00-PROLOG
“Mas pengen nyium kamu, Rei,” ujar gue, blak-blakan.
Cewek yang terkukung di antara kedua lengan dan tubuh gue ini, kedua pipinya sontak memerah. Kalau cewek lain sibuk beli blush on biar punya rosy cheeks, cewek ini ngga perlu. Wajahnya, sudah begitu dari sananya. Apalagi kalau dia lagi malu-malu atau marah, semburat pink itu akan semakin jelas terlihat.
Dia … definisi cantik yang sesungguhnya, bagi gue.
Gue menunduk, mengecup kedua pipinya.
Lalu, kening dan puncak hidung kami gue satukan.
Hembusan napasnya, sumpah bikin gue gila. Bibirnya pasti manis banget kan?
“Di bibir, Rei,” lirih gue lagi.
Namun, saat Reina sedikit mendongak, dengan sisa kewarasan yang di ambang batas, gue menarik wajah, memberi sedikit jarak. Dan gue tersenyum. Entah apakah terlihat kayak orang bego atau makin ganteng ngga pakai ampun! Gue ganteng? Harusnya begitu! Karena kalau cantik, bisa-bisa Mama Papa bangkit dari kubur cuma untuk ngegetok kepala gue.
“Kenapa Mas?” cicitnya. Merdu!
“Emang boleh?” tanya gue, sok ngga berengsek. Padahal mah, sekompi pasukan setan yang jendralnya punya kavling di kerak neraka udah ngebisikin gue dari tadi supaya nyaplok bibir ranum kesayangan gue ini. Trust me, untunglah si Cantik ngga lihat kedua tangan gue mengepal dan urat-urat di lengan gue sampai bertonjolan. She’s so sexy, and I really want her. Plus, kami hanya berdua di tempat ini. Membayangkan b******u dengannya sudah sedari tadi gue lakukan.
Dia … mengangguk pelan, lalu menunduk.
Dagunya gue jepit dengan ibu jari dan telunjuk, membawa titik pandang kami bersirobok. Sambil mengusap lembut tepi bibirnya, gue mengucapkan satu kalimat keramat yang mungkin sudah basi untuk diungkapkan. “I love you, Rei.”
Pipinya memerah lagi. Bahkan di bawah cahaya temaram seperti ini, ronanya nampak jelas. Dan tak hanya itu, kedua iris nan indah tersebut diselimuti lapisan kaca.
Perempuan ini sungguh menguji nyali gue.
“I love you, Mas Rio,” balasnya lalu menggigit bibir. Dan sekejap kemudian, air matanya justru bergulir.
“Aku salah ngomong, Rei?” tanya gue. Panik. Kenapa ungkapan cinta gue bisa nyakitin dia?
“Ngga,” jawabnya di tengah tangis … yang semakin menjadi.
Ia lalu berusaha mengendalikan emosinya. Dan gue hanya bisa tertegun. Bukan berarti gue ngga pernah netesin air mata saat bahagia. Pernah! Tapi, melihat seseorang yang kita cintai menangis, apa pun alasannya, tetap saja first impression yang terpikir di kepala gue adalah ‘did I do something wrong?’
“Reina malah senang dengar Mas Rio sayang Reina,” ujarnya kemudian. Menangis sambil terkekeh.
Gue ngga bisa berpaling, rasanya gue kepingin ngajak dia meninggalkan tempat ini, mencari tempat yang lebih nyaman untuk kami berdua menghabiskan malam.
“Mas ngga jadi nyium?” tanyanya kemudian.
“Ciuman, Rei. Aku nyium kamu, kamu nyium aku,” koreksi gue. “Mau?”
Ia mengangguk lagi. Kali ini lebih tegas.
“Tapi, setelahnya … Mas pasti minta lebih,” ujar gue lagi. Gue cowok biasa, pertahan diri gue pun serapuh lapisan es di musim dingin. Umur gue 33 tahun, di mana hasrat seksual bukan lagi hal yang tabu untuk gue harapkan dari perempuan yang gue cintai.
“Lebih?”
“Hmm,” gumam gue seraya mengangguk. “Nyentuh kamu, bawa kamu pergi, ngurung kamu di tempat kita bisa berduaan sampai pagi.” Kedua mata Reina nampak melebar, membelalak singkat. Mungkin dia ngga nyangka gue seberani ini mengungkapkan isi pikiran gue. “Bercinta, Rei,” lirih gue kemudian. Sh1t! Semoga aja celetukan gue ngga bikin dia besok memberlakukan jarak aman.
“Mas Rio ….”
“Sayangnya … Mas takut kamu dipukulin Papi kalau sampai itu terjadi.”
Ya! Satu kejadian di hidup gue sudah cukup mengajarkan betapa kehormatan perempuan yang kita cintai amat sangat penting untuk diperjuangkan. Gue memberanikan diri untuk bicara bukan bertujuan mengajaknya trial bikin anak. Tapi, gue kepingin Reina tau, bahwa orang yang dia cintai – yaitu gue – cuma manusia yang dosanya numpuk dan nafsunya menggunung tinggi. Satu pemicu saja, gue ngga yakin bisa menahan diri dari menggaulinya.
So, gue pun berharap, saat libido gue kadarnya lagi tinggi, Reina bisa nampar gue dengan penolakan. Gue sedang berjuang agar bisa meminangnya tanpa halangan berarti, dan gue ngga mau merusak rencana itu dengan kelakuan kami sendiri.
Ia meniadakan jarak, melingkarkan kedua tangannya di tubuh gue, memeluk erat. Gue pun demikian, membalas rengkuhannya.
“Bukannya Mas ya yang bakalan digebukin Papi?”
Gue terkekeh renyah, lalu mengangguk. “Dan itu akan lebih nyakitin buat kamu, Rei.”
“Mas ….”
“Ngelihat aku dipukulin, itu akan lebih nyiksa kamu kan Rei?”
Reina tak menjawab dengan kata. Hanya mengangguk di bahu gue.
“Senin besok, Mas mau jalan sama Papi, Rei,” ujar gue lagi.
Reina melonggarkan pelukannya, menatap gue lekat.
“Ngapain Mas?”
“Mau belajar dari ahlinya.”
“Ahlinya?”
“Hmm. Gimana caranya naklukin kamu seumur hidup? Bikin kamu selalu cinta aku.”
Reina mengeratkan pelukannya lagi. Gue pun sama. Segala kenangan sejak pertama kali gue mengenal gadis ini berputar bagai roll film. Herannya, gue mengingat banyak hal tentangnya dengan detail. Apakah itu karena … Reina selalu ada di saat-saat terberat hidup gue?
“Rei?”
“Ya Mas?”
“Sejak kapan kamu sayang aku?”
“Emang Nina ngga cerita?” Reina malah balik bertanya.
“Nina bilang kamu sayang aku, dan aku ngga pernah peka. Itu pun dia bilangnya sejak kalian ketemu lagi. Tapi, detail dari kapannya seingat Mas belum pernah bilang.”
“Mmm … sejak kenal Mas Rio aja deh kalau gitu.”
“Serius, Rei!”
Belum sempat Reina menjawab pertanyaan gue, suara mantan gue yang sekarang bergelar perempuan pengganggu menyapa pendengaran kami berdua. Sumpah, belakangan gue benar-benar menyesal pernah punya masa lalu sama Puri. Dia tuh definisi cewek yang nusuk hati gue dengan belati tajam, ninggalin gue begitu aja, dan saat dia melihat bekasnya beberapa tahun kemudian dia ngotot mau memberi perawatan supaya hati gue balik mulus. What-a-f*****g-s**t banget kan?
“Rio? Aku mau bicara. Bisa minta waktu kamu sebentar?”
Reina berusaha mengurai pelukan kami. Tapi, sayangnya gue lagi ngga kepingin diganggu. So, hanya dekapannya yang melonggar, sementara rengkuhan gue justu semakin mengerat.
“Mas?” tegur Reina.
“Hmm?”
“Sudah malam banget, Mas. Antar Reina ke villa sekarang aja ya? Takutnya Mami khawatir.”
Gue mengangguk.
Jemari kami bertaut tanpa sungkan, melangkah beriringan seolah Puri tak kasat mata. Tepat saat selangkah kami melewatinya, Puri kembali memanggil gue.
Tadinya, gue ngga mau menanggapi. Namun, Reina berbalik hadap begitu saja. “Lo buta?”
“Gue ada perlu sama Rio, bukan sama lo.”
“You make me sick, Puri. Apa pun rencana lo, just forget it. Satu lagi, untuk alasan apa pun, gue ngga akan pernah sudi memperbaiki hubungan kita. We’re done, just like you’ve said. Dan gue ngga berteman dengan mantan!”