Kedua orang tuaku sangat bahagia begitu aku mengatakan akan menerima perjodohan. Saking semangatnya, Mama langsung menghubungi Tente Hesti untuk membalas lebih lanjut. Sepertinya, daripada aku dan Mas Iqbal, para orang tua justru lebih excited.
Membuntuti keputusanku, acara lamaran pun tidak lama langsung digelar. Mas Iqbal ingin lamaran yang sederhana saja, dan aku pun setuju. Baru lamaran tidak perlu terlalu mengumbar. Alhasil, lamaran kami hanya didatangi dua keluarga inti sekaligus beberapa orang luar yang memang harus diundang.
Dan sekarang, di sinilah aku. Berdiri di depan sebuah butik gaun pengantin. Mas Iqbal masih kerja dan dia berjanji akan menyusul segera.
Aku masuk butik itu dan langsung disambut dengan ramah. Terlebih lagi ketika aku menyebut nama Mas Iqbal, mereka seolah langsung paham dan mengajakku ke sebuah ruangan. Begitu masuk, aku cukup ternganga ketika melihat sudah ada lima gaun terpampang indah.
“Pak Iqbal bilang dia tidak mau gaun pernikahan buat calon istrinya terlalu terbuka. Jadi dia pilih lima gaun ini buat opsi. Untuk lebih pastinya, dia bilang terserah Bu Naya saja mau yang mana.”
Entah kenapa, aku langsung tersenyum. Fakta bahwa Mas Iqbal tidak ingin aku berpakaian terlalu terbuka, entah kenapa membuatku sangat berdebar. Kenapa seperti ini saja, aku merasa Mas Iqbal sangat manis?
“Bentar ya, Mbak, saya pilih-pilih dulu.”
“Iya, Bu. Silakan ...”
Belum selesai aku memilih, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ternyata Mas Iqbal mengabari kalau dia ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggal. Sejujurnya aku kecewa, tetapi aku bisa mengerti alasannya. Dia bilang, dia tiba-tiba dihubungi oleh salah satu kenalan Ayahnya yang akan berinvestasi di perusahaan yang sedang dia besarkan.
Mas Iqbal itu anak orang berada, tetapi belum yang sampai taraf konglomerat. Usaha orang tuanya masih di level menengah dan dia sedang berusaha mengembangkannya agar lebih besar.
“Pak Iqbal kira-kira jadi datang enggak, Bu?” tanya salah satu karyawan perempuan yang sedang membantuku menaikkan resleting.
“Dia sibuk, Mbak. Tiba-tiba ada acara. Telfon tadi itu dari Mas Iqbal.”
“Oh, ya sudah. Banyak kok, Bu, calon mempelai pria yang enggak nemenin waktu calon mempelai wanitanya fitting gaun.”
“Iya, kah?”
Karyawan itu mengangguk. “Iyan, Bu. Rata-rata ya karena sibuk. Tapi ini Pak Iqbal sudah menyempatkan waktu untuk memilih opsinya dulu, jadi dia tetap peduli.”
“Kenapa Mbaknya tiba-tiba bahas ini?”
“Soalnya mempelai wanita suka kecewa kalau enggak ditemani dan beberapa malah jadi bertengkar. Tapi ada kok, Bu, pasangan yang waktu fitting baju mesra sekali, terakhir saya dengar kabar tentang mereka malah udah bercerai. Yang fitting sendiri-sendiri juga ada, eh malah kelihatan baik-baik saja.”
Mau tak mau aku tersenyum. “Terimakasih buat hiburannya, Mbak.”
“Sama-sama, Bu Naya. Enggak ditemani bukan berarti enggak peduli.”
“Iya. Alasan Mas Iqbal enggak jadi datang juga karena alasan urgent.”
“Nah, itu apalagi.”
Setelah memakai kelima-limanya, aku meminta pendapat beberapa karyawan yang ada. Ternyata penilaian mereka sama denganku. Pilihan gaun jatuh pada nomor satu. Mereka juga bilang kalau gaun itu adalah gaun yang pertama kali Mas Iqbal pilih makanya ditaruh di opsi nomor satu. Semoga memang betul kalau gaun itu adalah gaun yang paling Mas Iqbal inginkan untuk kupakai di hari bahagia kami.
“Saya sudah bilang Pak Iqbal, Bu. Dijawab ‘cantik’, gitu. Sama emot jempol.”
Aku tertawa. “Ya sudah. Itu ya, Mbak.”
“Siap!”
Setelah memilih gaun dan beberapa pernak-pernik lain, aku segera pamit dari butik. Aku mengirim pesan pada Mas Iqbal kalau aku sudah selesai dan dia berjanji akan meneleponku nanti malam begitu urusannya selesai.
***
“Makin mendekati hari-H kok malah makin gajelas gini ya, La?” ujarku pada Ola ketika malam ini dia menginap di rumahku. Ola atau Febiola adalah teman dekatku sejak kami kuliah S1. Kami dekat dimulai karena kami satu pembimbing skripsi. Tidak sampai situ saja, kami juga melanjutkan S2 bersama dan akhirnya dekat sampai sekarang.
Ola tidak bekerja di instansi tertentu karena dia sedang menekuni bisnis fashion yang mulai dia rintis sejak masih kuliah. Bagi Ola, lulusan S2 tidak harus bekerja menjadi dosen atau bekerja di perusahaan tertentu. Dia kuliah untuk mencari ilmu, dapat kerja lewat gelar akademiknya itu hanya bonus.
“Kata orang-orang kan emang gitu, Nay. Mau nikah itu banyak banget cobaannya. Salah satunya ya kaya yang kamu rasain sekarang.”
“Tapi—“
Ola menggeleng. “Udah terlambat kalau kamu ngeluhnya sekarang, Nay. WO udah dipesan, undangan udah dicetak, belum yang lain-lain. Rasa ragu itu wajar, kayaknya hampir semua calon pengantin merasakan itu.”
“Tapi kan kamu tahu sendiri Mas Iqbal itu gimana.”
Ola mengangguk. Jelas dia tahu betul tentang Mas Iqbal karena dia dulu satu kelompok praktikum denganku. Dia juga dulu suka dengan Mas Iqbal, tetapi rasa sukanya itu hanya sebatas rasa kagum pada kakak tingkat yang tampan dan cerdas. Berbeda jauh dengan perasaanku yang perlahan tapi pasti terus tumbuh menjadi rasa suka, bahkan cinta.
“Kalau dia udah berani ngajak kamu nikah seserius itu harusnya udah move on, sih, dari Mbak Ara. Lagipula betah banget kalau masih suka juga. Aneh! Orang udah bertahun-tahun!”
“Kalau gitu, aku juga aneh, dong? Aku suka sama Mas Iqbal juga udah bertahun-tahun soalnya.”
Ola menggeleng. “Tetap beda konsep, Nay. Kamu suka sama Mas Iqbal lama ya masih oke aja, toh kamu akan selalu ada harapan selagi Mas Iqbal belum nikah. Lha ini Mbak Ara udah nikah, anaknya pun udah dua, lho!”
“Tapi, La, dia itu enggak pernah ganggu rumah tangganya Mbak Ara. Suka doang harusnya enggak salah asal enggak direalisasikan ke bentuk tindakan.”
“Idih!” Ola mencibir. “Kenapa malah kamu belain Mas Iqbal, Nay?”
“Enggak gitu maksudnya. Aku emang sedih tiap kali inget foto di dompetnya, tapi selagi dia enggak pernah ganggu rumah tangga orang, setidaknya dia betulan orang baik. Dalam arti, dia tetap sadar diri.”
“Tapi katamu Mas Iqbal masih suka nemuin Mbak Ara?”
“Ya emang, tapi intensitasnya jarang banget. Satu tahun katanya cuma satu sampai tiga kali. Untuk ukuran dua orang yang katanya masih bersahabat baik ya Mas Iqbal cukup tahu diri. Iya, enggak?”
“Ah, terserah kamulah! Dasarnya kamu itu udah bucin, masih juga dibela.”
Aku mengembuskan napas pelan. “Enggak maksud ngebela, La, tapi aku nyoba buat ngerti dan biar enggak terlalu berekspektasi sama pernikahan kami nanti.”
Ola mengangguk paham. Selama ini dia selalu menjadi teman curhatku. Mengenai keputusan yang kubuat, sebelumnya aku pernah curhat padanya dan dia no comment. Yang dia tekankan hanyalah aku jangan sampai gegabah dan harus memikirkan semuanya matang-matang.
“Tapi menurutmu, La, aku salah ambil keputusan atau enggak ya?”
“Ya enggak tahu. Kalau aku jadi kamu juga mungkin bingung banget, Nay. Di satu sisi, kesannya bodoh banget kalau nolak perjodohan dengan laki-laki yang udah kita cintai dari lama. Ibaratnya kaya menyia-nyiakan kesempatan langka yang belum tentu datang dua kali. Tapi di sisi lain, lihat Mas Iqbal yang kemungkinan besar masih belum selesai sama masa lalunya, itu juga berat. Makanya aku enggak berani kasih saran karena takut salah. Aku suruh kamu buat ikuti kata hati. Kalau hatimu bilang terima, ya udah, terima. Jalani dulu, tapi kamu harus siap dengan segala kemungkinan.”
Mendengar itu, aku hanya bisa menghela napas pasrah. Betul kata Ola tadi, kalau aku mengeluh sekarang, jelas sudah telat karena semua persiapan pernikahan sudah hampir selesai. Semoga keraguan yang aku rasakan akhir-akhir ini hanya bentuk ujian sebelum menikah.
“Ada aku, Nay. Datang ke aku kalau lain kali ada apa-apa. Aku pandai menjaga rahasia. Tapi aku enggak maksa kalau sekiranya kamu enggak mau orang lain tahu tentang masalahmu, terlebih lagi tentang permasalahan rumah tangga. Yang jelas, aku doain kamu bahagia sama Mas Iqbal.”
Aku mengangguk. “Aamiin. Makasih, La.”
***
Malam ini Mas Iqbal tiba-tiba mengajakku bertemu karena besok kami mulai masuk masa pingitan selama satu minggu. Kalau pasangan lain ada pingitan supaya ketika akad rasa kangennya membuncah, aku justru tidak yakin apakah itu akan berlaku atau tidak pada Mas Iqbal.
“Kamu kenapa murung gitu, Nay?” tanya Mas Iqbal ketika kami sudah duduk berdampingan di sebuah cafe.
“Enggak papa, Mas. Capek aja kali, ya, ngurus persiapan pernikahan. Soalnya saya—”
“Pakai aku, Nay. Jangan saya lagi. Minggu depan kita udah nikah, lho. Masa mau ngomong semi formal gitu?”
Mau tak mau aku tersenyum. “Berasa mimpi aja aku mau nikah minggu depan, Mas.”
“Kenapa gitu?”
“Ya soalnya aku tadinya belum kepikiran buat nikah dalam waktu dekat.”
“Kalau sudah jodoh, pasti akan ada aja jalannya.” Mas Iqbal tiba-tiba menyerongkan duduknya dan mulai menatapku lekat. “Nay ...”
“Hm?”
“Makasih, ya, udah mau nerima perjodohan ini.”
Keningku seketika mengkerut. “Kenapa tiba-tiba bilang makasih, Mas?”
“Ya enggak papa, aku cuma mau bilang makasih aja.”
“Kok aneh?”
Tiba-tiba saja, kedua tangan Mas Iqbal meraih kedua tanganku. Sejujurnya aku selalu berdebar tiap kali kami kontak fisik. Padahal ini hanya pegangan tangan, tetapi efeknya sudah seperti ini.
Bagaimana jika lebih?
“Nay, setelah kita nikah tolong bikin aku jatuh cinta ke kamu secepatnya, ya. Pasti bisa, kan?”
Deg!
Kenapa Mas Iqbal bilang seperti itu? Kalau dia sampai memintaku membuatnya jatuh cinta, bukankah artinya dia belum jatuh cinta padaku?
“Jangan salah paham, aku suka kamu, Nay. Enggak ada alasan buat enggak suka sama perempuan secantik dan secerdas kamu. Tapi aku mau perasaan ini harusnya bisa lebih. Aku akan berusaha, tapi kamu juga. Bisa, ya, Nay?”
Entah kenapa, hatiku mendadak terasa sesak. Bukankah ini sama saja Mas Iqbal sedang mengatakan kalau porsiku di hatinya masih terlalu kecil? Apakah dia sebenarnya memaksakan diri dalam menerima perjodohan ini?
Sebenarnya apa yang sedang Mas Iqbal rasakan? Kenapa dia sampai harus bicara seperti itu padaku?
***