34. Sebelum Berangkat

2416 Kata

“Mas Iqbal ... enggak lucu, sih, kalau masih marah aja.” Ini sudah malam, dan Mas Iqbal masih saja mendiamkanku. Ini jelas karena perkara tadi sore. Pak Arvin dan Jakarta, dua hal yang membuatnya diam seribu bahasa. “Ayo, makan. Masakanku udah siap.” Mas Iqbal memang berdiri, tetapi mulutnya masih saja terkunci rapat. Aku menggeram tertahan. Antara ingin ikut kesal, tetapi juga senang. Jelas aku senang. Cemburunya itu menandakan betapa dia menyayangiku dan tidak ingin aku dekat dengan laki-laki lain. Terlebih lagi dengan Pak Arvin, orang yang selalu dia pandang dengan tatapan tidak suka. “Biar aku ambilin, Mas—“ “Enggak usah.” Dia menyahut cepat dan langsung mengambil piring sendiri. Aku menghela napas pelan, lalu mengangguk. Setidaknya dia masih mau makan masakanku. Untuk saat

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN