Prolog
“Aku ingin kita cerai.”
Di sebuah malam yang dingin, di saat tanah masih terasa bau hujan, kalimat itu akhirnya terlontar dengan begitu tegas. Kalimat yang sebenarnya tidak pernah ingin aku ucapkan seumur hidupku, harus terucap di saat pernikahanku bahkan belum genap satu tahun.
Keputusanku sudah bulat. Aku ingin cerai dengan laki-laki yang sebenarnya sangat aku cintai, tetapi tidak tahu caranya balas mencintai. Laki-laki yang masih saja terjebak dengan cinta di masa lalunya. Cinta yang bahkan tidak akan pernah memberinya kebahagiaan.
“K-kamu bilang apa? C-cerai?” Mas Iqbal tampak kaget, bahkan aku lihat rahangnya langsung mengeras.
“Kenapa kaget? Bukannya ini bagus? Setelah ini Mas Iqbal bisa bebas meratapi masa lalu yang menyakitkan itu tanpa merasa terbebani karena ada aku di samping Mas.”
“Naya—“
“Aku merasa diri ini terlalu berharga untuk terus bertahan dengan suami yang tidak tahu cara menghargai perasaan istrinya. Aku ini cantik, kan, Mas? Pekerjaanku juga bagus, belum punya anak pula. Ah, jangankan punya anak. Aku bahkan masih virgin sampai sekarang. Andai besok aku janda, aku yakin banyak laki-laki yang menginginkanku.” Aku tersenyum, meski hati ini terasa remuk seremuk-remuknya.
Iqbal Faraz Ekawira.
Malam ini aku masih bisa menyebutnya sebagai suamiku, tetapi aku tidak yakin satu bulan lagi masih akan berlaku. Kesabaranku sudah habis, aku tidak ingin bertahan lebih lama lagi dengannya.
“Paling lambat minggu depan, suratnya pasti sudah siap. Tolong tandatangani ya, Mas,” ucapku lagi karena Mas Iqbal hanya diam saja.
“Naya ... tolong jangan begini—“
“Stop! Jangan maju, atau aku akan mundur dan pergi.”
“Nay, harus berapa kali aku bilang? Aku sudah selesai dengan masa laluku. Aku benar-benar ingin kita memulai semuanya dari awal.”
Mendengar itu aku langsung tertawa. Jenis tawa yang sumbang.
“Memulai? Sepertinya kata ini enggak asing, ya, Mas? Dulu aku memang naif. Cenderung bodoh, malah. Tapi sekarang enggak lagi. Semuanya sudah cukup.”
“Nay, please ...” Begitu Mas Iqbal nekat maju, aku langsung mundur. “Tolong kasih aku kesempatan kedua—“
“Kedua? Bukannya kesempatan yang ke sepuluh pun sudah kukasih?!” tanpa sadar nada suaraku langsung naik.
Bagaimana bisa Mas Iqbal dengan santainya meminta kesempatan kedua di saat kesempatan yang lebih dari itu pun sudah kuberikan padanya dengan cuma-cuma? Apa kesabaranku selama ini sama sekali tidak berharga di matanya?
Mas Iqbal kembali diam. Dia tampak menunduk, lalu mengusap wajahnya kasar.
Sebelumnya, jangan bayangkan suamiku ini laki-laki kasar yang suka menyakitiku secara fisik. Tidak, dia sangat jauh dari itu. Jangan bayangkan pula dia tukang selingkuh. Tidak juga, dia bukan laki-laki seperti itu.
Dia justru orang baik, sangat baik malah. Namun, kebaikannya itu seolah membunuhku secara perlahan. Raganya memang ada di dekatku, tetapi jiwanya? Kata jauh saja belum cukup menggambarkan betapa berjaraknya kami berdua.
“Kamu benar-benar ingin berpisah denganku, Nay?”
Aku mengangguk. “Iya, dan secepatnya.”
“Yakin?”
“Seribu persen.”
Mas Iqbal tampak menghela napas pelan. “Ya sudah kalau memang itu maumu. Segera bikin surat gugatan cerainya, lalu kirimkan padaku. Tapi perlu kamu tahu, aku enggak akan pernah mau menandatangani itu.”
“Enggak masalah. Setahuku, cerai enggak perlu tanda tangan suami kalau alasan perceraian memenuhi ketentuan yang diatur undang-undang. Meski begitu, aku tetap akan kirim suratnya ke Mas Iqbal sebagai bentuk rasa hormatku. Setidaknya, aku menggugat cerai baik-baik.”
“Oke, lakukan itu.” Mas Iqbal kini menatapku tajam. “Semoga berhasil, Ainaya Nishfi Dhananjaya.”
Aku tak menyahut lagi dan memilih untuk segera balik badan lalu pergi. Entah kenapa, mendengar Mas Iqbal menyebut nama lengkapku terasa sangat menyakitkan. Seingatku, terakhir kali dia melakukan itu waktu kami akad. Saat itu aku merasa menjadi perempuan yang paling bahagia di dunia.
Air mataku kini lolos. Pandanganku agak kabur, tetapi aku terus berjalan menjauh. Meski di sini akulah yang meminta untuk berpisah, tetapi di lubuk hati yang paling dalam aku ingin Mas Iqbal menahanku. Aku ingin dia menggagalkan keinginanku bagaimanapun caranya.
Sungguh, aku masih begitu mencintainya!
Namun ternyata, sampai aku berjalan agak jauh, dia hanya diam di tempatnya. Jangankan mengejarku, memanggil namaku saja tidak. Dia hanya bergeming di tempat sampai akhirnya aku masuk mobil.
Ketika aku menoleh sebentar, kulihat Mas Iqbal sedang menatapku. Tidak ada ekspresi yang berarti di wajahnya. Detik berikutnya, dia tampak mengambil jaket lalu pergi. Setelah pergi, dia tidak pernah menoleh kembali.
Beginikah akhirnya?
***
Our Season – 29/11/2022