Pov Riyanti
"Jangan gitu dong, Mel. Bantu aku setidaknya menemaniku beli pindang. Tahu sendiri kan
warung Mbok Nem menunya berbeda-beda tiap harinya."
"Hmm, gimana kalau kita minta tolong Mbok Nem aja nyiapin pindangnya selama seminggu."
"Haa benar juga ide bagus Mel. Tapi..., kasihan juga nanti Mbok Nem kalau harus nyiapin
cuma untuk kita doang. Belinya kan enggak banyak, cuma untuk seorang Pak Alfa aja atau
paling banyak tiga orang sama kita."
"Yeay, aku nggak mau makan pindang seminggu lah Ti," tolak Amel yang kubalas dengan
cengiran.
"Aku juga enggak lah Mel."
Esok hari selesai kuliah Amel mengajakku duduk santai di gazebo taman kampus.
Ting, notif pesan masuk di ponselku.
[Kak, les hari ini bisa maju jadi jam 1 nggak? Aku ada ekstra karate sore]
[Oya siap, Kak Yanti insyaAllah bisa]
[Makasih, kak]
[Sama2]
"Ada apa, Ti?"
"Les privat minta maju jadi jam 1, anaknya mau ada karate sorenya."
"Oh. Ya sudah ayo segera ishoma (istirahat, sholat dan makan). Biar nggak telat berangkat
ngasih privatnya."
Aku mengangguk mengikuti ajakan Amel, namun segera kutepuk jidatku kalau ingat ini.
"Astaghfirulloh, Mel. Kalau aku ngajar privat siang ini, pindangnya gimana?"
"Iya ya, hmm kamu WA aja, Ti. Bilang mundur aja sore nganternya, pasti Pak Alfa ga akan
marah."
"Baiklah nanti aku WA."
Siang hari aku sudah di rumah muridku Arsy namanya. Dia adalah salah satu muridku
tingkat SD, sedangkan muridku yang lain SMP dan SMA.
Perlu ekstra kesabaran untuk mengajar anak SD yang satu ini. Pasalnya aku jadi bukan
sekedar pengajar matematika tapi semua mata pelajaran(mapel). Bahkan aku tak jarang juga
berprofesi jadi psikolog dadakan. Karena muridku tidak hanya minta diajari materi tapi
mereka butuh teman curhat atau ngobrol. Karakter murid yang kuajar juga berbeda-beda.
Ada yang dengan mudah menerima materi matematika yang aku jelasin, ada juga yang
butuh jembatan keledai atau cara mudah memahami dengan membawa masalah
matematika ke dalam kehidupan nyata.
Seperti kali ini, aku sudah menyiapkan soal latihan setelah menjelaskan materi. Baru satu
soal perkalian kami bahas, setelahnya Arsy ngobrolin tadi di sekolah beli jajan apa aja. Lalu
dia bercerita ada temannya yang suka usil dan membuatnya kesal. Aku hanya geleng-geleng
kepala, mengajar itu melatih kesabaran.
"Yuk, dik kita lanjutin soal nomer 2. Berapa hasil 5 dikali 12?"
"Hmm,...." Arsy tampak berpikir dan menggaruk kepalanya.
"Susah, Kak."
'Hufh, sabar Yanti...ngajar anak orang,' batinku yang ingin menjerit kalau saja di depanku
ini adikku. Sebentar lagi muridku ini naik kelas 5 tapi masih susah berhitung.
"Baiklah, coba kakak tanya nih. Kalau kamu punya lima keranjang, tiap keranjangnya berisi
apel 12. Nah ada berapa jumlah apel semuanya?"
Sejenak dia mulai menghitung dengan penuh semangat.
"60 apel, Kak."
"Perfect. Seratus buat kamu. Ayo kita coba lagi!"
"Wah hebat, kamu pintar sekali dik. Jadi perkalian ini bisa kita artikan dengan penjumlahan
berulang. Yang 5x12 sama artinya 12+12+12+12+12=60." Arsy mengangguk paham sambil
tersenyum padaku.
Yah, ternyata beginilah seharusnya mengajar dengan karakter siswa yang berbeda harus
disesuaikan metodenya. Dia sangat antusias untuk mengerjakan lagi soal yang kuberikan,
tentunya masih sambil diselingi bercerita. Aku pikir sudahlah tidak apa-apa, bukankah
belajar dengan hati riang gembira akan lebih mudah diserap daripada belajar dalam keadaan
terpaksa.
"Wah serunya." Tiba-tiba sang ibu Bu Salma datang menghampiri kami.
"Tentu, Ma. Kak Yanti asyik ngajarinnya."
"Alhamdulillah, besok lusa kita sambung lagi ya," janjiku untuk pertemuan berikutnya.
"Makasih ya Mbak Yanti."
"Sama-sama Bu, semoga bermanfaat dan lebih semangat belajar dik Arsy nya."
"Oya, habis ini bisa ngajari ponakan saya nggak? Dia kelas 3 SMP ingin belajar matematika
untuk persiapan ujian akhir."
"Oh, rumahnya mana Bu? Saya cuma bersepeda." Aku dengan senang hati menerima karena
bagiku ini adalah rejeki apalagi materi SMP masih bisa aku ajarkan tanpa persiapan banyak.
Berbeda kalau yang ditawarkan adalah anak SMA mungkin aku tidak berani dadakan, takut
mengecewakan.
"Dekat kok nanti saya antar, sekarang makan dulu ya. Yuk dik, temani Mbak Yanti makan."
"Ah nggak usah repot-repot, Bu."
Aku masih malu-malu merasa sungkan meski di lubuk hati bersorak Alhamdulillah uang
jatah makan 1 kali aman. Beginilah saat aku memberikan les, terkadang selain dapat HR
aku juga dapat suguhan cemilan atau makan besar. Aku sangat bersyukur setidaknya bisa
mengurangi pengeluaran jatah makan. Terkadang aku sekalian berpuasa senin kamis atau
puasa Daud bersama Amel. Tidak apa-apa bukan meskipun niat kami awalnya belum lurus
puasa untuk ibadah, melainkan menghemat uang. Setidaknya kami bisa bertahan di saat
kantong ini menipis.
"Ayo, ini enak lho tadi saya masak dibantu adik."
"Wah anak pintar kamu, dik. Selain rajin belajar juga rajin bantu Mama."
"Tentu, dong." Muridku langsung senyum riang tatkala aku memberikan pujian padanya.
Begitulah anak-anak selalu gembira saat prosesnya dihargai.
Aku seketika ingat Pak Alfa saat memandang satu piring pindang di depanku. Terbesit dalam
pikiranku ingin membawa satu biji saja biar aku tidak repot mencarinya karena setelah ini
masih harus mengajar ponakan si ibu.
"Hmm, Bu. Maaf apa saya boleh membawa pulang jatah pindang ini? Untuk kucing saya di
kos." Tanpa malu aku memberanikan diri meminta ijin. Meski sedikit tidak jujur pada si ibu
karena tidak mungkin aku bilang untuk Pak Alfa.
"Oh ya ampun Mbak..., kirain mau apa. Santai saja sekarang makan dulu, nanti saya
bungkusin ya buat dibawa pulang."
"Alhamdulillah. Trimakasih banyak, Bu,"ucapku tersipu malu.
Selesai makan aku sudah diberi nasi bungkus plus pindang dobel untukku dan si kucing,
eh maksudku Pak Alfa.
Aku diantar ke rumah ponakan si Ibu ternyata tidak jauh dari rumahnya.
Aku akan mengajar anak laki-laki yang sudah siap di meja belajarnya, namanya Niko.
Sementara Bu Salma sudah pulang ke rumahnya meninggalkanku.
"Ayah ibumu belum pulang ya, dik Niko? Kok sepi."
"Papa bentar lagi mungkin datang Kak. Kalau Mama...?"
Ada jeda kalimatnya dan kutatap wajahnya berubah sendu.
"Kenapa?"
"Mama pergi jauh."
"Oh, maaf. Kak Yanti bikin kamu sedih ya? Ya sudah ayo Kakak jelasin materinya." Aku
sedikit kaget dengan perubahan sikapnya, mamanya pergi artinya apa. Bisa jadi mamanya
meninggal atau berpisah dengan papanya. Ah entahlah, aku fokus mengajar kembali
sebelum dia menjadikanku psikolog dadakan.
"Soal yang ini caranya gimana, Kak?"
"Oh, ini namanya menentukan luas permukaan balok. Hmm, kamu punya kotak bekas
nggak?"
"Sebentar aku cari, Kak. Ucapnya semangat."
Beberapa detik kemudian dia sudah datang dengan dus snack. Aku membongkarnya
menjadi sebuah jaring-jaring balok. Lalu kutuliskan panjang sisi-sisinya pada dus itu. Aku
memintanya menghitung luas masing-masing bangun datar dari jaring-jaring tadi.
"Ini sudah kuhitung Kak," katanya.
"Nah, ini tinggal kamu jumlahkan maka hasilnya adalah luas permukaan balok."
"Wah iya benar ketemu jawabannya."
"Jadi, luas permukaan balok adalah 2x(pxl)+2x(lxt)+2x(pxt) dengan p panjang, l lebar dan t
tinggi balok."
"Lagi kak, soal berikutnya."
.....
Sampai tak terasa sudah 1,5jam, aku harus segera pulang sebelum kemalaman.
"Eh ehmm, seru sekali Mas belajarnya?"
"Iya nih Pa. Sama Kak Yanti." Aku sontak terkaget melihat papanya ternyata masih tergolong
muda sekitar 40an umurnya mungkin. Wajahnya 11 12 dengan Pak Alfa, mereka berdua
sama dewasanya, sama gantengnya.
Hanya saja laki-laki ini sudah punya anak dan entah dimana istrinya seperti yang anaknya
tadi bilang pergi jauh. Kalau papanya ditinggal mamanya berarti laki-laki ini duda.
'Astaghfirullah, ni otak sudah tercemar. Aku kembali fokus dengan tujuanku untuk tidak
memikirkan jatuh cinta selama mimpiku belum tercapai.'