5. Keputusan Naya

1917 Kata
Papa dan Mama semakin gencar menyuruhku untuk segera menerima perjodohan. Aku masih kekeuh dengan pendirianku, yakni aku belum akan mengiyakan kalau perkenalanku dengan Mas Iqbal belum cukup. Aku memilih untuk menebalkan telinga tiap kali mereka—terutama Mama—memberondongku dengan pertanyaan yang sama. Aku benar-benar dibuat bingung. Hati dan otakku seringkali bertolak belakang. Tentu saja, hatiku ingin rasanya langsung mengiyakan perjodohan ini, tetapi tidak dengan otakku. Aku masih ingin memastikan banyak hal sebelum memberi keputusan. Aku tahu betul, mau menikah karena cinta atau bukan, potensi konflik akan tetap ada. Namun, jika sudah dibicarakan dengan matang, setidaknya bisa diminimalisir. Bukan begitu? “Hallo, Mas? Iya, aku udah nunggu di meja nomor tiga puluh tiga. Iya, iya, bener. Aku udah lihat Mas Iqbal.” Begitu panggilan terputus, aku langsung melambaikan tangan. Mas Iqbal tersenyum, lalu dia mendekat dengan langkah lebarnya. Malam ini kami sengaja janjian bertemu untuk membahas lebih lanjut tentang hubungan kami yang masih terlalu gamang. Pertemuan kali ini boleh diartikan kencan, boleh juga tidak. “Sudah lama, Nay?” “Belum, Mas. Sepuluh menitan mungkin.” “Oke. Maaf, ya, tadi lampu merahnya lama banget.” Aku mengangguk. “Enggak papa, Mas. Jadi ini mau pesan apa?” “Samain aja sama kamu.” “Oke.” Malam ini giliran aku yang pesan makanan karena pertemuan sebelumnya selalu Mas Iqbal yang membayar. Tadi sebelum berangkat, aku sudah bilang kalau malam ini giliranku. Kami masih orang asing, jadi bukan kewajiban Mas Iqbal membayar tiap kali kami jalan berdua. “Sehat, kan, Nay?” tanya Mas Iqbal begitu aku kembali ke meja. “Kurang, Mas.” “Loh?” Aku buru-buru menggeleng. “Enggak, enggak. Saya bercanda aja. Fisik saya sehat, yang kurang sehat mental saya karena cecaran Mama.” “Saya minta maaf—“ “Oh, enggak perlu, Mas. Saya justru agak malu. Kok kesannya malah Mama saya yang ngebet.” “Bukan hanya Mama kamu, Nay, tapi Ibu saya pun sama. Beliau hampir tiap hari nanyain kamu. Ngatain saya payah dan sebagainya karena belum bisa bikin kamu menyetujui perjodohan ini.” Mau tak mau aku tersenyum. Sejak awal kami ngobrol, kurasa kami sudah cukup terbuka satu sama lain. Ya, kecuali yang satu itu. Tentang foto. Obrolan kami tertunda ketika pelayan mengantar pesanan. Seperti sebelum-sebelumnya, kami selalu ngobrol ringan ketika makan. Obrolan serius baru dibahas setelahnya. “Mas Iqbal ...” panggilku pelan tepat ketika dia baru selesai makan. “Iya, Nay?” “Mas Iqbal tahu enggak alasan utama kenapa sampai detik ini saya masih belum mengiyakan perjodohan ini?” Alis Mas Iqbal menekuk. “Apa itu?” “Saya harap Mas Iqbal enggak tersinggung.” “Tersinggung kenapa memangnya? “Saya boleh pinjem dompet Mas Iqbal?” Sesuai dugaan, ekspresi Mas Iqbal seketika berubah. “Kenapa tiba-tiba pinjam dompet?” “Boleh atau enggak? Kalau enggak juga enggak papa.” Mas Iqbal terdiam sejenak, lalu akhirnya dia merogoh dompet dari saku celananya. Dia tampak ragu, tetapi berikutnya dia menyerahkan dompet itu padaku. “Saya enggak mau malak, Mas, tenang aja.” Mas Iqbal tersenyum, tetapi senyumnya tak selepas biasanya. Kemungkinan besar dia sudah tahu apa yang ingin aku bahas. “Itu foto pertama saya dengan Ara setelah kami mulai berteman dekat.” Mas Iqbal ternyata sudah lebih dulu menjelaskan, bahkan sebelum aku mulai bertanya. Dia mengatakan itu tepat ketika aku baru saja membuka dompetnya. “Mas Iqbal cukup peka rupanya.” “Kamu takut kalau saya masih mencintai Ara?” “Perempuan mana yang baik-baik saja kalau CALON SUAMI-nya masih menyimpan foto perempuan lain?” Aku sengaja menekankan kata calon suami agar Mas Iqbal tahu kalau sebenarnya aku tidak benar-benar menolaknya. “Saya rasa, daripada diri saya sendiri, Pak Davka akan lebih marah kalau tahu tentang ini.” Aku mengembalikan dompet Mas Iqbal, dan dia hanya mendiamkannya di atas meja. Mas Iqbal tampak menunduk sesaat, lalu dia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. “Saya lihat foto itu pertama kali waktu kita ke Becici, itu kalau Mas Iqbal penasaran.” “Enggak penting kapan kamu tahu, tapi sebenarnya saya malu.” “Malunya?” “Saya terkesan masih mengharapkan Ara yang notabene sudah jadi istri orang sejak lama, padahal saya menyimpan foto itu di dompet hanya karena ukurannya terlalu kecil dan rawan hilang.” “Segitu tidak maunya kah foto itu hilang?” “Nay, sebentar ...” Mas Iqbal menegakan badannya. “Apa ketika misalnya saya menikah denganmu nanti, kamu akan melarang saya bertemu Ara?” “Kalau misal iya?” “Saya akan memilih untuk membatalkan perjodohan malam ini juga.” DEG! Aku merasa seperti baru saja dihantam sesuatu. “Menyimpan foto itu di dompet bukan berarti saya masih mengharapkan Ara. Oke, banyak orang mungkin akan salah paham dengan ini. Tapi, Ara bukan orang yang bisa saya hapus begitu saja dari hidup saya.” “Mas—” “Kamu tahu, bahkan sampai detik ini, Pak Davka selalu mengizinkan saya dan Ara bertemu. Kenapa begitu? Karena dia tahu, saya juga bukan orang yang bisa dihapus begitu saja dari hidup istrinya. Tidak ada yang bisa mengubah fakta kalau saya dan Ara sudah dekat sejak lama, yaitu saat-saat Ara masih hidup serba kesusahan. Yang paling penting di sini adalah, baik saya atau Ara sama-sama tahu posisi dan batasan. Kalau menikah membuat seseorang jadi kehilangan seluruh teman lama, maka saya memilih untuk tidak menikah.” “Mas Iqbal, bukan begitu maksud saya tadi.” Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba jadi begini. Pembicaraan kami masih satu konteks, tetapi entah kenapa aku merasa ada yang salah di sini. “Jadi bagaimana?” “Saya bukannya melarang Mas Iqbal bertemu Mbak Ara.” “Tapi kamu barusan—“ “Baru misal, kan? Kenapa reaksi Mas Iqbal langsung seperti itu?” Mas Iqbal menghela napas panjang. “Sekalipun baru misal, maka jawabannya tetap seperti yang saya bilang barusan, Nay. Kalau kamu melarang saya bertemu Ara, saya memilih untuk tidak menikah. Saya bilang begini bukan berarti saya akan memprioritaskan dia. Dia memiliki suami yang sangat dia cintai, tapi kami memutuskan untuk tetap berteman baik. Apa kamu paham konteks yang saya maksud di sini?” Aku mengangguk. “Iya, saya paham.” Apa di sini justru akulah yang berlebihan? Sebenarnya apa yang Mas Iqbal katakan itu ada benarnya. Kalau menikah membuat orang menjadi kehilangan seluruh teman, sepertinya aku juga akan memilih untuk tidak menikah. Menikah harusnya bukan menghalangi sebuah pertemanan, tetapi sedikit membatasi. Namun, bagaimana kalau temannya itu lawan jenis? Apalagi yang pernah dicintai? “Naya ...” “Hm?” Aku menyahut pelan. “Saya lihat kamu cukup dekat dengan Pak Arvin. Iya?” Aku mengangguk. “Iya, lumayan.” “Misal kita jadi menikah, saya tidak akan melarangmu bertemu Pak Arvin. Tapi dengan catatan, alasan kalian bertemu itu jelas dan bukan ada unsur yang terlarang.” “Kalau boleh tahu, biasanya Mas Iqbal ketemu Mbak Ara di mana?” Aku sengaja membelokkan pembahasan karena Pak Arvin tidak ada hubungannya dengan alasan aku masih belum memberi keputusan. “Di rumahnya.” “Rumahnya?” Mas Iqbal mengangguk. “Anaknya bahkan dekat dengan saya. “ “Ada Pak Davka di rumah?” “Seringnya ada. Kalau sedang enggak, ada ART-nya. Tapi yang pasti, Ara selalu bilang dulu ke Pak Davka kalau saya mau datang ke rumahnya.” “Pak Davka enggak pernah gimana-gimana kalau Mas Iqbal lagi main?” “Hati manusia enggak ada yang tahu, tapi sejauh ini lahirnya terlihat baik-baik saja. Enggak jarang juga Pak Davka justru yang menawari saya lebih dulu untuk datang ke rumahnya.” “Serius?” “Iya, serius. Beberapa kali kami terlibat diskusi. Saya pernah dengar, cemburu hanya berlaku untuk orang-orang yang enggak percaya diri. Barangkali Pak Davka sudah sangat percaya diri kalau Ara cinta mati padanya, makanya dia baik-baik saja kalau saya datang ke rumah.” Mau tak mau aku tersenyum. Senyum ini mengandung makna ganda. Pertama, aku tersenyum karena kalau apa yang Mas Iqbal katakan itu benar, itu artinya Pak Davka orangnya cukup narsis. Kedua, senyum ini adalah senyum getir, yakni apakah aku sudah berada di level Pak Davka yang percaya diri kalau pasangannya pasti akan memilih dirinya bagaimanapun keadaanya? Bukankan posisiku dan Pak Davka sangat jauh berbeda? “Nay ...” aku agak tersentak ketika Mas Iqbal tiba-tiba memajukan kursinya dan meraih kedua tanganku. “Saya bisa mengerti kalau kamu enggak suka dengan cara saya menyimpan foto itu di dompet, jadi kamu boleh menyuruh saya menyimpan foto itu entah di mana, tapi tolong jangan minta saya untuk membuangnya. Di dunia ini, tidak ada hati yang betul-betul hanya dimiliki oleh satu orang, hanya porsinya saja yang berbeda. Mungkin ada orang yang bisa menempati hati orang lain hampir sepenuhnya, tetapi ada pula yang hanya menempati sebagian kecil, bahkan hampir tak terlihat. Walaupun hampir tak terlihat, bukan berarti tidak ada. Kamu bisa dapat poin ucapan saya?” Aku terdiam sesaat, lalu mengangguk. “Saya akan ambil contoh. Kamu pernah suka sama orang?” “Siapa yang enggak pernah suka sama orang?” Mas Iqbal tersenyum. “Anggap saja cinta monyet. Ada?” “Jelas ada!” Aku menjawab cepat. “Sekarang gimana kalau kamu lihat dia?” “Eee ... ya udah biasa aja, sih.” “Tapi kamu pasti ingat kalau kamu pernah menyukainya?” Aku mengangguk. “Iya.” “Itulah, Nay. Dia masih ada di hatimu, hanya saja porsinya sudah sangat kecil. Porsi itu mungkin hanya cukup untuk membuatmu mengenang dan tersenyum lucu, bahkan geli. Berbeda dengan orang yang sedang mengisi hatimu hampir penuh, tentu mereka yang memiliki porsi kecil tidak akan terlihat, tapi bukan berarti mereka hilang. Kalau bicara prioritas, cinta monyetmu itu mungkin nomor ke-sejuta.” Mau tak mau aku tertawa pelan. “Mas Iqbal ini memang pintar bicara!” “Begitu?” Aku mengangguk. “Banget!” Sebenarnya aku sempat ingin melawan serentetan kata-katanya, tetapi kalau dipikir-pikir, ucapannya itu masuk akal. Setidaknya di otakku, aku bisa mencerna poinnya. “Tapi, Mas ...” “Apa?” “Saya boleh tahu seberapa besar porsi Mbak Ara di hati Mas Iqbal? Jika dibandingkan dengan saya, apa saya tertinggal sangat jauh?” Mas Iqbal malah tersenyum. “Sebelum saya jawab, apa saya sendiri sudah memiliki porsi di hatimu, Nay?” Hampir penuh, Mas! Hampir penuh! “Ya jelas ada,” jawabku pelan. “Seberapa banyak?” “Saya enggak mau jawab. Orang saya yang nanya kok malah balik ditanya.” “Ya sudah.” Mas Iqbal mengeratkan genggaman tangannya. “Sebenarnya enggak terlalu penting seberapa banyak porsimu dan porsi Ara sekarang. Ada yang jauh lebih penting dari itu.” “Apa memangnya?” “Kamu mau atau enggak menambah porsimu sendiri sampai milik Ara tertutupi seluruhnya?” Aku tidak langsung menjawab. Jujur, aku bingung. Aku mencintai Mas Iqbal sudah sejak lama, jadi rasanya munafik sekali kalau aku menolaknya hanya karena aku masih kepikiran dengan perasaannya pada Mbak Ara. Kesempatan ini mungkin tidak datang dua kali. Hatiku mengatakan ingin menerimanya detik ini juga, tetapi otakku seperti masih menahanku untuk jangan gegabah. Mana yang harus lebih kudengarkan? Hati, atau otak? “Nay ...” Aku menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri sekali lagi. Sepertinya, tidak ada gunanya juga aku mengulur-ulur waktu. Aku mungkin masih meragukan perasaan Mas Iqbal, tetapi aku benar-benar tidak bisa membayangkan dia menikah dengan perempuan lain. Terlebih lagi, jalan kita untuk menikah juga sudah terbuka lebar. “Jangan diam saja, Nay ...” Aku menunduk sejenak, lalu kutatap balik mata Mas Iqbal yang sedari tadi terus fokus padaku. “Iya, Mas. Saya mau.” Baiklah, untuk kali ini aku akan lebih mendengarkan hatiku. Semoga ini keputusan yang tepat! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN