Sinar matahari belum menyambut hari untuk menepis semua puing-puing langit yang berwarna hitam dan hanya dihiasi sedikit bintang malam, yang setia menerangi hati.
Binar yang telah terbiasa bangun ketika azan subuh berkumandang, tidak lagi merenda bulu mata. Meskipun ia masih merasakan lelah dan kantuk yang luar biasa.
Sembari membersihkan rumah dan
menyiapkan sarapan untuk Ben, ia mengintip ke dalam tenda dan terus tersenyum ketika memandang wajah Ben yang tampak tenang.
Sekitar pukul 07.00 WIB, Ben belum juga terbangun. Khawatir laki-laki itu belum juga keluar dari dalam tenda, Binar memutuskan untuk membangunkannya.
"Ben, ayo bangun! Sudah siang. Apa kamu tidak ke kantor hari ini?" Binar menggoyang dan menarik induk kaki Ben dan menggoyangkannya. Tapi Ben masih tampak terlelap.
Merasa tidak memiliki pilihan, Binar semakin masuk ke dalam tenda dan mendekati Ben. Saat ini, tubuh perempuan berparas jelita tersebut, berada di samping Ben dan ia memegang pipi laki-laki tersebut sembari mencubiti.
"Binaaar!" pekik Ben sambil membuka kedua matanya lebar-lebar.
Namun ia sama sekali tidak bermaksud untuk marah. Hanya saja, apa yang dilakukan Binar membuatnya terkejut.
Padahal Ben sudah berusaha untuk menahan diri agar tidak bergerak supaya Binar mendekatinya dan melakukan sesuatu untuk membangunkan dirinya sejak tadi.
Ternyata ia hanya ingin mengetahui bagaimana cara Binar akan membangunkannya dan kali ini ia sudah mengetahui secara langsung, bahwa rupanya sang istri memilih untuk mencubit pipi daripada menciumnya.
Geram dengan perlakuan Binar yang tidak sesuai dengan ekspektasinya, Ben langsung mencengkram dan memeluk tubuh istrinya, lalu mengangkat Binar, hingga dirinya berada tepat di atas tubuh Ben yang kekar.
"Ben!" Binar cukup terkejut, lalu ia memegang kedua pundak laki-laki itu, untuk bertahan akibat tubuhnya yang terasa melayang, saat Ben meletakkannya di atas.
"Aku pikir, akan ada kecupan selamat pagi yang mendarat di pipi, dahi, ataupun bibirku," gerutu Ben. "Tapi sayangnya, itu hanya khayalan yang mungkin tidak akan pernah terjadi," ucap Ben.
Benar saja, tampaknya ia memang sudah bangun sejak subuh dan sengaja berdiam diri di dalam ruang sempit tersebut, untuk mendapatkan kecupan hangat dari istrinya.
"Ben ... ." Binar terlihat merasa bersalah.
Bukan tanpa alasan, keinginan Ben tersebut adalah hal yang simple dan memang biasa dilakukan oleh pasangan pengantin baru.
Sayangnya, Binar tidak mampu melakukannya karena ia bukanlah istri sah Ben yang sesungguhnya.
Melihat wajah istrinya murung, Ben langsung mengalihkan pembicaraan karena ia tidak ingin membuat Binar merasa tidak nyaman ketika berada disampingnya.
Ben merasa hubungan keduanya baru saja pulih dan ia tidak ingin membuat jarak baru, sehingga Binar menjadi jauh sekali lagi.
Mata Ben beralih ke bawah dagu Binar yang memperlihatkan belahan d**a perempuan bermata safir tersebut.
"Cantik," pujinya yang terus memperhatikan buah daada Binar yang menyembul sempurna.
"Mandi sekarang juga!" pinta Binar sembari menarik ujung hidung Ben yang mancung untuk menghilangkan hasratnya.
"Tidak mau."
"Kamu sudah kesiangan, Ben. Jangan nakal!"
"Lalu, kapan boleh nakalnya?"
"Apa?"
"Kapan boleh nakalnya?" tanya Ben tampak sungguh-sungguh. "Kangen kamu, Sayang," sambungnya.
Pada saat yang bersamaan, Binar merasakan degup jantungnya berlari kencang. Tetapi ia berusaha kembali mengingatkan dirinya, bahwa sebenarnya ucapan tersebut untuk bintang, bukan dirinya.
Disaat Binar merasakan sensasi bahagia karena perasaan cinta, pada saat yang bersamaan juga, ia sangat terluka.
Binar begitu ingin memiliki seseorang yang bisa mencintai dirinya, seperti Ben terhadap Bintang.
Karena begitu marah dengan keadaan, mata Binar berkaca-kaca dan ia langsung menurunkan tubuhnya dari Ben, lalu berlari ke arah rumah untuk membuang air mata.
Beb yang bingung dan terkejut atas reaksi istrinya tersebut, langsung terduduk dan ia segera mengejar Binar dengan langkah yang jauh lebih cepat.
Ketika Binar hampir menaiki anak tangga, Ben langsung menangkap dan memeluknya dari belakang. Saat itu, Ben dapat merasakan tetesan air mata sang istri yang terjatuh pada lengan kanannya.
"Sayang, maaf jika aku menyakiti hatimu! aku tidak disengaja. Maaf kalau aku terkesan memaksakan dirimu!" suara yang keluar dari bibir Ben tersebut memang menyiratkan rasa penyesalan yang dalam.
Meskipun ia tidak mengetahui penyebab kemarahan Binar yang sebenarnya. Tetapi Ben terus menyalahkan dirinya sendiri agar semua keadaan tetap tenang, damai, dan hangat.
Laki-laki yang satu ini memang begitu mencintai istrinya dan ia tidak ingin kehilangan sedikit pun senyum dari bibir Binar, hanya karena keinginannya untuk menikmati malam dengan permainan panas dalam percintaan yang dalam.
"Maaf! Lupakan saja semua ucapanku barusan! Yang penting, kamu jangan meninggalkan aku seperti ini!"
Binar semakin merasa tersiksa dan bersalah. Tubuhnya pun langsung melemah di dalam pelukan Ben.
Ben yang mengetahui bahwa istrinya sudah memaafkan dirinya, memutuskan untuk terus memeluk Binar hingga puas dan mereka sama-sama tenang. Kemudian, Ben pergi untuk membersihkan diri.
Sekitar pukul 07.30 WIB, Ben yang sudah rapi, segera menikmati sarapan yang sudah Binar siapkan sejak tadi.
Ia pun menyadari bahwa Binar sudah berusaha untuk memberikan yang terbaik. Walaupun di sisi lain, ia juga merasa seolah Binar menjaga jarak dan menjauhi dirinya.
Setelah selesai sarapan, Ben berdiri dan mengatakan kepada Binar tentang sesuatu yang membuat Biner semakin terdiam dan terguncang hati.
"Bagiku, senyummu itu lebih berharga daripada sekedar keinginanku untuk menikmati dirimu. Jangan marah jika aku sering memintanya! Sebab, rasa rindu ini tidak pernah ada habisnya. Maafkan aku, Binar!" Lalu Ben meninggalkan Binar di dalam kebingungan yang semakin dalam.
Baru dua hari hidup bersamanya, tapi Binar sudah merasakan cinta yang luar biasa. Ia merasa, jiwanya sudah takluk pada kelembutan dan kehangatan hati Ben.
Binar pun ingin melakukan sesuatu yang baik dan dapat menyenangkan hati Ben. Setidaknya agar ia sendiri tidak merasa bersalah karena sudah menipu laki-laki baik seperti Ben Cashel.
***
Sekitar pukul 13.00 WIB. Binar meminta satpam untuk mengantarkan dirinya ke kantor di mana Ben bekerja.
Untuk menebus rasa bersalah di dalam dirinya, Binar menyiapkan makan siang dan mengantarkannya langsung ke kantor.
Setibanya di depan gedung pencakar langit, Binar turun dan menemui resepsionis untuk dipertemukan dengan Ben.
Dengan senang hari, salah seorang karyawan yang kebetulan berada di lantai dasar, mengajukan diri untuk membawa Binar menemui Ben.
Sayangnya, setibanya Binar di depan pintu kaca ruang milik Ben dan membukanya, ia melihat Ben sedang memeluk seorang perempuan yang tampak seksi dan cantik.
Binar segera membalik tubuh dan berniat untuk pergi. Namun di saat yang sama, Ben melihat Binar dan langsung mengejarnya.
"Sayang?" Ben menangkap tangan Binar. "Tunggu! Binar!"
"Maaf mengganggu, aku nggak sengaja." Binar menunduk demi menyembunyikan air matanya, tapi suara Binar terdengar bergetar.
"Sayang ... ."
"Ah, ini makan siang untukmu. Cobalah! Mungkin kamu suka, Ben! Kalau tidak, berikan saja kepada yang lain atau buang saja!"
"Sayang?"
Rasanya, banyak gemuruh di dalam hati Ben yang mencambuk seluruh tubuhnya hingga bergetar. Baru kali ini, Ben sangat takut dan merasa bersalah kepada Binar.
"Dia cuma sekertaris di kantor ini. Tadi, dia hampir terjatuh dan aku menangkapnya," jelas Ben. "Percayalah!"
Binar menganggukkan kepala dengan gerakan lambat. Lalu ia kembali mengatur langkah untuk pergi menjauhi Ben.
Entah apa yang terjadi, ia begitu sakit hati ketika melihat Ben menyentuh perempuan lain. Agaknya, Binar sudah bisa merasakan cemburu kepada Ben.
"Temani aku untuk makan ya?"
"Aku lelah, Ben," tolaknya halus. "Aku pulang duluan ya. Permisi," ucapnya terdengar dingin dan asing di telinga Ben.
"Sayang, tunggu! Aku antar kamu pulang dulu. Lagipula, aku baru minum kopi."
Tanpa menjawab, Binar meneruskan langkahnya dan membiarkan Ben melakukan apa saja yang ia inginkan.
Sepanjang perjalanan, Binar hanya menunduk dan tidak bersedia untuk menjawab setiap pertanyaan yang keluar dari bibir Ben. Ben semakin tidak nyaman, tapi tidak tahu harus berbuat apa.
Sesampainya di rumah, Binar langsung membereskan meja makan dan bersikap seolah ia seperti tidak melihat Ben.
"Baiklah, aku pamit. Binar, aku benar-benar tidak ada hubungan apa pun dengan perempuan itu," jelas Ben sekali lagi.
Sesaat setelah Ben berjalan ke arah luar, Binar berlari ke arah dapur dan menyembunyikan dirinya di sana, sekedar untuk kembali menangis.
Pada saat yang bersama, Ben menyadari hal tersebut dan menyusul Binar dengan gerakan lamban.
Di balik dinding, Ben mendengar suara isak tangis yang lebih kuat dari tadi pagi. Hatinya pun ikut tergores, walaupun ia tidak mengetahui alasan air mata tersebut.
"Binar?" Suara Ben menghentikan ratapan Binar. "Kenapa kamu bersembunyi di sini?" tanya Ben sambil menatap mata indah milik Binar yang selama ini selalu beralih pandang.
"Ben? Maaf, aku tidak bermaksud untuk bersembunyi. Hanya saja, aku membutuhkan dinding untuk bersandar. Hati-hati di jalan, permisi."
"Aku ada untuk kamu. Kamu tinggal mengatakannya saja! Sebenarnya apa yang terjadi? Kamu bisa mengatakan apa pun kepadaku, Binar!"
"Aku pasti akan membantumu. Aku ini suamimu, orang yang sangat mencintaimu." Ben menatap Binar dalam-dalam dan ia dapat melihat mata itu bergetar penuh kebingungan.
'Itulah masalahnya, Ben. Kamu bukan suamiku, kamu adalah suami dari bintang kakakku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Seandainya kamu adalah milikku maka aku akan mengeluarkan semua perasaan ini terhadapmu.' Ucap Binar tanpa suara sambil menurunkan tatapan matanya dan menjauhi.
Setelah Binar meninggalkan Ben sekitar tujuh langkah, Ben mengatakan sesuatu yang berhasil mengoyak hati Binar sekali lagi.
"Kenapa kamu selalu pergi dan menghindariku, Binar? Apakah aku ini begitu menjijikkan dan memuakkan bagimu? Atau kamu masih marah dengan kejadian di kantor tadi? Katakan saja! Marah saja!" pinta Ben karena semua itu jauh lebih baik daripada harus dianggap tidak ada.
Binar terdiam sambil menghela napas panjang. Lalu ia menunduk dan mengatakan, "Tidak, Ben. Kamu salah besar. Malah, aku sangat mencintaimu," ucap Binar dengan suara yang terdengar parau dan air matanya kembali menetes dari pulau kecil miliknya.
Sesaat setelah mendengar jawaban langsung dari bibir Binar, Ben menolehkan wajah dan menatap punggung sang istri dengan perasaan yang berbunga-bunga dan gelisah.
Namun sayang, ketika Ben melangkah untuk memeluk Binar, perempuan itu malah berlari ke arah luar rumah dan meninggalkannya begitu saja.
Mengerti akan keadaan Binar yang mungkin masih cemburu ataupun curiga terhadap dirinya, Ben membiarkan Binar untuk menenangkan diri ataupun bersenang-senang.
Saat ini, Ben merasa harus memberikan waktu kepada istrinya untuk tenang dan berpikir logis tentang segalanya.
Bersama kebingungan yang besar, Ben memutuskan untuk kembali ke kantor karena hari ini ada urusan penting. Yaitu penandatanganan berkas rahasia perusahaan yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun.
Di dalam hati Ben berharap, Setibanya Ia di rumah nanti sore, Binar sudah kembali menyambutnya dengan senyum dan tatapan mata yang indah.
Namun sayang, tidak semua yang yang ia pikirkan terjadi. Sesampainya di rumah sekitar pukul 18.00 WIB, Ben tidak menemukan Binar di dalam kediaman tersebut.
'Mungkin Binar membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk menenangkan diri.' Kata Ben di dalam hatinya sambil melangkah ke arah kamar dan membersihkan diri agar lebih segar.
Sekitar pukul 22.00 WIB, Ben mulai gelisah. Meskipun sebenarnya Binar sering pulang pagi, tapi karena ia sudah di rumah saja selama dua hari terakhir, hal itu membuat Ben khawatir dan tidak tenang.
Ben memutuskan untuk ke meja makan dan menikmati jeruk peras yang sudah Binar siapkan di dalam kulkas, sembari menunggu istrinya pulang.
Ketika Ben menarik salah satu kursi, ia melihat tas milik Binar berada di sana dan ia baru mengetahui bahwa istrinya pergi tanpa ponsel ataupun uang.
Ben yang baru berniat untuk menikmati minumannya, memutuskan untuk meninggalkan rumah dan mencari Binar bersama satpam yang tadi siang mengantarkan istrinya ke kantor.
Saat ini, suara bising kota pun mulai berkurang dan berganti suara angin serta ranting dari pohon yang menari karena hari tampak semakin gelap.
Semua ini akibat awan mendung yang tampaknya akan mendatangkan hujan. Tak lama, gemuruh menghantui telinga Ben dan itu semakin membuatnya khawatir tentang keberadaan Binar.
Ben mulai menyambangi rekan-rekan kerja Binar dulu, untuk mencari keberadaan istrinya tersebut. Namun setelah mendatangi beberapa orang, ia belum juga mendapatkan Binar.
Setelah lewat tengah malam dan hujan mulai reda, suara ponsel Ben berbunyi. Ben tampak pucat saat ini dan perasaannya memburuk.
"Apa?" kata Ben setelah mendapat informasi tentang Binar dari kantor polisi.
Ben menginjak gas mobil dan bergerak cepat ke arah kantor sektor yang sangat jauh dari rumahnya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit dengan kecepatan tinggi, Ben tiba di kantor polisi dan langsung menemui seorang sahabat yang mengenalinya begitu juga dengan Binar.
"Beni? Apa yang terjadi?"
"Tenangkan dirimu! Binar sedang terlelap."
"Apa?"
"Istrimu di bawa ke kantor oleh seorang warga yang rumahnya tidak jauh dari sini. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Beni kembali dengan raut wajah bingung.
"Apa maksudmu, Ben?"
"Begini. Warga itu bilang, kalau Binar tidak tahu alamat rumahnya. Makanya mereka membawa istrimu ke kantor polisi ini, agar kami segera mencari keluarganya. Saat saya melihat orang itu adalah Binar, saya langsung menghubungi kamu."
"Apa?" tanya Ben dengan wajah yang tercengang. "Tidak mungkin."
'Jangan-jangan, Binar masih marah dan tidak ingin pulang. Makanya ia mengatakan hal seperti itu.'
"Wajahnya benar-benar tampak bingung tadi, Ben. Untuk apa saya bohong. Selain itu, dia tidak mengenali saya sama sekali. Padahal hubungan kita kan sangat dekat."
Ben memegang kepalanya sambil mengintip Binar. Ia semakin bingung dan semua sikap aneh Binar kembali terbayang di matanya.
"Boleh aku bawa Binar pulang? Mungkin dia kelelahan."
"Silakan, Ben! Tolong isi dulu berita acaranya!"
"Baik, Ben. Terima kasih."
Setelah urusan mereka tuntas, Ben langsung menggendong Binar ke dalam mobil. Ia tampak begitu lelah dan mengantuk. Sampai-sampai, ia tidak sadar sudah digendong ke dalam mobil dan bergerak pulang.
Detik ini, segudang pertanyaan menghimpit otak Ben dan ia menjadi curiga pada sosok Binar yang saat ini berada di dalam mobil bersama dengan dirinya.
Setibanya di dalam rumah, Ben kembali menggendong Binar dan perempuan itu terbangun. "Ben?" ucap Binar yang berada di dalam pelukan Ben.
"Tidurlah! Kamu sudah di rumah." Ben tidak menurunkan Binar dari genggamannya dan saat itu ia terus memperhatikan istrinya yang tampak lusuh.
Perlahan, Ben meletakkan tubuh Binar di atas tempat tidur. Sebenarnya ia sangat ingin mengganti pakaian Binar. Tapi rasa curiga yang sempat muncul itu, membuatnya berpikir dua kali untuk melakukannya.
Setelah yakin Binar nyenyak, Ben mencabut lima helai rambut Binar dan menyimpannya di dalam wadah. Kemudian Ben menarik kotak perhiasan rambut Binar (Bintang) dan mengambil helaian rambut lain di sana.
Rencananya, besok pagi Ben akan ke rumah sakit untuk memeriksa DNA dari kedua helai rambut tersebut.
Bersambung.