Ben dan Kegelisahannya.

2417 Kata
Biasanya, matahari yang membangunkan Ben. Tapi hari ini, Ben yang menunggu mentari muncul agar dapat segera menjalankan rencananya. Tidak sanggup lagi menahan diri, ia memutuskan untuk pergi dari rumah ketika subuh dan memutari jalanan sepi, agar tidak terlalu merasa bahwa waktu begitu lama menghukum jiwanya di dalam lingkaran pertanyaan. Rumah sakit, hanya itu tujuan Ben hari ini. Ia sama sekali tidak memejamkan mata semalam suntuk. Semua itu karena pikirannya yang memeras otak untuk berpikir keras. Seandainya wanita ini bukan istrinya, Ben sangat bingung. Karena ia begitu menyukai sikap dan tabiat perempuan yang berada di dalam rumahnya saat ini. Sekitar pukul 09.00 WIB, Ben tiba di rumah sakit dan langsung menuju ke ruang dokter. Tanpa banyak bicara, ia mengatakan tujuan kedatangannya. Kemudian dengan cepat, sang dokter mengarahkan Ben ke laboratorium dipandu seorang petugas. "Hasilnya akan keluar satu minggu lagi," ucap dokter sambil menatap Ben yang sudah terlihat lesu. "Apa tidak bisa dipercepat, Dok? Ini sangat penting," jelasnya. "Berapapun akan aku bayar untuk jasa hari ini." "Baiklah. Begini saja, datang kembali siang nanti. Diusahakan untuk cepat." "Terima kasih, Dokter." Ben duduk di kursi tunggu. Dia sama sekali tidak bersemangat saat ini. Di dalam hatinya terus saja bertanya tentang Binar dan semuanya. Sekitar sepuluh menit, telepon genggam milik Ben, terus saja berbunyi. Ini adalah panggilan dari kantor. Tapi, Ben tidak ingin bekerja sebelum mendapatkan jawaban atas pertanyaan di dalam hatinya. Lagipula, ia tidak bisa berkonsentrasi. Jadi percuma saja pergi ke kantor dan bekerja. Hasilnya pasti akan buruk dan tidak sesuai dengan yang seharusnya. Sama seperti Ben. Di rumah, Binar juga merasa tidak nyaman. Baru kali ini, Ben bersikap seperti ini terhadap dirinya. Pergi meninggalkan rumah, tanpa kecupan atau mengatakan sepatah dua patah kata kepadanya. Sambil menyiapkan makan siang, Binar berpikir keras tentang apa alasan yang tepat untuk diberikan kepada Ben, dalam setiap pertanyaan yang mungkin saja akan muncul dari bibir hangat laki-laki bertubuh kekar tersebut. Kali ini, Binar harus berhati-hati dalam bersikap dan bertutur kata. Semuanya agar Ben tidak curiga dan seluruh rencana serta topengnya tidak terbongkar. Setelah siap dengan masakan spesial untuk Ben, Binar berusaha untuk menghubungi Bintang, guna mempertanyakan kebiasaan suaminya atau apa saja yang pernah mereka lalui bersama. Sayangnya, Bintang mengacuhkan panggilan dari Binar dan ia malah menonaktifkan ponselnya agar tidak terganggu. Bintang di negeri lain, tengah tertawa keras dan bersenang-senang diperlukan pria yang menjadi incarannya. Sementara Ben dan Binar, keduanya sedang bertaruh hati dan berselimut dalam kebingungan yang besar. Bingung harus berbuat apa, Binar menelepon Dayu dan mempertanyakan kepadanya tentang keberhasilan dalam mencari mama dan juga papanya. Namun, Dayu memberikan jawaban yang menyedihkan. Ia mengatakan bahwa belum menemukan titik terang, tentang keberadaan kedua orang tua Binar tersebut. Kata Dayu, Binar harus tetap berada di rumah itu dan berpura-pura menjadi istri dari seorang Ben. Kecuali, Binar bersedia mengambil resiko dengan menghubungi polisi agar bisa melacak keberadaan papa dan mamanya. Walau begitu, Dayu memperlihatkan usahanya dalam mencari orang tua Binar dengan jasa detektif swasta dan beberapa teman yang ia kenal. "Kalau kamu ingin cepat, polisi adalah jalan terbaik!" kata Dayu dalam layanan telepon. "Tapi kamu masih begitu perduli pada Bintang dan tidak ingin ia dipenjara, bukan?" "Dayu ... ." "Kamu adalah saudara yang baik, Binar. Tuhan akan menjagamu dan mengabulkan setiap doa-doamu. Percayalah!" Dayu terus menguatkan Binar. "Besok, papa juga akan datang ke sini untuk membantumu. Jadi, sabar ya?" "Terima kasih, Dayu. Maaf sudah merepotkan semua orang!" pinta Binar dengan suara yang terdengar bergetar. "Katakan nanti! Setelah aku berhasil." Lalu kedua sahabat ini, menutup ponsel mereka masing-masing. Binar menyandarkan diri di kursi meja makan. Sedangkan Dayu menyandarkan tubuhnya di sofa. Mereka adalah saudara dari Tuhan. Bahkan kasih sayang Dayu terhadap Binar sangat besar. Begitu juga sebaliknya. "Papa ... mama ... ." Binar tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertemu sang papa dan juga kehilangan mama yang selama ini sudah diperjuangkannya. Oleh karenanya, ia menyetujui perkataan Dayu. Sebab, itulah jalan yang terbaik untuk saat ini. Sementara itu, ia juga sudah merasakan jatuh cinta kepada Ben dan semua rasa tersebut sangat menyiksa. Sekitar pukul 15.00 WIB, Ben yang tampak semakin kusut, belum bersedia meninggalkan rumah sakit. Tak lama, buah sabarnya menampakkan hasil. Ben dipanggil ke ruangan dokter untuk menterjemahkan simbol hasil tes DNA terhadap dua sampel helaian rambut yang ia berikan kepada pihak rumah sakit. Setibanya di hadapan dokter, jantung Ben berdegup kencang. Ia tidak tahu harus melakukan apa? Hanya kecemasan yang tinggi, tapi ia harus mengetahui kebenarannya. "Anda sudah siap?" tanya dokter yang sedang memegang amplop ukuran besar berwarna putih yang masih disegel. "Silakan, Dokter!" jawab Ben sambil menahan napasnya yang hangat dan berat. "Baik." Dokter merobek bagian ujung amplop tersebut dan mengeluarkan lembaran dari dalamnya. Kemudian, beliau memperhatikan setiap simbol yang tampak mudah baginya untuk dipahami. "Bagaimana, Dok?" tanya Ben tidak sabar hati. "Apa Anda yakin kalau ini adalah sampel dari orang yang berbeda?" Dokter kembali bertanya sembari menatap Ben dengan tatapan serius. Detak jantung Ben kembali tidak stabil. Lalu ia menatap balik, sorot mata tajam dokter tersebut dan berkata dengan yakin. "Tentu saja, Dokter. Sebab, kotak perhiasan kepala istriku masih terkunci dengan baik dan hanya dia dan aku saja yang mengetahui kode lemarinya. Mengingat, perhiasan itu terbuat dari emas dan batu perhiasan dengan harga yang tidak murah," beber Ben tampak yakin. "Baiklah kalau begitu." "Ada apa, Dokter?" "Menurut hasil pemeriksaan dari tes DNA yang kita laksanakan, dapat diketahui bahwa pemilik dua jenis rambut ini merupakan orang yang sama." "Apa?" Ben terdiam, tapi sangat bahagia. "Ini adalah rambut dari orang yang sama. Saya tidak tahu, bagaimana Anda bisa meragukan istri Anda sendiri." Lalu terdengar suara tawa besar dari bibir dokter paruh baya tersebut. Beliau juga menggelengkan kepala dan meminta Ben untuk segera pulang serta meminta maaf kepada istrinya. Ben menghela napas panjang sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya. Lalu ia menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk segera memeluk Binar. Sepanjang terowongan rumah sakit, Ben terus menyalahkan dirinya sendiri. Bahkan beberapa kali ia memukul kepalanya karena merasa begitu bodoh. 'Sepertinya, aku kebanyakan nonton film box office. Sampai-sampai aku berpikir, ada seseorang yang menyamar menjadi istriku dengan melakukan operasi plastik sebelumnya. Lalu ia menguras habis semua uangku.' 'Ya ampun, Ben. Kamu perlu liburan! Sekarang, apa yang akan kamu katakan kepadanya? Kamu pergi begitu saja, tanpa salam ataupun kecupan hangat sebagai tanda cintamu kepada Binar?' Ben terus berkata-kata dan menyalahkan dirinya sendiri. Dengan langkah cepat, Ben kembali menggeledah jalanan berdebu dan ramai. Baru tiba di sisi jalan tidak jauh dari rumah sakit, Ben memikirkan sesuatu. Ia pun langsung bergerak ke arah toko sepatu favorit Binar untuk memberikan kado, sebagai ucapan permintaan maaf karena sikap buruknya pagi ini. "Tuan, Ben. Silakan masuk!" sapa penjaga toko berbusana seragam yang selalu melayani kedatangan Ben dan Binar. "Terima kasih. Aku ingin sepatu model terbaru dan modis!" "Saya paham, Tuan. Anda datang seorang diri?" "Iya. Tapi kamu tahu ukuran sepatu istriku, bukan?" "Tentu saja, Tuan. Anda dan nyonya sudah singgah dan mempercayakan toko kami sejak lama." "Iya." Lalu Ben duduk tenang sambil menunggu sepatu datang. Setelah 15 menit, "Tuan, ini ada empat model terbaru. Tapi saya cenderung memilih model ini." Penjaga toko mengangkat salah satu sepatu yang memang tampak sesuai dengan selera Binar selama ini. "Apalagi sepatu ini, hanya ada beberapa saja, Tuan." Ben memperhatikan sepatunya dengan teliti. Detilnya memang manis dan kilapan dari perhiasannya sangat indah. "Oke, aku ambil yang ini." Ben mengeluarkan kartu dan langsung membayar tanpa banyak basa basi. Dari toko sepatu, Ben segera bergerak pulang dan rasanya, ia ingin segara memeluk Binar dan mendengar semua keluhan istrinya sehingga kejadian malam tadi bisa terjadi. Setibanya di halaman rumah, Ben menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Begitu juga dengan Binar yang sudah menyingkap kain gorden dan melihat mobil Ben terparkir di depan rumah. Binar pura-pura tidak tahu dan memilih masuk ke dalam kamar untuk melihat reaksi Ben saat pulang kali ini. Sekarang, Binar sudah siap dengan berjuta pertanyaan yang akan segera meluncur dari mulut Ben dengan nada tinggi dan penuh emosi. Langkah Ben terdengar pada anak tangga, Binar langsung menutup kedua matanya. Tak lama, Ben mendekati Binar dan langsung mencium dahi istrinya. Merasakan kecupan hangat dari bibir Ben, Binar menyadari sesuatu. Yaitu Ben dalam keadaan normal dan tidak marah kepadanya. Melihat Binar tertidur, Ben memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah itu, ia keluar dari kamar mandi dan melihat Binar sudah terbangun. Ben tersenyum, "Sudah bangun?" "Ben?" "Maaf, tadi pagi ada sesuatu yang penting dan sangat mendesak di kantor," jelasnya sambil merapikan handuk yang ia kenakan. 'Apa?' Binar tahu Ben berbohong, sebab sebelumnya ada telepon masuk dari kantor yang mempertanyakan tentang keberadaan Ben. "Jangan marah ya?!" Binar tersenyum dan pura-pura tidak tahu, "Baiklah." "Oh iya, tadi aku membelikan sesuatu untukmu. Sebentar ya! Aku ganti pakaian dulu!?" "Iya." Ben mengganti pakaiannya di depan Binar. Merasa malu, Binar memalingkan wajahnya. Tetapi ia malah dapat melihat seluruh bagian tubuh Ben dari kaca besar di dalam kamar mereka. Bulu-bulu halus di sekitar leher Binar berdiri. Mahkotanya juga terasa menguncup dan kaku. Ia pun mengatur napas yang tiba-tiba terasa sesak. Binar seperti putri malu saat ini. Hanya dengan melihat Ben tanpa busana saja, ia sudah terpengaruh dan menjadi semakin sadar bahwa dia menginginkan Ben lebih dari apa pun. "Binar, cobalah! Semoga kamu suka," kata Ben sambil menyerahkan tas belanja yang tampak elegan dan mengajak Binar ke atas sofa. "Apa ini, Ben?" tanya Binar sesaat setelah duduk di sofa empuk berwarna hijau toska. Ben membuka bungkusnya dan mengambil sepasang sepatu berwarna abu-abu muda yang dihiasi dengan banyak batu permata berwarna dan berkilauan. Tanpa banyak bicara, Ben segera menarik lembut kaki kanan Binar untuk memakainkanya. Tetapi, lagi-lagi sesuatu yang janggal terjadi dan itu membuat Ben terdiam sejenak. Sadar dengan apa yang terjadi, Binar menunduk dengan wajah iba. "Sepatunya tidak muat." Binar segera berdiri dan berniat untuk meninggalkan Ben. Namun baru saja satu langkah, Ben berdiri dan menarik tangan istrinya tersebut. Kemudian, Ben duduk di atas sofa dan menatap Binar dari bawah. "Diam sejenak di sini!" pinta Ben. "Lihatlah aku, Binar!" Binar melakukan apa yang Ben inginkan. Matanya penuh ketakutan karena ia merasa semuanya akan berakhir saat ini. Binar yakin, Ben sudah mengetahui kejahatannya. "Katakan sesuatu? Kenapa kamu selalu menjauh?" Setelah mendengar perkataan Ben, Binar bernapas lega. Ia menatap mata laki-laki yang tampak tidak berdaya tersebut dengan penuh rasa bersalah. 'Bintang, tidak seharusnya kita melakukan semua ini kepada Ben! Tidak sepantasnya laki-laki baik seperti dirinya diabaikan!' Binar semakin merasa menjadi orang yang kejam. "Aku malu, Ben." "Kenapa? Karena tiba-tiba saja berat badanmu bertambah?" tanya Ben yang menyadari bahwa bentuk tubuh Binar saat ini, berbeda dengan sebelumnya. Padahal hanya satu minggu saja jaraknya, walau tidak mungkin, tapi Ben ingin tahu. Ben tidak mengerti, apalagi wanita yang berada di hadapannya adalah Binar, istrinya. "Sepatunya tidak muat, pakaian yang kamu kenakan selalu longgar, bentuk d**a kamu juga berubah, dan kamu jadi sangat rajin makan. Apa aku salah?" tanya Ben sekali lagi. Semua ucapan Ben itu memperlihatkan betapa ia memperhatikan istrinya. Sikap itu semakin membuat Binar jatuh hati. "Maaf, Ben! Beri aku waktu sepuluh hari saja untuk menurunkannya! Tapi selama itu, berjanjilah! Kamu tidak akan menyentuhku?" "Tidak mau!" tukas Ben tegas. "Aku malu, kamu tidak mengerti." Binar mengambil kesempatan ini untuk lepas dari Ben. "Lipatan perut, paha ... ." "Suuut!" Ben menutup mulut dengan jari telunjuknya. "Itu tidak masalah, Sayang. Bahkan kamu terlihat lebih berisi dan mengggairahkan," puji Ben dan ia tidak berbohong. "Aku cuma butuh waktu 10 hari saja!" kata Binar melihat kedua tangan dan memeluk dirinya sendiri. "Setelah itu, lakukan apa yang kamu inginkan!" Ben mengulum senyumnya dan merasa kembali bahagia. "Benarkah?" "Iya." "Setuju," jawab Ben yang ingin kembali membangun hubungan manis bersama istrinya. "Tapi dengan satu syarat!" "Apa?" "Biarkan bayi tua ini mimik sebelum menjadi batu!?" "Apa? Tidak!" elak Binar sambil melotot, tapi Ben tidak perduli. "Ya sudah. Kalau begitu, aku akan memperkossamu nanti malam!" "Apa? Ben!" "Pilih saja!" Agaknya Ben tidak bersedia mengalah kali ini. "Ba-baiklah. Tapi ... hanya mimik saja! Tidak boleh nakal!" "Ha ha ha ha ha." Ben tertawa penuh rahasia. "Jika kamu berbohong, maka aku akan menghukummu seumur hidup dengan stop memasak dan tidak berdiam diri di rumah. Bagaimana?" "Ya ampun ... kamu memang cerdas, Binar. Ha ha ha ha ha." "Ayo jawab!" paksa Binar yang merasa bahwa ini adalah jalan dan tembok pembatas antara dirinya dan Ben. "Baiklah, setuju. Tapi ada syaratnya lagi." "Ya ampun, Ben?" "Aku bebas menikmati wajahmu!?" Binar tersenyum dan ia setuju. "Baik, setuju." Lalu mereka mengikat janji dengan jari kelingking yang saling dikaitkan. Cukup puas berbalas senyum, Ben memegang tangan Binar dan menariknya lembut, hingga Binar terduduk di atas kedua paha Ben. Kemudian, Ben mendekap erat Binar dan memberikannya sentuhan lembut dengan kecupan beruntun di telinga. Suara keluhan manja yang tipis terdengar dari bibir Binar. Hal itu semakin menambah jumlah kerinduan di dalam hati Ben. Sebenarnya, jika ia mau egois, ia bisa memaksakan keinginannya. Tapi Ben memilih untuk menunggu hingga waktu yang telah mereka sepakati. Dadda Binar naik turun ketika menikmati serangan dari bibir Ben. Saat itu, Ben menyadari perasaan Binar yang sebenarnya juga sangat menikmati sentuhan tersebut. "Sayang?" bisik Ben sembari membuka kancing baju yang Binar kenakan. Semakin turun jari jemari tangan Ben, Binar semakin menari dan menggenggam tangannya erat. Melihat kegelisahan Binar, Ben melumat cuping telinga dan leher istrinya untuk menambahkan sensasi romansa diantara keduanya. "Ben!" keluh Binar sambil menarik kedua telapak tangan Ben yang sudah menempel sempurna di kedua belah dadanya. Pijatan lembut Ben berikan, namun terasa hingga ke dalam sanubari keduanya. Tidak sanggup menahan diri, Binar berusaha untuk lepas dan berdiri. Awalnya Binar berhasil. Tapi Ben kembali menarik tubuh istrinya dan memainkan ujung kedua buah dadda Binar dengan lumatan yang terasa luar biasa nikmat. Ben melihat bulu-bulu halus disekitar telinga, leher dan pundak Binar berdiri. Ia pun semakin tersenyum dan menambahkan kenikmatan bagi istrinya. "Ben, please! Lepasin!" Ben menjawab permintaan Binar dengan kecupan dan pijatan brutal, tetapi terasa hangat di tubuh Binar. Keduanya terus beradu hasratt dalam sentuhan sederhana hingga tanpa sadar, Ben mengeluarkan jauhar miliknya. Padahal, ia hanya mendengar suara erottis yang keluar dari bibir Binar dan melihat tarian gemulai dari tubuh istrinya yang semakin gempal dan padat berisi. Ben tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Tapi ia semakin sadar bahwa jiwanya tidak lagi bisa lepas dari Binar. Apalagi Ben sangat menyukai bentuk tubuh Binar saat ini. Menurutnya, Binar jauh lebih padat dan sintal, terutama pada bagian dadda dan bokkongnya. Sementara sebelumnya, Binar yang sebenarnya adalah Bintang, memiliki tubuh kurus yang tipis. Itu adalah bentuk tubuh impiannya, persis seperti artis Korea. Bersambung. Bagaimana hubungan hati keduanya akan terjalin dengan sempurna? Jangan lupa tinggalkan komentar, tab love, dan follow aku ya. Bulan depan, kita up banyak dan langsung tamat. Makasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN