7. Masa Pingitan

1738 Kata
Perlahan tapi pasti, kini kecemasanku mulai memudar. Aku mengikuti saran dari Ola untuk jangan terlalu berpikir negatif karena bagaimanapun juga aku sudah tidak bisa mundur. Kalau aku mundur saat ini, sama saja aku mencoreng wajah kedua orang tuaku dan keluarga besarku yang lain. Selain itu, aku juga mencoba untuk lebih berprasangka baik dan optimis. Kalau memang porsiku di hati Mas Iqbal masih sedikit, itu tidak apa-apa. Banyak pernikahan yang berlandaskan cinta tetapi malah kandas di tengah jalan. Sebaliknya, ada pula yang menikah karena dijodohkan dan belum saling cinta tetapi langgeng sampai tua. Contoh kasus dalam rumah tangga sangatlah variatif, jadi tidak ada kasus tertentu yang bisa dijadikan patokan. Ketika menikah nanti, aku memiliki prinsip kuat. Segala kesalahan laki-laki masih bisa dibicarakan kecuali dua hal, yakni selingkuh dan KDRT. Kalau sudah dua itu, maka aku tidak akan mentolerir sama sekali. Papa dan Mas Athar sering menasihatiku untuk menjadi perempuan yang mandiri dan independen agar tidak terlalu bergantung pada laki-laki. Ini bukannya mereka ingin aku merasa hebat, tetapi lebih kepada mereka tidak ingin aku ditindas. Bicara Mas Athar, tiba-tiba aku kangen ngobrol dengannya. Sudah lama sekali kami tidak ngobrol berdua. Karena umur kami terpaut cukup jauh, aku benar-benar merasa kakakku itu selalu memperlakukanku seperti anak kecil yang perlu dijaga baik-baik. “Mas Athar!” panggilku sembari berlari ke arahnya. Sejak kemarin, dia serta istri dan anaknya sudah menginap di rumah dalam rangka menyambut hari pernikahanku. “Wow! Adiknya Mas bentar lagi jadi istri orang.” Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin sekali menangis. Namun, sekuat tenaga aku mencoba untuk menahannya. “Doanya, ya, Mas ...” “Pastilah itu. Mas yakin Iqbal akan jadi suami yang baik buat kamu.” Mau tak mau aku tersenyum. “Kenapa bisa bilang gitu? Kaya Mas Athar kenal Mas Iqbal aja. Palingan cuma dengar dari Mama, to?” “Lho ... jangan salah, kamu, Dek. Mas udah ngobrol berdua sama Iqbal beberapa waktu lalu.” “Serius?” “Iqbal enggak cerita?” Aku menggeleng. “Enggak, tuh!” “Mas enggak mungkin enggak kenalan dulu sama laki-laki yang mau ambil alih tanggungjawab Papa atas kamu. Selain Papa, Mas itu juga ngerasa memilikimu. Jadi, Mas harus pastikan dulu Iqbal layak buat kamu.” “Gimana pendapat Mas Athar setelah bertemu Mas Iqbal?” Mas Athar terdiam sejenak. “Sebenarnya Mas enggak langsung suka waktu awal mula kami ketemu langsung. Tapi setelah pelan-pelan ngobrol, calon suamimu itu sangat enak diajak bicara dan diskusi. Dia terlihat sangat serius ingin menikahimu dan orangnya juga terlihat bertanggungjawab.” Kalau memang penilaian Mas Athar tentang Mas Iqbal begitu, kenapa Mas Iqbal justru mengatakan kalimat yang menyakitkan tempo hari? “Gimana kalau seandainya penilaian Mas Athar itu salah?” Kening Mas Athar seketika mengkerut samar. “Kenapa kamu nanya gitu? Apa kamu masih ragu sama Iqbal?” “Biasa, Mas, kalau menjelang nikah bukannya suka ada ujian, ya? Tiba-tiba ragu, misalnya. Kata Mama, dulu Mama juga ngerasain itu waktu mau nikah sama Papa.” “Iya, sih. Dulu Mas juga sempat ragu sama Via, padahal buat dapetin dia itu enggak mudah.” “Kenapa suka gitu, ya, Mas?” “Enggak tahu, Dek. Namanya juga ujian, kan?” Aku menghela napas pelan, dan tiba-tiba saja tangan Mas Athar terulur merangkulku. Dia juga menepuk pundakku beberapa kali. “Yang jelas, penilaian Mas buat Iqbal itu bagus. Ini Mas jujur.” “Iya, Mas.” Sejujurnya, ingin sekali aku mengatakan semuanya pada Mas Athar tentang apa-apa yang aku rasakan akhir-akhir ini. Akan tetapi, itu rasanya sangat tidak mungkin. Aku tidak tahu apa saja yang Mas Iqbal katakan selama bertemu Mas Athar sampai kakakku ini memiliki penilaian bagus tentangnya. Ah ... baiklah, secara kualitas orang, sebenarnya aku pun memiliki penilaian yang sangat bagus untuk Mas Iqbal. Kalau tidak, aku tidak mungkin menyukainya dalam waktu yang lama. Hanya saja, penilaianku tentang dia jadi lebih kompleks daripada penilaian orang lain karena ini sudah berurusan dengan hati dan masa lalunya. “Waktu itu Mas bilang ke Iqbal. Kalau dia berani nyakitin kamu, Mas akan maju paling depan buat ngasih dia pelajaran. Tak peduli kita udah punya keluarga sendiri-sendiri, sampai kapan pun kamu tetap adik Mas satu-satunya. Mas enggak ikhlas ada orang lain yang nyakitin kamu.” Detik itu juga, aku langsung memeluk Mas Athar erat. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya keluar, tetapi aku buru-buru mengusapnya sebelum kakakku ini menyadarinya. “Makasih banyak, Mas.” “Iya, sama-sama. Yang ceria, gitu, lho. Lusa itu kamu didandanin cantik.” “Halah, terus kenapa?” “Dulu kan kamu paling suka didandanin. Kalau ada karnaval, semangatnya bukan main.” Aku terkekeh pelan. “Oh, iya juga. Aku mendadak inget.” “Eh, ngomong-ngomong, Dek, kemarin ini aku lihat Iqbal di rumah sakit.” Mataku seketika menyipit. “Rumah sakit? Mas Athar nyapa?” “Enggak, Mas enggak nyapa soalnya buru-buru.” “Kenapa Mas Iqbal ke rumah sakit, ya? Tante Hesti itu update kabar Mas Iqbal mulu ke Mama, katanya sehat-sehat aja, tuh.” “Kalian berdua udah cek kesehatan belum?” Aku langsung mengangguk. “Udahlah, Mas. Itu kan wajib. Kami tes bareng waktu habis daftar ke KUA. Dan Alhamdulillah kami berdua sama-sama sehat.” “Ini juga Mas masih agak ragu, sih, itu beneran Iqbal atau enggak.” “Salah orang mungkin, Mas?” Mas Athar meringis. “Bisa jadi. Ya udah, anggap aja Mas salah lihat daripada kamu khawatir.” “Atau kalaupun memang itu beneran Mas Iqbal, bisa jadi dia lagi ada urusan. Jenguk teman, mungkin?” “Oh iya, itu bisa juga.” Aku mencoba untuk berpikir positif kalau Mas Iqbal baik-baik saja. Meski kalimat yang dia ucapkan tempo hari sangat menyakitkan, tetapi dia tetaplah calon suamiku dan aku—masih sangat—mencintainya. Aku harap acara pernikahan kami nanti berjalan dengan lancar. *** “Sehat kan, Nay?” suara berat nan tenang itu membuat darahku berdesir. Kalau sudah begini, aku semakin tidak bisa membayangkan kalau Mas Iqbal menikah dengan perempuan lain. “Kata Mama, kalau lagi dipingit tuh telepon aja enggak boleh, Mas.” “Boleh, kok, tapi emang enggak disarankan.” “Yo sama aja.” Mas Iqbal tertawa pelan. “Anggap aja boleh.” Tadi ketika makan malam, Mas Iqbal tiba-tiba mengirimiku pesan kalau dia ingin meneleponku jam sembilan. Benar saja, jam sembilan baru lewat beberapa menit, telepon darinya sudah berdering. Sangat munafik kalau aku menolaknya. Kalau boleh jujur, aku bahkan merindukannya. Orang jatuh cinta memang seringnya seperti ini, lebih tepatnya agak aneh dan sering tidak sinkron. Di satu sisi begini, tetapi di sisi lain bisa jadi begitu. “Pengen ngomong apa, to, Mas? Kok mendadak banget pengen telepon?” “Kangen, Nay.” “Ngapusi!” sahutku cepat. “Tahu, kan, Mas, perempuan seperti aku ini enggak mudah digombali?” Memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak senang. Jantungku bahkan langsung berdetak lebih cepat begitu mendengar kata ‘kangen’ dari Mas Iqbal. “Kalau kata kangen enggak bikin kamu percaya, ya udah, aku cuma pengen ngobrol aja. Biar enggak kaya ngimpi-ngimpi banget kalau lusa kita mau nikah. Malam ini aku mau ngobrol dulu sama calon istriku.” Aku tersenyum meski Mas Iqbal jelas tak melihatnya. “Mau ngobrol apa, Mas?” “Aku enggak ada bahan, Nay. Ada saran?” “Lah! Gimana, to?” Mas Iqbal kembali tertawa pelan. “Kalau lebih jujurnya lagi, aku cuma pengen dengar suaramu.” Kenapa Mas Iqbal tiba-tiba manis begini? Ada apa dengannya? “Kalau kaya gini kita udah kaya orang pacaran, Mas, padahal mah enggak.” “Sejak kamu setuju, kita bahkan langsung loncat ke tunangan. Istilah pacaran jadi enggak ada artinya lagi, orang tunangan itu jelas punya kedudukan lebih tinggi.” “Iya, sih.” Hening sesaat. “Nay, sebenarnya aku juga mau minta maaf ...” “Minta maaf untuk apa?” “Kata-kataku yang waktu itu kayaknya bikin kamu sakit hati.” Aku tersenyum. “Sebenarnya memang iya, tapi ya aku mencoba paham. Bagaimanapun, tahap kita ini agak beda dari pasangan lain.” “Syukurlah kalau kamu mau ngerti. Aku enggak bermaksud buat nyakitin kamu.” Mas Iqbal boleh saja bilang tidak bermaksud menyakitiku, tetapi kata-katanya waktu itu benar-benar membuatku hampir tidak tidur semalaman. Ingin rasanya aku membatalkan semuanya, tetapi rasanya sudah tidak mungkin. Kalau tidak karena nasihat Ola, bisa jadi aku sudah sangat frustasi. “Iya, Mas, aku paham. Oh iya, tadi Mas Athar cerita kalau dia pernah nemuin Mas Iqbal. Bener?” “Iya, bener. Masmu ngajak ngobrol panjang. Ya seputar kamu dan beberapa wejangan pernikahan. Sebagai kakak laki-laki yang juga punya adik perempuan yang umurnya terpaut jauh di bawah, aku bisa paham kenapa kakakmu begitu. Besok kalau adikku nikah, mungkin aku juga akan ngelakuin hal yang sama.” Ah, aku hampir lupa dengan yang satu ini. Ngomong-ngomong, Mas Iqbal dan adiknya itu persis sama seperti Mas Athar dan aku. Kami sama-sama dua bersaudara laki-laki dan perempuan yang umurnya terpaut cukup jauh. Aku pernah berkenalan dengan adik Mas Iqbal, namanya Nafa. Dia orangnya sangat welcome. Kalau tidak salah, saat ini Nafa masih kuliah semester awal. Sebenarnya aku tahu tentang Nafa sejak Mas Iqbal wisuda S1. Aku lihat dia foto dengan keluarganya di halaman fakultas. Waktu itu Nafa masih bocah. Entah masih SD atau mungkin baru masuk SMP. “Oh sama satu lagi, Mas. Kata Mas Athar, beberapa hari yang lalu dia lihat Mas Iqbal di rumah sakit. Apa bener Mas Iqbal habis ke rumah sakit? Dia mau nyapa, tapi enggak jadi karena jarak jauh dan lagi buru-buru.” Hening. Selama beberapa saat, suasana di antara kami mendadak sunyi. Mas Iqbal tak kunjung menyahut kalimatku. “Mas? Mas Iqbal? Masih nyambung enggak, ini?” “Masmu salah orang, mungkin, Nay. Sejak kita pingitan, aku cuma bolak-balik rumah dan kantor aja.” “Oh, gitu. Oke, deh. Mas Athar juga enggak yakin seratus persen, sih.” “Ya udah, Nay. Karena aku udah dengar suaramu, habis ini kamu tutup teleponnya, ya. Kamu istirahat yang banyak. Sampai ketemu lusa.” Mendengar kata lusa membuatku tersenyum lebar. “Iya, Mas.” “Aku harap pernikahan ini menjadi titik awal yang baik buat kita.” “Aamiin.” Akhirnya, panggilan pun terputus. Aku segera merebahkan badanku di kasur dan menatap kosong ke langit-langit kamar. Malam ini juga, aku harus lebih dan lebih yakin lagi dengan pilihanku. Bagaimanapun nanti kondisinya, aku harus bisa mempertanggungjawabkannya. Aku sudah memutuskan untuk memilih Mas Iqbal, itu artinya aku harus bisa menerima kelebihan serta kekurangannya. Pernikahan kami pasti akan baik-baik saja, kan? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN