After Birthday Party

1174 Kata
                “Semalam pulang jam berapa kamu?” Tanya ibu ketika melihat ku duduk di ruang keluarga sembari menyesap teh hangat untuk menghilangkan rasa pusing ku. Hari ini aku pulang kantor lebih awal, selain karena pekerjaan ku cepat selesai, aku juga masih sedikit oleng, sehingga aku memutuskan untuk pulang lebih awal, padahal tadi Rosa mengajak ku untuk main dulu ke kafe pacar nya yang baru di buka hari ini juga.                 “Jam berapa ya? Jam 3 bu.” Jawab ku santai. Aku dan ibu memang tergolong santai, ibu bukanlah tipikal toxic parents yang akan melarang anak gadis nya ini itu. semenjak menginjak usia 18 tahun, aku dan Cena sudah di biarkan mengambil keputusan sendiri, termasuk, minum alkohol dan pulang malam.                 “Mobilnya mana? Kok gak ada? Di bawa ke bengkel ya?” Tanya ibu. Aku diam sejenak, kemudian tersadar, bahwa mobil ku masih terparkir rapih di halaman parkir hotel tempat Maretha ulang tahun semalam.                 “Aduh lupa. Semalam aku pulang di anterin sama mas Al, aku mabuk soalnya.” Jawab ku jujur.                 “Kok bisa bareng? Emang sengaja nge date apa gimana? Tapi gak mungkin nge date sih kalau kamu udah nyebut mabuk.” Sambung ibu. Aku mengangguk, sembari mengutak atik ponsel ku, berusaha menghubungi salah satu teman ku yang dapat menolong ku untuk mengambil mobil itu, aku terlalu malas untuk keluar rumah lagi. “Iya, acara ulang tahun temen. Kebetulan temenku temennya dia juga. Makanya tadi pagi mobil papa aku yang pake.” Jawab ku dengan santai. Ibu mengangguk kemudian ia duduk di sebelah ku, meraih remote televisi kemudian menyalakannya. Kami berdua diam saja, tidak ada percakapan di antara kamu berdua setelahnya, yang terdengar hanya suara televisi yang menggema memenuhi suara seisi ruangan.                 “Semalam Cena cerita ke ibu, kata nya kamu kasar banget sama dia. Jangan gitu atuh neng, kasian kakak kamu.” Ucap Ibu. Sudah ku duga, pasti akan melapor kepada ibu soal ucapan ku semalam, padahal ku anggap biasa saja, toh aku juga tidak salah. Kami berdua sudah sama-sama dewasa, dan Cena tidak sepantasnya mengurusi ku.                 “Konyol banget deh, emang salah if I told her to just mind her fuckin business? Ngga kan bu? Ibu jangan apa-apa belain dia dong, gak suka ah di gituin. Kalau semua mau nya di turuti sama ibu sama papa, dia bakal gitu terus, emang dia siapa pake segala harus jaga ucapan di depannya.” Jawab ku kesal. Itu lah salah satu faktor yang membuat ku dengan Cena tidak akrab satu sama lain, aku orang yang cenderung blak-blakan jika berbicara, sementara Cena terlalu sensitif, ia bagaikan putri raja yang selalu menjaga ucapannya, dan berharap kepada orang lain sama halus nya dengan dia, ya tidak bisa lah, beda orang beda karakter, dan terkadang Cena memaksakan itu semua.                 “Kamu kan tau dia gimana… kamu bilang gitu aja semalem, di depan ibu dia udah berkaca-kaca.” Balas Ibu ku.                 “Ya bukan urusan ku juga, dia nya aja yang sensitif.” Jawab ku.                 “Kamu makan gih, emosi mulu.” Ucap ibu, beliau berusaha mengalihkan pembicaraan kami karena pasti ibu telah melihat mood ku yang sebentar lagi akan semakin hancur. Aku menggeleng kemudian merebahkan kepalaku di atas paha ibu, posisi ternyaman yang bahkan sampai detik ini tidak bisa ku temukan pada diri orang lain. Aku mengantuk sekali, terlebih ketika ibu mulai mengelus rambut ku, aku bahkan tidak sadar kapan aku mulai terlelap.                 Entah berapa jam aku tidur, yang jelas ketika bangun, televisi dan pendingin ruangan di ruang keluarga masih menyala, ku lihat jam di televisi, sudah pukul sebelas malam, yang berarti aku tidur sekitar enam jam, lumayan juga. Keadaan rumah sudah kosong, ku lihat kunci mobil ku tergeletak di atas meja di depan ku, tunggu, siapa manusia baik ini? Aku buru-buru naik ke kamar, sembari mengecek siapa yang mengambil mobil ku di hotel lalu membawa nya pulang ke rumah, namun tak satu pun teman ku mengaku, aku juga tidak bisa bertanya kepada orang rumah karena mereka pasti sudah tidur. Ting!                 Ku dengar sebuah dentingan notifikasi pada ponsel ku ketika aku sedang berusaha memejamkan mata ku lagi, aku mengecek ponsel ku dan mendapati nama Mas Al di pop up notifikasi paling atas, aku kemudian bangun lagi, duduk tegak sebelum membaca pesan dari pria itu. Mas Al                 Kunci nya sudah saya simpan di atas meja.                 Saya sudah bicara sama ibu kamu.                 Kalau sudah bangun kabari saya.                 Aku hampir saja terlonjak kaget ketika membaca isi pesan tersebut. Aku duduk tegak, sembari memijat kepala ku yang tiba-tiba terasa pusing. Berani sekali dia. Aku tahu, mas Al itu tipikal laki-laki idaman kaum hawa dengan kesempurnaan beberapa tingkat di bawah yang paling sempurna, tapi karakter ku dan karakter nya tidak cocok sama sekali. Jika di banding aku, Cena jauh lebih coock dengan Mas Al.                 Keesokan hari nya, aku tentu bangun lebih awal, se sering-sering nya aku mabuk, aku pasti akan tetap menjalankan kewajiban ku yaitu sholat. Setelah sholat baru lah aku bersiap-siap menuju kantor. Aku mungkin yang paling lambat bangun di rumah ku, sebab ketika aku turun, ibu, papa, dan Cena sudah duduk di meja makan sembari menikmati sarapan mereka. Seperti biasa, aku cipika cipiki dengan papa, lalu duduk di samping nya. Di banding Cena, aku memang yang paling dekat dengan papa, entah apa sebab nya, tapi Cena terlihat jauh lebih dekat dengan ibu, apapun ia bisa ceritakan kepada ibu.                 “Tumben neng semalam langsung tidur, papa pengen gendong ke kamar tapi pinggang papa udah gak kuat. Mau minta tolong sama Al, tapi gak enak.” Ucap papa, mendengar nama pria itu aku jadi yakin bahwa semalam ia memang sedang tidak berbohong, padahal aku kira ia hanya  bercanda kepadaku.                 “Mas Al kesini?” Tanya Cena. Papa mengangguk.                 “Ngapain?” Tanya Cena, lagi.                 “Itu kak, dia balikin kunci mobil nya Celine kata nya.” Jawab papa. Setelah nya Cena terdiam, sesekali aku mendapati nya menatap ke arah ku, entah apa maksud nya, tapi yang ku lihat, akhir-akhir ini memang Cena sering kali berusaha dekat dengan ku, terkadang mengajak ku bicara, masuk ke kamar ku, atau melirik ku sekilas, padahal sebelumnya dia hampir tidak pernah begitu.                 Setelah menghabiskan sarapan ku, aku berdiri lalu mengambil tas ku, sudah hampir pukul tujuh, dan seharusnya aku sudah berangkat. Aku cium tangan ibu dan papa untuk pamit.                 “Pergi dulu ya.” Ucap ku.                 “Cel… aku bareng ya sama kamu.” Ucap Cena. Aku tentu saja kaget, selama ini kami tidak pernah saling menumpang kendaraan satu sama lain, apalagi yang ku tahu mobil Cena sedang tidak ada masalah, harus nya dia bisa berangkat sendiri.                 “Kenapa?” Tanya ku.                 “Gak apa-apa, hari ini mobil ku mau di bawa ke bengkel sama Mang Harjo.” Jawab Cena. Aku berpikir sejenak, kemudian mengangguk dengan ragu. jadi lah kami berangkat berdua, di mobil, keadaannya begitu canggung, aku bahkan sampai berkali-kali memperbaiki posisi duduk ku karena tidak nyaman hanya berdua di dalam satu mobil yang sama dengan Cena.                 “Cel… aku mau ngomong deh.” Ucap Cena dengan pelan, ku lihat ia menunduk ke bawah, ia bahkan tidak mau menatap ku. Apa aku se-seram itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN