4. Sebuah Dilema

1521 Kata
“Kopi, Bu ...” Satu gelas kopi hangat tiba-tiba sudah tersaji di depanku. Aku reflek mendongak dan kudapati Pak Arvin berdiri sembari membawa satu gelas kopi hangat di tangan kiri. “Saya bikin dua karena lihat Bu Naya menguap beberapa kali.” “Ah ... makasih banyak, Pak. Iya, ini, saya kurang tidur semalam.” “Ngoreksi tugas, Bu?” Aku mengangguk. “Iya, Pak. Sebelum UAS sudah harus saya jadikan dulu nilai tugasnya. Biar nanti lebih gampang.” Pak Arvin tersenyum, lalu dia berjalan menuju mejanya yang terletak di barisan depan. Aku menepuk pipiku beberapa kali kemudian menyeruput kopi buatan Pak Arvin. Sebenarnya ini hanya kopi sachet yang untuk sebagian orang justru semakin membuat ngantuk, tetapi bagiku ini cukup ampuh membuatku kembali fokus. Kisaran setengah jam kemudian, pekerjaanku akhirnya selesai. Aku menegakkan badan lalu melenturkan otot-otot. Setelah ini aku akan pulang karena sudah pukul lima lewat. Sebenarnya aku sudah selesai ngajar sejak tadi jam setengah tiga, tetapi aku perlu menyelesaikan banyak hal sebelum pulang. Tidurku semalam sudah cukup tersita, jadi nanti malam aku tidak ingin mengulanginya lagi. “Mari, Pak Arvin, saya duluan ...” ujarku pada Pak Arvin yang sedang merapikan beberapa kertas di mejanya. Ruang dosen sudah betul-betul sepi sejak tadi pukul empat. Saat ini hanya kami berdua saja yang tersisa. “Eh, bentar, Bu Nay.” “Iya, Pak? Ada apa?” Pak Arvin menggeleng. “Enggak ada apa-apa, sih, sebenarnya. Hari ini kayaknya Bu Naya enggak bawa mobil, ya?” “Enggak, Pak. Kebetulan mobil Papa saya sedang ada di bengkel, jadi punya saya dibawa beliau. Saya naik go-car tadi pagi. Kenapa memangnya?” “Pulangnya sama saya saja, Bu. Rumah kita kan searah.” “Lho ... bukannya enggak, ya, Pak? “Ya searah itungannya. Cuma di bangjo ujung saja rumah kita mulai berlawanan.” Aku meringis. “Iya, sih. Tapi enggak papa itu ke kirinya ada dua kiloan? Rumah Pak Arvin masih jauh lho dari bangjo. Arah kanan mana kadang macet.” “Dua kilo jadi jauh kalau jalan kaki, Bu. Kalau naik mobil atau motor ya cepet. Gimana?” Aku terdiam sesaat. Sebenarnya ini tawaran menarik, hanya saja aku malas kalau orang lain akan mengira ada apa-apa di antara kami berdua. Aku dan Pak Arvin sudah cukup dekat sejak pertama kali aku masuk menjadi dosen. Saat itu dia juga masih jadi dosen baru karena lama mengajar belum ada satu tahun. “Tapi nanti orang-orang—“ “Saya tidak memaksa, Bu. Kalau mau, ayo. Kalau enggak, ya enggak papa.” Selain aku tidak ingin semakin digosipkan, aku juga bingung karena di sisi lain Mas Iqbal masih menunggu jawabanku. Ya, sampai detik ini aku masih belum memberinya jawaban pasti. Acara kami jalan berdua ke Puncak Becici sekedar usaha untuk menjadi lebih dekat dan semakin mengenal satu sama lain. Memang, setelah hari itu Mas Iqbal cukup sering mengajakku keluar. Namun, ajakannya tidak semuanya kuiyakan. Jujur saja, aku terus terbayang foto yang masih dia simpan di dompetnya. Aku benar-benar bingung dengan Mas Iqbal. Dia terlihat sangat serius ingin mengajakku menikah, tetapi di saat yang sama dia masih menyimpan foto cewek lain di dompetnya. Sekalipun itu hanya sahabat lama dan cinta masa lalu yang orangnya bahkan sudah menikah, entah kenapa aku sangat sulit mentolerir hal itu. “Bu Naya?” “Hah? Eh, boleh, Pak. Tapi yakin enggak papa, ini?” “Enggak papa, Bu. Kalau papa, saya enggak mungkin ngajak. Lagipula di luar lagi hujan, go-car biasanya telat datang karena macet di jalan. Keburu maghrib.” “Iya, sih, ya sudah.” Aku menunggu Pak Arvin berkemas, lalu kami keluar beriringan menuju parkiran. Fakultas sudah sepi. Aku lihat hanya segelintir mahasiswa saja yang tersisa. Mereka juga terlihat cuek dan hanya menyapa sewajarnya saja. “Naya ...” aku reflek berhenti ketika mendengar seseorang memanggilku. Ternyata, jarak lima meter dari tempatku berdiri saat ini ada Mas Iqbal yang sedang berdiri sembari membawa payung basah berwarna navi. “Lho? Mas Iqbal?” “Saya kirim w******p ke kamu, tapi enggak kamu baca.” Kini Mas Iqbal mulai mendekat. “Kebetulan saya ada urusan di dekat sini, dan tadi pagi kamu bilang kemungkinan pulang sore. Enggak bawa mobil, pula. Jadi sekalian saya jemput.” “Ah, enggak perlu repot-repot, Mas.” “Enggak, sama sekali enggak repot.” Mas Iqbal tiba-tiba mengulurkan tangannya pada Pak Arvin. “Teman Naya, Mas?” Pak Arvin segera menyambut uluran tangan Mas Iqbal dan mereka berjabat tangan sejenak. “Iya, saya Arvin. Saya dan Bu Naya teman sesama dosen Teknik Industri.” “Oh, iya. Saya Iqbal, calon suami Naya.” Aku mendelik. “Mas—“ “Ayo, Nay. Mumpung hujan lagi agak reda.” Mas Iqbal tiba-tiba merekahkan kembali payungnya, lalu menarik tanganku pelan. “Jangan jauh-jauh, payungnya enggak terlalu besar. Nanti bajumu basah.” Mendadak aku merasa blank. Aku juga jadi penurut ketika Mas Iqbal semakin merapatkan diriku padanya. Aku menatap Pak Arvin sambil mengangguk sesaat, dan Pak Arvin pun membalas dengan senyuman. “S-saya duluan, Pak.” “Iya, Bu.” Aku masih agak blank sampai tiba di mobil. Aku bahkan diam saja ketika Mas Iqbal membukakan pintu dan memayungiku agar bajuku tidak basah. Aku menoleh ke arah pintu samping fakultas, dan kulihat Pak Arvin masih berdiri di sana sambil memegang payung yang sepertinya dia bawa di tas jinjing hitamnya. Entah hanya perasaanku saja atau bukan, aku merasa rahangnya menegas. “Mau langsung pulang atau mau beli apa dulu, Nay?” pertanyaan Mas Iqbal membuyarkan lamunanku. “Langsung pulang aja, Mas.” “Oke.” Hening sesaat. “Mas, ngomong-ngomong saya belum iyain, ya. Pede banget main ngomong calon istri!” tak bisa kupungkiri, sebenarnya aku sangat bahagia mendengarnya, tetapi rasa bahagia itu diiringi rasa cemas tiap kali aku ingat foto di dompetnya. “Belum diiyain bukan berarti saya menyerah, Nay. Toh kamu bilang enggak punya pacar, itu artinya peluang saya jadi suamimu lebih besar daripada laki-laki lain karena restu orang tuamu sudah saya kantongi.” Aku mencibir pelan. “Restu orang tua memang penting, Mas, tapi keputusan akhir tetap ada di saya.” “Iya, Nay. Iya. Saya tahu. Saya masih sabar menunggu jawabanmu.” Ketika Mas Iqbal menoleh dan tersenyum, aku tidak bisa kalau tidak ikut tersenyum. Andai aku tidak pernah melihat foto di dompetnya, aku pasti sudah mengiyakan ajakannya untuk menikah. Sejak awal! *** “Nay, kamu itu nunggu apa lagi, to?” tanya Mama malam itu ketika aku makan sendirian di teras belakang rumah. Beliau datang membawakanku air putih, padahal aku tak minta. Beliau meletakkannya di dekat ponselku, lalu ikut duduk di sebelah. “Nunggu apanya ini, Ma?” “Ya tentang Iqbal. Apa lagi?” Mama menatapku gemas. “Belum aku putusin, Ma. Kami belum sekenal itu sampai mutusin buat cepat-cepat nikah.” “Bukannya Iqbal itu kakak tingkatmu? Pernah jadi asdos praktikummu pula. Itu namanya udah kenal dari lama, Nay.” “Ya kan cuma asdos praktikum, Ma. Aku tahunya sebatas itu. Kenal yang kumaksud di sini ya kenal secara lebih. Aku menikah bukan untuk bercerai, jadi maunya ya calon suami yang bener.” Mas Iqbal memang pernah membahas tentang ini pada Papa dan Mama ketika dia main ke rumah. Awalnya dia ingin menyembunyikan fakta itu agar tidak ditanya-tanya, tetapi tiba-tiba dia justru mengatakan banyak hal. “Iqbal kurang bener apa? Wajahnya bagus gitu, ganteng. Dia tinggi dan berprestasi. Meski enggak putih banget, tapi dia bersih. Kerjaannya juga jelas. Usaha keluarganya makin pesat setelah dia pegang. Kurang opo to, Nay?” ‘Kurang mencintaiku, Ma.’ Tentu saja aku hanya berani membatin dalam hati. Orang tua kalau disinggung tentang cinta seringnya akan menggampangkan. Mereka sering mengatakan kalau cinta itu tidak terlalu penting. Ya, itu ada benarnya. Daripada cinta, tanggungjawab dan komitmen jauh lebih penting dalam pernikahan. Namun, bukan berarti aku mau suamiku nanti masih mencintai perempuan lain di masa lalunya. Ini dua hal yang sangat berbeda. Urusannya akan rumit kalau sampai itu terjadi. “Nay, jangan kebiasaan ngelamun kalau lagi diajak bicara!” Aku menelan suapan terakhir makan malamku, lalu menatap Mama sambil tersenyum. “Tunggu, ya, Ma. Kalau aku sama Mas Iqbal jodoh, pasti ada aja jalannya. Katanya, jodoh itu enggak kemana?” “Tapi jodoh itu ya kudu diusahakan, Nay.” “Iya, tahu. Sabar dulu, Ma. Aku enggak mau buru-buru.” “Ini udah dua bulan lebih, Nay. Mama enggak enak sama Mbak Hesti.” Aku menghela napas pelan. “Iya, Ma. Iya. Tunggu dikit lagi. Janji.” “Ah, terserah kamulah!” Mama akhirnya berdiri dan pergi meninggalkanku sendirian. Beliau pasti kesal karena aku tak kunjung memberi kepastian. Agaknya Mama sudah ikut ‘jatuh cinta’ dengan Mas Iqbal. Aku menyeruput air minum yang Mama bawakan, lalu menatap ke arah kolam renang. “Mbak Ara, kamu punya pelet apa, sih, kok Mas Iqbal masih nyimpen fotomu di dompet? Apa dicintai dosen seganteng Pak Davka aja enggak cukup?” gumamku dengan d**a yang terasa agak sesak. Aku meremas rambutku pelan, lalu menelungkupkan kepala di atas meja. Aku tahu, ini sama sekali bukan salah Mbak Ara. Dia sudah bahagia dengan suami dan anak-anaknya. Ini hanya tentang Mas Iqbal. Iya, hanya tentang dia dan hatinya. Aku harus bagaimana? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN