JPD 4 Salah Mengira

1131 Kata
Pov Riyanti "Kamu nggak apa-apa? Kenalkan Saya Hendra papanya Niko." "Oh, saya Riyanti Pak." Aku balas memperkenalkan diri saat Pak Hendra mau menyalamiku namun kubalas dengan menangkupkan kedua tanganku. "Trimakasih sudah mengajar anak saya, Yanti." "Sama-sama, Pak. Alhamdulillah Niko cepat kok memahami materi yang saya jelaskan." "Syukurlah, besok kesini lagi bisa?" "Insya Allah." Aku segera berpamitan pulang. Aku mengayuh sepedaku membelah jalanan yang sudah mulai ramai karena senja telah tiba. Beginilah aktivitasku selain di kampus, aku mengajar privat hingga senja tiba. Ini menjadikanku menyukai senja yang indah dipandamg mata. Sepanjang aku mengayuh sepeda, tak henti-hentinya aku bersyukur karena hari ini mengajar 2 anak artinya dapat HR 2x meski diterimanya di akhir setiap 5x pertemuan. Selain itu aku gembira karena telah membawa pindang pesanan Pak Alfa. Tiba-tiba ponsel di sakuku bergetar tertera nama "dosen Alfa". 'Haah, Pak Alfa pasti mencariku.' [Halo, Yanti. Dimana sekarang? Pindangnya mana?] Terdengar suara Pak Alfa sambil teriak mengesalkan. [Iya-iya tunggu setengah jam lagi] [Lama amat, keburu lapar nanti ngamuk] 'Haah serius Pak Alfa ngamuk nih?' batinku. [Sabar Pak, saya cuma nyepeda nih] [Kamu dimana sih?] Tut...tut Aku menutup sepihak teleponnya. Suaranya sudah membuatku kesal. Ini benar-benar salahku lagi karena lupa mengirim pesan pada Pak Alfa kalau aku mengajar privat dulu sampai menjelang Maghrib. Alhasil dia sampai menelponku menanyakan pindang saat aku sedang diperjalanan. Dan apalagi dia bilang tadi, akan mengamuk karena lapar. Wah horor sekali kalau aku diamuk nih. ---- Aku sudah sampai di depan kontrakan Pak Alfa. Segera kupencet bel dan orang yang kucari sudah terlihat batang hidungnya. Oh tidak, godaan lagi melihat penampilan santai Pak Alfa dengan baju kaos dan celana jeansnya selutut. Beruntung lampu halaman depannya tidak begitu terang sehingga tidak menampakkan wajahku yang pasti sudah memerah karena mengaguminya. "Sudah Magrib?" tanyanya menginterogasi, aku pun menggelang. "Ckk, kamu dari kos?" Aku menggeleng lagi tak bersuara karena masih menetralkan nafas yang ngos-ngosan memburu waktu sholat, membelah jalanan menembus senja. Pak Alfa menunjukkan masjid yang berselisih dua rumah dengan kontrakannya. Aku pun bergegas sholat di masjid yang ditunjukkannya. Sedikit lega terasa karena sudah melaksanakan kewajiban sholat. "Sini mana pindangnya!" Aku mengeluarkan satu bungkusan yang dibawakan Bu Salma dan satu lainnya buat makan malam sampai kos nanti. "Kenapa pakai nasi, kan aku bilang pindang saja." Kudengar Pak Alfa lalu memanggil pusy,pusy. 'Pussy...? Astaga jadi pindang itu untuk kucingnya.' Aku menepuk jidatku dan segera pulang ke kos dengan perasaan kesal. Kupikir Pak Alfa yang mau makan dan sudah kelaparan, kupikir dia yang akan mengamuk. Oh ternyata...., seekor kucing besar beserta satu kucing kecil yang butuh pindang. Padahal aku sudah mengayuh sepedaku dengan kecepatan lebih sampai ngos-ngosan dan perut ini keroncongan. --- Pov Alfa Riyanti berlalu dari kontrakanku dengan muka kesal yang aku pun tidak tahu penyebabnya. Apa karena pindangnya aku kasih ke kucing? Jangan-jangan dia mengira aku yang akan memakannya sampai-sampai dia ngos-ngosan datang dengan sepedanya. Sebenarnya dia darimana? Itulah rentetan tanya dibenakku. Namun aku justru senang saat semakin membuatnya kesal. Apakah aku sudah gila? Ah entahlah aku pun tidak tahu. Yang pasti, dia gadis manis berpenampilan sederhana. Suka berkata apa adanya dan sepertinya enak diajak ngobrol asal aku tidak membuatnya kesal. Seandainya dilihat dengan seksama maka akan terpancar pesona yang menarik dari wajahnya. Aku jadi teringat ucapan temannya di kelas kalau Riyanti pasangan sejatinya Galang. Apakah benar mereka berpacaran? tanyaku dalam hati. Tapi sekilas dilihat mereka hanya sekedar dekat dan tidak lebih. Memang mereka terlihat akrab satu sama lain tapi Riyanti terlihat mampu menjaga batasan untuk tidak berbuat lebih jauh seperti kontak fisik dengan lawan jenis. Bolehkah aku berandai-andai untuk menjadikan dia sebagai pasanganku? Ah, kenapa juga berandai-andai. Bukankah lebih bagus berprasangka yang baik pada Allah dan berdoa jika memang dia perempuan baik semoga bisa dipasangkan denganku, pikirku. Aku rasa perlu mengenalinya lebih jauh supaya tidak berakhir kecewa. Pov Riyanti Baru saja aku menerima pesan singkat dari ibuku. Beliau butuh uang untuk membayar cicilan mingguan uang yang dipinjamnya dari seseorang. Di kampung memang sedang gencar pinjaman-pinjaman praktis sekitar 500rb sd 1 juta hanya dengan modal FC KTP. Banyak tetangga yang tergiur tak terkecuali ibuku. Oh tidak, kini ibuku terjebak pinjaman dari orang yang bisa dikatakan lintah darat. Padahal kalau dihitung-hitung ini sangat memberatkan, bunganya pun tergolong tinggi. Dalihnya pihak piutang ingin membantu meringankan warga yang butuh uang. Hasilnya justru warga yang pinjam jadi terlilit hutang dan dikejar-kejar angsuran mingguan. Selain itu, warga yang pinjam jadi hidup konsumtif. Mereka bisa membeli apa saja dengan uang pinjaman itu tanpa memikirkan bagaimana nanti mengembalikanmya. Pada akhirnya mereka gali lobang tutup lobang. Oh ibuku, bisakah aku segera menjadi orang kaya saja supaya hidup kita tidak susah? tangisku dalam hati mengingat rentetan hutang-hutang orang tuaku yang tercatat di kepalaku. Flashback on Saat aku duduk di SMA, terdengar suara tamu datang menyambangi rumah. Dia seorang juragan kaya raya dari desa seberang. "Pak Rahmat, kapan kalian akan mengembalikan uangnya? Katanya bulan ini, hah," ucapnya setengah berteriak. Meskipun sudah kakek-kakek tapi tak menurunkan nada bicaranya yang latang. Bahkan sampai terdengar di kamarku. Saat itu Mbak Ratih dan Amar adikku entah kemana, hanya aku yang menguping pembicaraan di ruang tamu. Sebenarnya bukan sengaja menguping tapi karena suara juragan yang lantang otomatis masuk ke telingaku. "Sekali lagi maafkan kami, Pak. Kalau boleh kami minta pengunduran sebulan lagi," pinta bapakku dengan memohon belas kasihan. Ada nyeri dihatiku saat mendengar permohonan belas kasihan pada seorang yang sudah renta itu namun dibalas dengan caci maki. Bapak ibuku hanya terdiam mendengar makian sang juragan. Sementara aku menahan tangisan yang menyesakkan d**a. Kalau saja kamarku kedap suara, aku mungkin akan berteriak. Aku ingin berteriak kenapa hidup kami jadi begini. Dulu bapak ibuku termasuk orang yang disegani, harta benda yang lebih dari cukup sehingga kami sekeluarga bisa hidup berkecukupan. Bapak memiliki.jabatan penting di pemerintahan desa, sedangkan ibu seorang ibu rumah tangga. Dari hasil kerjanya, bapak bisa membeli tanah dan sawah untuk investasi. Bapak juga membeli kendaraan 1 mobil dan 2 motor untuk transportasi. Bapak dan ibu juga gemar menolong saudara atau tetangga yang memerlukan. Mungkin ini sebagian ujian dari Allah yang harus kami terima supaya keluarga kami selalu bersyukur atas nikmat-Nya serta bersabar atas cobaan-Nya. Roda kehidupan kadang di atas, kadang di bawah bukan. Kini keluarga kami sedang di posisi bawah. Musibah kala itu datang tak terduga. Lengsernya jabatan bapak dan tersandung kasus membuat semua harta yang dipunya habis tak tersisa. Akibatnya bapak ibu harus menjual aset yang dipunya, tanah, mobil bahkan motor. Hanya tersisa dua sepeda ontel. Satu sepeda dipakai bapak dan satunya aku pakai kalau ke sekolah. Adikku cukup jalan kaki kalau berangkat sekolah waktu itu karena lokasinya tidak jauh dari rumah. Bersyukur kami masih diberi kesehatan terutama bapak dan ibu yang harus menanggung semua lahir batin. Semua pegawai masih perlu diberi pesangon. Kata bapak tak apa menanggung hutang daripada melihat pegawai yang telah loyal padanya turut menanggung kerugian. Begitulah kuatnya tekad bapak. Hatiku miris melihat kondisi keluarga yang kian terpuruk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN