap. Bilangnya sepi karena di kosan sendiri, padahal mah kangen sama Nisa.”
See? Gimana gue ngga ngekek coba. “Terus, ketauan, kepergok, atau gimana Om?”
“Ketauan. Gara-gara Anak Mas,” jawab beliau.
“Apa Om?”
“Anak Mas. Cemilan zaman dulu. Kamu mah ngga tau!”
Gue ngangguk-ngangguk, sok paham.
“Terus, langsung jadian Om sama Tante?”
“Ya ngga. Masih jadi secret admirer. Pernah sih kelepasan bilang suka. Tapi waktu itu Nisa masih SMP. Saya ngga lanjut jelasin maksud omongan saya ke Nisa.”
“Tante ngga nanya maksud Om apa?”
“Ngga. Selain jutek, maminya Reina juga cuek banget. Ke saya juga gitu.”
“Ke Om jutek juga?”
“Kalau lagi kesal aja.”
“Kalau ke orang lain?”
“Apa pun mood-nya Jutek is her middle name.”
“I see,” kekeh gue. Sama kayak Reina berarti. “Terus, kapan jadiannya Om?”
“Sudah saya kuliah. Masih tingkat satu.”
“Lega banget ya Om pas udah ngungkapin?”
“Hmm,” gumam beliau, mengangguk singkat.
“Tapi kata Reina, Om dan Tante satu almamater?”
“Betul. Dan hubungan kami awalnya terbilang lancar. Saya orangnya kalem, malas ribut. Nisa juga gitu, cuek dan ngga suka drama.”
“Awalnya Om?”
“Betul. Sebelum semuanya menjadi berat saat opanya Reina bangkrut.”
Dan Reina, belum pernah cerita tentang hal ini. Atau mungkin, kedua orang tuanya yang ngga pernah berkisah ke Reina?
“Kamu tau apa masalah kami, Yo?”
“Apa Om?”
“Kompleks inferioritas.”
‘Deg!’ Jantung gue seolah berhenti sesaat. Istilah itu … apakah ujung-ujungnya pembicaraan ini tentang gue? Dan gue, tertangkap basah?
“Om … saya ….”
“Dan itu cukup berat. Akut malah,” potong Om Ari. “Sampai di satu titik, saya merasa ngga berguna karena Nisa ngga mau bersandar ke saya padahal saya rela melakukan apapun untuknya. Dan Nisa akhirnya memutuskan saya dengan segala alasan bullshit karena merasa dia ngga pantas untuk saya.”
“Om ….”
“Kenapa? Kamu pikir, kamu sendiri yang mengalami itu Yo?”
Pertanyaan itu, menampar keras ego gue. Ya, gue seorang pengidap kompleks inferioritas.