Bumi mengendarai mobil dengan sedikit kecepatan, tidak sampai tiga puluh menit ia membelokkan mobil SVU warna putihnya ke depan lalu terlihat gerbang yang menjulang tinggi.
Tin! Tin!
Bumi mengklakson mobilnya, agar di bukakan pintu. Dengan terburu satpam penjaga rumahnya, langsung membukakan pintu gerbang. Setelah pintu gerbang terbuka ia pun melajukan mobilnya menuju garasi mobil, terlihat ada beberapa mobil termasuk mobil papanya yang sudah terparkir rapi di garasi.
Setelah mematikan mesin, Bumi keluar dengan di bukakan pintu oleh sang satpam. "Selamat datang, Tuan Muda," ucap satpam ramah.
"Apa Papa pulang sudah dari tadi?" tanpa menjawab salam satpam, Bumi malah menanyakan tentang papanya.
"Tuan Besar, sudah sedari sore pulang dari kantor Tuan Muda," jawab satpam sedikit menunduk.
Bumi pun melangkah menuju pintu utama rumahnya, dengan cepat ia membuka pintu. Terlihat Pak Bayu, sedang duduk di sofa sambil membaca surat kabar.
"Dari mana saja kamu, Bumi? Jam segini baru pulang ke rumah, dimana kewajibanmu sebagai seorang CEO jika kerjaan kamu hanya keluyuran tidak jelas begitu?!" sarkas Pak Bayu, dengan nada seperti biasa dingin.
"Tumben sekali Anda menanyakan kemana saya pergi, dan datang dari mana saya? Apa dunia sudah terbalik, sehingga Anda mulai memperhatikan saya Tuan Bayu Mahendra!" jawab Bumi, dengan ekspresi tidak kalah dingin.
"Jaga mulutmu itu, Bumi!" bentak Pak Bayu, sambil menghampiri putranya.
"Kenapa? Apa Anda tersinggung, dengan apa yang saya ucapkan tadi?!" tanya Bumi, dengan senyum remehnya.
"Tidak bisa menjawab 'kan, karena yang saya ucapkan memang benar. Jadi jangan sok perhatian kepada saya, saya bisa mengurus diri saya sendiri."
"Urus saja semua pekerjaan Anda, dan juga wanita-wanita jalang simpanan Anda itu!" lanjut Bumi, masih dengan nada dingin.
Plakk!
Pak Bayu menampar wajah Bumi dengan sangat keras, tapi setelah itu terlihat tangannya gemetar.
"Pukul! Pukul lagi, Tuan Bayu! Kalau Anda belum puas, ini pistol tembakkan saja di sini," teriak Bumi, dengan kemarahan sambil mengeluarkan pistol yang ada di laci meja tepat berada di sampingnya.
Lalu memberikan ke tangan Pak Bayu, bahkan ia langsung menuntun tangan Pak Bayu mengarahkan ke dahinya sendiri.
Pak Bayu semakin gemetar tangannya, dengan pandangan menyesal dan sendu ia memandang putra satu-satunya. "Maafkan ... Papa, Sayang. Tadi Papa khilaf, Papa minta maaf," sesal Pak Bayu.
"Menyesal! Tapi setelah itu Anda selalu mengulanginya, apa itu yang dinamakan menyesal? Anda tidak akan pernah mempunyai perasaan itu, ketika saya mengatakan wanita-wanita simpanan Anda. Dalam sekejap mata Anda akan murka kembali kepada saya," bisik Bumi, tapi masih bisa di dengar Pak Bayu.
Ucapan Bumi langsung membungkam mulut Pak Bayu, memang benar selama ini ia hanya mementingkan pekerjaannya dan juga saat bersama wanita teman kencannya. Hingga ia melupakan kewajiban sebagai seorang papa, jika sang putra butuh perhatian dan juga kasih sayang darinya.
"Setelah Anda merenggut Mama, saya tidak lagi mengganggap Anda sebagai Papa saya!"
"Mana ada seorang suami hanya mementingkan selingkuhannya, dari pada istrinya sendiri yang saat itu sedang sakit. Anda malah bersenang-senang, bahkan menghabiskan waktu di hotel dengan wanita-wanita itu! Ketimbang menemani wanita yang sudah mensuport Anda hingga bisa sesukses sekarang."
"Ketika Mama telah meninggal Anda juga tidak menyesal, bahkan kelakuan Anda semakin menjadi. Kebencian saya bertambah ketika Anda dengan tidak bertanggung jawabnya, meninggalkan sepasang suami istri yang Anda tabrak itu tengah jalan bahkan keduanya sedang sekarat di jalan.
"Tetapi Anda malah mementingkan urusan Anda, dengan w************n itu!" teriak Bumi, dengan suara terengah karena ia benar-benar menahan diri, agar tidak menyakiti papanya dengan tangannya sendiri.
Pak Bayu hanya diam, apa yang di katakan oleh putranya semua benar. Sekelebat bayangan tentang istrinya, dan juga sepasang suami istri yang sedang berada di atas motor ia tabrak lalu ia dengan teganya meninggalkan korban di jalan begitu saja.
"Ke--kenapa kamu bisa tahu tentang kecelakaan sepasang suami istri itu? Siapa yang memberitahumu?" tanya Pak Bayu dengan rasa ingin tahunya.
"Saya melihatnya sendiri, dengan tidak manusiawinya Anda pergi begitu saja dan saya sendiri yang membawa kedua korban ke rumah sakit. Anda tahu bagaimana keadaan kedua korban itu?"
"Sepasang suami istri itu telah meninggal, karena kehilangan banyak darah dan luka yang cukup parah karena ulah Anda," Bumi menjelaskan semua kejadian waktu itu.
"A--apa! Meninggal?!" tanya Pak Bayu dengan rasa kagetnya.
''Iya!"
Setelah mengatakan itu, Bumi melangkah menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Sedangkan Pak Bayu terpaku setelah mendengar penuturan putranya, jika korban yang ia tabrak keduanya telah tiada.
Rasa kesal masih hinggap dalam diri Bumi, ketika mengingat semua perlakuan papanya kepada mamanya yang sangat ia sayangi. Ia menahan rasa kesal itu dengan mengepalkan kedua tanganmya, hingga ia sampai di kamar yang besar dan mewah bernuansa hitam putih.
Bami membuka pintu kamarnya dengan kasar, lalu menutup kembali dengan kasar pula.
Blam!
"s**t ...," umpat Bumi, seraya menjambak rambutnya dengan kasar.
Setelah melampiaskan kemarahan pada rambutnya sendiri, Bumi membaringkan dirinya di tempat tidur king sizenya.
Bumi menatap langit-langit kamarnya, seraya mengingat semua kilasan satu tahun lalu, ketika sang papa mengkhianati sang mama tersanyang dan ketika papanya dengan tega menabrak seseorang tanpa mau bertanggung jawab pada sang korban.
Semua ingatan itu membuat hati Bumi malam ini begitu rapuh, tanpa sadar air matanya menetes. Ia begitu merindukan belaian sang mama, dan ingin berada dalam dekapan sang mama.
Flashback :
Bumi untuk pertama kali, mengetahui sang papa yang menjadi panutannya sedang berselingkuh dengan sekretaris pribadi Pak Bayu, di ruang kerja papanya sendiri.
Sedangkan saat itu sang mama sedang terbaring, merintih kesakitan di kamar. Tanpa adanya perhatian dari sang papa.
Bumi yang saat itu baru kelas dua SMA, anak yang begitu polos, penurut dan mempunyai sifat yang baik. Berubah 180 derajat, setelah pengkhianatan sang papa.
Dengan mata kepalanya sendiri. Bumi melihat sang papa sedang b******u mesra dengan sekretaris, bahkan keduanya seolah lupa kalau di dalam rumah itu masih ada orang lain, termasuk Bumi.
Bumi melihat adegan setiap adegan itu dalam layar laptop di dalam kamarnya, ia menyaksikan itu dengan pandangan jijik. Sengaja ia menaruh CCTV di ruang kerja sang papa, karena ia ingin tahu dan melihat seberapa jauh sang papa mengkhianati mamanya.
Bumi menahan semua rasa sakit dan juga kemarahan di dalam dadanya, ia ingin sekali mendobrak pintu ruang kerja papanya. Lalu menyeret wanita simpanan itu keluar dari rumahnya, tapi ia tahan.
Karena Bumi ingat, ia tidak ingin membuat kegaduhan yang akhirnya membuat istirahat sang mamanya terganggu.
Semakin hari kelakuan Pak Bayu semakin menjadi, bermesraan keduanya tidak mengenal tempat. Hingga membuat sang mama kena serangan jantung mendadak, sebab tidak kuasa melihat pengkhianatan suaminya.
Bu Lidia Mahendra, malam itu juga meninggal dunia. Meninggalkan sosok Bumi yang masih haus kasih sayang dari sang mama.
Bumi pun tidak kuasa lagi untuk menahan dirinya untuk menegur, sang papa dan sang wanita simpanan Pak Bayu. Ketika wanita itu sedang duduk manis, seraya menghilangkan salah satu kakinya di sofa ruang tamu.
Plakk!
"Keluar dari rumahku, wanita sialan! Gara-gara ulah busukmu itu, Mamaku tiada!"
"Aww ...," rintih sekertaris Pak Bayu, lepaskan tangan kamu Tuan Muda.
"Rasa sakit yang kamu rasakan saat ini, tidak seberapa. Di bandingkan rasa sakit saat aku kehilangan Mamaku!'' desis Bumi, seraya menjambak rambut sekertaris Pak Bayu dengan kasar.
Setelah menjambak rambut wanita simpanan Pak Bayu, Bumi menyeret hingga ke teras rumah megahnya.
Bruk!
"Pergi kamu, dari sini! Jangan pernah injakkan kakimu di sini lagi!"
"I--iya, saya tidak akan kemari lagi. Tapi tolong lepaskan tangan, Tuan Muda. Di rambut saya, ini sangat sakit," rintih sekertaris Pak Bayu, yang bernama Monica sambil memohon di lepaskan.
Monica di lempar Bumi, hingga terduduk di lantai dengan rambut acak-acakan. Bumi masih belum puas terus menjambak rambut panjang itu kembali, bahkan jauh lebih kencang dari sebelumnya. Monica hanya terus mengaduh kesakitan.
Pak Bayu yang mendengar keributan dari dalam rumah langsung keluar, dan betapa terkejutnya ketika ia melihat wanita yang menemani tiap malamnya, dalam kondisi mengenaskan dengan luka memar di wajah putih mulusnya kini terlihat kentara merah.
"Bumi! Apa yang sudah kamu lakukan pada Monica?!" tanya Pak Bayu seraya melepaskan tangan Bumi, yang berada di atas kepala Monica.
Plakk!
"Apa yang sudah kamu lakukan pada wajahnya? Kenapa kamu menampar Monica, lihat wajah cantiknya jadi lebam?!" tanya Pak Bayu bertubi, dengan ekspresi marah pada putranya.
"Ciihh! Apa kamu marah ketika wajah simpananmu itu rusak, karena ulah dari putramu ini?!"
Deg.
''Ke--kenapa kamu bisa tahu, jika aku menjalin hubungan dengannya?" tanya Pak Bayu heran, sekaligus terkejut ketika rahasia yang ia simpan baik-baik terbongkar juga. Sekarang putranya mengetahui hubungan terlarang antara dirinya dengan sekertaris pribadinya.
"Saya tahu semua perbuatan Anda, Tuan Bayu Mahendra! Karena saya telah memasang CCTV untuk melihat sebarapa jauh penghianatan Anda terhadap Mama saya."
"Hilang sudah rasa hormat sekaligus rasa kagum saya pada, Anda. Mulai malam ini, saya bukan lagi putra Anda Tuan Bayu. Saya hanya anak dari Lidia Mahendra, sang pewaris kekayaan dari mendiang Lidia Mahendra,'' ucap Bumi kecewa, dengan sorot mata kebencian pada sang papa.
"Meskipun Mama kamu mempunyai sebagian harta ini, tapi semua juga karena ada campur tanganku," jawab Bayu tidak terima.
"Anda boleh mengambil sebagian harta Mama, sebagai imbalan karena selama ini Anda ikut andil dalam perkembangan perusahaan. Tapi ingat setelah malam ini, jangan harap Anda membawa wanita itu masuk ke dalam rumah ini," pesan Bumi masih dengan nada dinginnya.
Sesungguhnya Bumi tidak kuasa berkata kasar pada sang papa, tetapi karena Pak Bayu sudah di butakan oleh cinta dari Monica wanita yang beberapa tahun belakang ini. Membuat Pak Bayu melupakan kewajibannya sebagai seorang ayah mau pun seorang suami ketika mendiang istrinya masih hidup dulu.
Bersambung