Awal Perpisahan
"Selain Dayu, cermin adalah teman terbaik baginya. Sebab, benda itu tidak pernah tertawa disaat ia menangis." Binar.
Derai hujan membasahi bumi. Disaat yang bersamaan, seorang remaja tanggung, tengah duduk di bawah pohon rindang sembari menatap ke arah lapangan utama.
Saat itu, seluruh orang tua tengah berkumpul untuk mengambil ijazah putra-putri mereka. Namun lain halnya dengan Binar. Padahal ia biasa berada pada peringkat tertinggi di SMP unggulan di Kota Bunga.
"Binar, ngapain kamu di situ? Ayo gabung! Sebentar lagi kan, pengumuman kelulusan. Kamu pasti keluar sebagai juara umum, seperti biasanya," kata Dayu yang merupakan sahabat terbaik Binar.
"Aku sedang menunggu papa datang."
"Emh ... memangnya papamu janji buat datang?"
Binar menggeleng, "Tidak. Lagipula, kak Bintang pasti nggak ngizinin beliau untuk melakukannya."
"Dengan pura-pura pingsan seperti biasanya?" ejek Dayu terdengar kesal, akan kebohongan yang sering dilakukan oleh Bintang. "Kalian itukan sama, tapi kenapa sifatnya berbeda? Seperti langit dan bumi. Satu lagi, kenapa kalian harus pisah sekolah? Dia ingin memiliki papamu, kan?" Dayu terus mencerca saudara kembar Binar tersebut.
"Apa aku salah bicara?" Dayu menghentikan langkahnya. "Kamu juga, kuat sedikit kenapa sih? Sesekali, kamu berhak untuk memaksa."
Binar tersenyum, "Makasih ya, Dayu. Kamu yang terbaik. Ayo kita ke lapangan sekarang!" Binar tidak ingin terbakar oleh apa pun. Sebab baginya, Bintang atau pun dirinya, sama saja.
Sekitar pukul 13.00 WIB, Binar kembali ke rumahnya diantar oleh Dayu. Saat itu, sahabatnya memberikan sebuah bingkisan untuk Binar.
"Binar, aku punya sesuatu buat kamu," ucap Dayu dengan mata yang mulai berkaca-kaca dan menyerahkan bingkisan kecil ukuran kotak korek api.
"Apa ini?" tanya Binar pada sahabat yang selalu memeluknya dikala terluka.
"Cuma bingkisan kecil saja. Makasih ya karena kamu sudah ngajarin Dayu yang songong ini banyak hal." Dayu tersenyum, tapi raut wajahnya tampak murung.
"Ada apa?" tanya Binar sekali lagi.
"Kamu sahabat terbaikku." Dayu menggigit bibir atasnya yang tampak bergetar.
Binar tersenyum, "Kamu juga begitu, Dayu." Lalu mereka saling berpelukan erat. "Maaf, ya. Aku nggak bisa ngasih apa-apa. Uang beasiswanya untuk ... ."
"Suuut! Aku nggak minta apa-apa kok. Eh, buka dan cobain dulu!" sambung Dayu yang memiliki segalanya.
Bagi Dayu, jika ia menginginkan apa pun, ia hanya tinggal memainkan jari telunjuknya saja. Tidak ada yang mahal bagi putri konglomerat tersebut.
"Iya, aku buka ya!?"
"Ayo buruan!" pinta Dayu yang sudah tidak sabaran lagi ingin melihat ekspresi bahagia dari wajah sahabat yang sudah lama berteman dengannya.
Kertas kado berwarna merah muda mengkilap, dibuka dengan sangat hati-hati. Binar sama sekali tidak ingin jika bungkus tersebut, robek sedikit pun karena ia ingin menyimpannya.
“Ya ampun, Binar. Lama banget buka itu doang. Sini aku bantu!” kata Dayu yang sudah tidak sabar lagi dan ingin segera merobek bagian kertas kado tersebut.
Binar menutup bingkisan dengan tangan kirinya, "Jangan sampai merobeknya, Dayu! Karena aku akan menyimpannya."
"Haaah." Dayu mengeluh dan langsung menyandarkan tubuhnya. "Selalu saja begitu. Sepertinya kamu akan menjadi kolektor bungkus kado," gerutunya tampak kesal.
Binar kembali tersenyum, "Karena cuma kamu saja yang beberapa tahun belakangan ini memberikan aku kado.
"Nggak, aku nggak sedih dengarnya," jawab Dayu yang matanya semakin berkaca-kaca.
"Dayu, ini serius buat aku? Cantik sekali," ucap Binar sesaat setelah membuka kotak dari beludru berwarna merah. "Tunggu, dulu! Ini-ini kan sama dengan punya kamu."
"Benaaar! Biar kita selalu kompakan. Walaupun sering bertengkar juga. Ha ha ha ha ha."
"Tapi ini kan barang mahal, Dayu."
"Tauk'ah. Sini, aku pasangin!" Dayu memasangkan anting-anting di telinga Binar yang sudah lama tidak dihiasi oleh perhiasan apa pun.
Binar memegang telinganya yang sudah terpatri perhiasan indah yang bertahta mata intan ukuran besar, di tengah-tengahnya.
"Kamu minta sama mama ya?" terka Binar sambil menatap penuh curiga.
"Huh, enak aja. Ini ya, aku nabung. Makanya baru kecapaian sekarang. Berapa ya?" Dayu meletakkan ujung jari telunjuknya di bibir dan mulai berpikir. "Kalau nggak salah, hampir empat tahun."
"Apa?"
"Iya. Sejak kita duduk di kelas enam Sekolah Dasar."
"Dayu ... ." Mata Binar mulai basah. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa.
"Pak, berhenti sebentar!" pinta Dayu pada sopirnya.
"Kenapa? Kita kan hampir sampai."
"Emh, Binar. Aku akan pindah keluar negri bersama papa dan juga mama. Papa ditugasi buat jadi Duta Negara, di Cina." Dayu tampak tidak kuasa menahan kesedihannya.
"Emh, e ... begitu ya?" Binar menunduk demi menyembunyikan air mata. "Tapi, kita akan tetap berteman kan?"
Dayu menganggukkan kepala, "Emh, tentu saja."
"Oke." Binar memaksakan senyumnya. "Lalu, kapan kamu akan berangkat?"
"Sore ini juga."
"Apa?" Binar terkejut dan air matanya jatuh begitu saja. "Kenapa buru-buru sekali?" tanyanya dengan senyum palsu, namun kedua mata safir itu, terlanjur basah.
"Binar, dengar!" Dayu menarik air hidungnya dan memegang tangan Binar. Kemudian ia menatap sahabatnya tersebut dalam-dalam. "Jaga diri kamu baik-baik! Jangan biarin Bintang nyakitin kamu lagi!"
"Dayu ... ."
"Aku pasti balik lagi kok. Tunggu saja sampai aku berani pulang sendiri ke Indonesia." Dayu pura-pura sombong dan kuat di hadapan Binar.
"Aku janji, akan ingat kamu sepanjang umurku."
"Harus dong! Aku juga begitu." Dayu menghapus air matanya. "Sekarang, ayo kita tersenyum! Oh iya, jangan lepaskan antingan ini ya! Kecuali kamu butuh banget dan hanya untuk menggadaikannya!"
"Mana mungkin. Ada-ada saja."
"Ha ha ha ha ha."
Dayu dan Binar sama-sama pura-pura tertawa dan bahagia di dalam mobil. Tak lama, keduanya saling menatap dan menumpahkan air mata sejadi-jadinya.
Bulir-bulir air bening itu, berhasil membasahi sebagian wajah dan seragam biru yang mereka kenakan. Lalu Binar dan Dayu kembali mendekap erat, tanpa mampu berkata apa-apa lagi.
***
Setibanya di halaman rumah yang cukup besar. Terdengar suara lemparan kaca yang kuat hingga membuat Binar berlari ke dalam dengan sangat cepat.
"Pokonya saya tidak mau tahu, kita harus berpisah! Saya sudah tidak kuat lagi dengan kepalsuan ini."
"Mas, ini semua tidak seperti yang kamu bayangkan," jawab mamanya Binar sambil terus bersimpuh di hadapan suaminya.
"Sekarang, kamu ingin saya mengatakan kebenaran ini di depan kedua putrimu itu atau kita berpisah? Saya sudah muak hidup berdampingan dengan seorang penghianat."
"Ma, Pa, ada apa ini?"
"Diam kamu! Jangan ikut campur!" bentak sang papa tanpa sengaja.
Binar menangis sekali lagi, “Aku tahu di rumah ini sebagai siapa. Tapi, bisakah Papa dan Mama memberi sedikit waktu saja, agar aku bisa bernapas dengan tenang? Atau tersenyum, tanpa air mata?”
Sadar dengan penderitaan putrinya, "Maafkan Papa, Sayang. Papa nggak sengaja bentak kamu. Papa nggak kuat lagi, Binar. Sekarang, kamu berkemas dan ikut Papa ya!? Biar Bintang yang bersama mamamu karena dia adalah anak tertua di rumah ini!"
"Bintang nggak mau, Pa!" pekik Bintang dari arah kamarnya, lalu ia berlari ke arah papa.
"Bintang, selama ini, kamu sudah selalu bersama papa. Kamu tenang aja, setiap bulan papa akan mengirimkan uang lebih dari cukup untukmu dan juga mamamu."
"Papa tidak akan menghilangkan tanggung jawab itu sedikit pun, dari kalian semuanya. Hanya saja, Papa sudah tidak kuat lagi."
"Bereskan semua pakaianmu, Binar! Papa tunggu di dalam mobil," pinta papa sekali lagi, dengan nada suara yang lebih rendah.
"Tapi, Pa?"
"Dan kamu," tunjuk papa kepada mama. "Saya tunggu kamu di pengadilan."
"Nggak, Mas. Saya mohon, jangan!" Namun papa berlalu begitu saja bersama amarahnya.
"Tidak! Aku nggak mau tinggal sama Mama. Mama itu tidak punya apa-apa dan sangat menyedihkan. Mau Mama kasih makan apa aku setiap harinya? Aku ingin punya mobil sendiri saat beranjak dewasa nanti," bentak Bintang terus menghujat, hingga mama semakin tampak lemah tidak berdaya.
Mama meratap penuh iba. Begitu juga dengan Bintang yang terus menangis tersedu-sedu karena tidak terima atas keputusan papanya.
"Mama ... ," ucap Binar yang tidak mampu lagi menggerakkan tubuhnya yang sudah terlanjur bergetar hebat, di depan pintu masuk yang terbuka lebar.
Saat ini, air mata Binar terus menetes seperti rinai hujan dari langit yang langsung jatuh ke tanah dan membasahi bumi.
Tanpa orangtuanya sadari, anak sekecil itu harus berkubang dengan luka dan air mata sepanjang waktu.
Bersambung.
Halo pembaca semuanya. Jangan lupa tab love sebelum lanjut ke halaman selanjutnya dan follow Tinta Emas, makasih.