Semerbak rindu menguasai udara panas sore ini, senja pun ikut berdebar melihat gaya manja Binar saat menghadapi perang dan cinta yang Ben berikan untuknya.
Apalagi ketika laki-laki gagah tersebut, memangsa kemolekan miliknya yang indah. Binar terlena, hanyut dalam sentuhan yang menggoda.
Siapa sangka, ia jatuh ke dalam pelukan laki-laki yang sempurna namun milik orang lain. Parahnya lagi, ia hanya menjadi tumbal yang manis dan penurut.
Di dalam sangkar emas, Binar bertahan hidup. Siapa sangka benih-benih asmara, mulai tertanam dan menancap sempurna di dalam hati kedua insan yang dipermainkan dengan kejam. Seakan tidak bisa lagi lepas, meskipun dipaksakan.
Ibarat laut dan pantai. Tidak akan pernah menjadi tempat yang indah, jika keduanya tidak lagi bersama. Atau mungkin itu pertanda bahwa kehidupan di bumi ini akan berakhir dan hancur.
Bagi Binar, seberapa pun jauhnya ia pergi nanti, hatinya akan tetap untuk laki-laki yang kini bersamanya. Ben tidak hanya sempurna secara fisik, tetapi juga jiwa.
Saat ini, perasaan Binar sudah terlanjur terpasung pada kayu terkuat yang bernama Ben. Sementara bagi Ben, Binar adalah sumber kehidupan yang mulia dan sangat ia inginkan.
"Binar, sudah lama sekali kita tidak menjenguk papa dan juga mama. Besok adalah hari libur, bagaimana kalau kita ke sana sejenak untuk menghibur hati mereka?"
"Baiklah, Ben. Tapi tolong, jangan meninggalkanku sendirian! Rasanya masih asing dan aku tidak tahu harus melakukan apa."
"Aku mengerti karena selama ini aku juga melakukan kesalahan besar. Karena tidak sering mengajakmu bertemu dengan kedua orangtuaku. Tapi percayalah! Mereka begitu menyayangimu, Binar." Ben meyakinkan hati Binar sambil memeluknya di balkon rumah, sesaat setelah membersihkan diri mereka.
"Aku janji, satu malam saja kita di sana karena aku juga tidak ingin kamu tertekan. Sebelumnya, aku ingin meminta maaf jika mama akan bawel nantinya!"
"Aku mengerti, Ben."
"Yakin? Sebab dari awal pernikahan, kamu tidak bersedia untuk memenuhi keinginanku ini. Seolah berada di sisi mama dan papa, kamu seperti tengah berdiri di sisi pohon kaktus yang dipenuhi oleh duri tajam."
"Sembarangan! Mana mungkin seperti itu, Ben? Hanya saja, aku takut salah langkah dan membuat mama tidak menyukaiku."
"Dengar, Sayang! Kalau beliau sudah mengizinkanku untuk menikahimu, itu berarti semua restu sudah beliau limpahkan kepada kita berdua."
"Berhentilah berpikir yang tidak-tidak, Binar! Sebab, beberapa hari ini aku melihat kamu penuh dengan kebingungan. Bahkan kamu tidak mengizinkanku untuk melihat mata safir milikku itu, lebih dari tiga menit."
Binar semakin menyadari bahwa Ben begitu memperhatikan setiap gerak-gerik tubuh, bahkan lirikan matanya.
"Aku akan memperbaiki diri, Ben. Terima kasih untuk semua caramu dalam menerimaku."
"Kamu yang terbaik, Binar, ucap Ben sambil memeluk Binar dari belakang. Kemudian, ia menempelkan dagunya pada pundak kanan Binar yang berada di hadapannya.
Setelah percakapan singkat tersebut, Ben dan Binar menikmati waktu menjelang matahari terbenam dari balkon rumah mereka.
Walau tanpa kudapan ataupun minuman yang menyegarkan, keduanya tetap terlihat bahagia dalam senyum yang merekah.
Sebenarnya, Binar sangat ingin menyiapkan cemilan yang terbaik untuk Ben. Tapi menurut laki-laki tersebut, yang lebih ia butuhkan saat ini adalah kehadiran dan kehangatan dari dekapan perempuan yang sangat ia cintai.
Semakin hari, perasaan Binar terhadap Ben semakin dalam. Setiap kalimat yang keluar dari bibir laki-laki tersebut, seperti pupuk terbaik yang mampu menyuburkan bunga-bunga cinta di dalam hatinya.
Sedangkan bagi seorang Ben, perubahan sikap Binar yang sesuai dengan keinginannya adalah anugerah terbesar di dunia dan ia begitu menikmati setiap detik kebersamaan mereka. Meskipun, ia tidak dapat menyentuh Binar dengan bebas.
"Sayang, ingin makan sesuatu yang manis dan lembut?" tanya Ben tepat di telinga kanan Binar.
"Terdengar lezat," sahut Binar dalam senyum. "Mau ... ."
"Kalau begitu, tunggu sebentar ya?!"
"Baiklah."
Ben turun dan segera bergerak ke arah toko yang tidak terlalu jauh dari rumah. Kali ini, ia tidak menawarkan kebersamaan dengan Binar. Mungkin karena ingin istrinya bersantai, sebelum tiba di rumah orangtuanya.
Ketika Ben sudah meninggalkan kamar, Binar langsung merapikan pakaian yang Ben kenakan tadi pagi.
Tanpa sengaja, ia melihat secarik kertas yang tampak disembunyikan oleh Ben darinya. Dengan cepat, Binar membuka lembarannya dan mulai membaca.
Benar saja, apa yang dikatakan Bintang terjadi. Yaitu Ben akan merasa curiga dan pasti mencari tahu, dengan cara seperti ini karena ia adalah laki-laki yang peka.
Sebelumnya, ketika pertama kali menapakkan kaki di rumah ini, Binar sudah meletakkan helaian rambutnya pada kotak perhiasan milik Bintang (jepit rambut kesayangan Bintang).
Sebab, Bintang tahu bahwa bisa saja Ben akan melakukan tes DNA kepada Binar. Untuk itu, Bintang mempersiapkan segalanya dengan matang.
Selain itu, Binar bukanlah orang yang suka mengambil barang milik orang lain, sehingga Bintang tidak ragu untuk memberikan kode lemari penyimpanan perhiasan kepada saudara kembarnya tersebut.
'Bintang, ternyata kamu menyadari kebaikan suamimu. Lalu apa lagi yang kurang?' Binar kembali menyimpan kertas hasil tes DNA dan pura-pura tidak pernah melihatnya.
Ternyata rambut yang berada di jepit tersebut adalah milik Binar yang asli. Jadi wajar saja jika hasil tes DNA tadi pagi, 100% sama.
Mendengar suara langkah kaki Ben, Binar langsung memasukkan empat setel pakaian milik Bintang ke dalam tas berwarna hitam. Melihat istrinya sudah mempersiapkan diri, Ben tersenyum lega.
"Ini untukmu, Binar!" Ben memberikan es cream untuk Binar dan mereka menikmati setiap potongannya bersama.
Terkadang, Ben lebih memilih sisa coklat pada sisi bibir Binar, daripada coklat yang menempel pada tangkai es tersebut.
Aksi Ben itu, menambah panjang daftar aksi romantis diantara keduanya hari ini.
Hingga tiba-tiba saja, Ben malah merasa malas berpergian dan lebih ingin menikmati waktu bersama Binar dalam sentuhan kecil yang menyenangkan.
"Ben, apa yang kamu lakukan?" Binar menatap Ben yang selalu merebut es ketika sudah berada di dalam gigitan Binar.
"Menikmati sesuatu yang spesial."
"Kamu mengambil jatahku, Ben," protes Binar pura-pura kesal.
Padahal, ia juga begitu menyukai setiap sensasi yang tercipta dari gerakan kecil bibir Ben ketika melumat dan menghisap. Itu sangat memukau.
"Itu bagian ternikmatnya, Sayang."
"Bibir kamu bergerak sangat lincah, seperti komandan semut yang hebat."
"Itu belum seberapa, Sayang. Mau yang lebih?" tanya Ben terdengar sangat ingin menikmati bibir Binar yang ranum.
"Ben ... eeem!" gumam Binar saat bibirnya tersumpal penuh dengan lidah dan bibir bagian bawah milik Ben yang terasa hangat.
Setelah beberapa menit, Binar tidak lagi berceloteh dan keduanya menikmati kecupan nakal yang penuh kehangatan.
Bukan hanya itu saja, bahkan keduanya berganti saliva dan terus mengatur napas yang sudah terengah-engah.
"Ben." Binar mendorong dadda Ben agar menjauh. "Katanya ingin ke rumah mama?"
"Besok saja, Binar," elak Ben sambil tersenyum.
"Memangnya kenapa?"
"Tidak apa-apa. Hanya ingin berdua denganmu saja."
"Gombal."
"Ha ha ha ha ha. Mana mungkin aku melakukannya." Ben mengangkat tubuhnya. "Heeemh, sepertinya kamu melupakan sesuatu."
"Apa?" tanya Binar penasaran.
"Emh, tidak!"
"Ben, jangan mulai lagi!" pinta Binar sambil menatap penuh harap.
"Tidak apa," jawab Ben dengan bibir tersenyum, tapi tidak dengan matanya. "Sebentar ya! Ke kamar mandi dulu."
"Iya," jawab Binar dalam senyum, tapi ia sadar, ada yang tidak beres pada Ben.
Binar berdiri dan menarik laci lemari yang berisikan surat-surat pribadi milik Bintang dan juga Ben. Saat itu, ia mengambil buku nikah milik Ben dan mengetahui bahwa hari ini, Ben berulang tahun.
'Untung belum terlambat.' Binar bergegas ke dapur dan membuatkan sesuatu untuk Ben.
Tak lama, Ben menyusul Binar dengan mata yang memerah. Sepertinya Ben baru saja membuang rasa kecewanya sekali lagi, ketika di dalam kamar mandi tadi.
"Ben, sudah selesai?"
"Iya."
"Duduklah dan nikmati makan malamnya. Ini spesial buat kamu, nasi goreng hati ala chef Binar," ucap Binar ceria.
"Nasi goreng hati?" tanya Ben karena sama sekali tidak melihat potongan hati di dalam piringnya.
"Aku memasukkan segenap perasaanku di dalamnya, Ben," kata Binar dan itu berhasil membuat Ben tenang. "Maaf karena tidak bisa kamu andalkan. Selamat ulang tahun, Ben." Binar mendekati Ben dan mengalungkan tangan pada leher Ben, lalu memeluknya erat.
"Binar ... ." gumam Ben terdengar parau.
"Maaf ... tidak ada kado ataupun lilin. Aku terlalu egois untuk mengecup dan memelukmu lebih dulu. Tapi, aku memang mencintaimu, Ben. Maaf untuk semuanya," pinta Binar sekali lagi.
Ben menyambut pelukan Binar dengan senyuman yang hangat. Bagi Ben, kata-kata Binar itu jauh lebih berharga daripada seluruh kado termahal dan terindah di atas dunia ini.
"Aku juga sangat mencintaimu, Binar." Keduanya memuaskan diri untuk saling memeluk erat.
Setelah itu, Binar dan Ben menghabiskan makan malam mereka dengan lahap.
Keduanya tampak berusaha saling membahagiakan dan tidak memperdulikan hal-hal yang tidak penting serta mengganggu.
Sembari menebar tawa, Binar memikirkan sesuatu yang berharga. Sebab, ia begitu ingin memberikan sebuah kado yang manis bagi Ben untuk yang pertama dan mungkin terakhir kalinya.
Sekitar pukul 22.00 WIB, Ben memilih duduk di kursi ruang keluarga. Sedangkan Binar, ia masuk ke dalam kamar dan memberanikan diri, mengenakan lingeriee milik Bintang yang tampak menempel sempurna di tubuhnya.
Dengan memikirkan rencana yang tepat dan perlahan, Binar menuruni anak tangga. Ia yakin, dapat memberikan kesenangan bagi Ben, tanpa merugikan dirinya sendiri.
Ketika Binar sudah berada di hadapan Ben dalam jarak yang cukup jauh, Ben terdiam dengan mata yang terbuka lebar.
Ia melihat, Binar berjalan dalam kecantikan. Seperti malam yang tidak berawan dan penuh bintang. Segala kebaikan dari gelap dan terang terpancar indah pada sosok dan sinar mata yang berkilauan.
Seakan semua menyeruakkan kasih sayang penuh kedamaian dalam kecerahan hari yang sungguh tak mampu terbantahkan.
Ben pun langsung bergelora dan ingin menikmati masa-masa indah dalam cinta dan romantika.
"Ben ... aku... ." Binar tampak malu-malu, apalagi ketika kedua mata Ben menyorot tajam pada tubuhnya yang sintal.
"Binar." Ben tersenyum dan berharap lebih.
Binar melangkah dan terus mendekat. "Sayangnya, kita sudah janji dan itu tidak boleh diingkari! Anggap saja, ini awal yang tepat untuk melakukan sebuah hubungan yang lebih hebat."
Ben sedikit kecewa, tapi ia tetap berusaha untuk menghargai pendapat serta keinginan Binar. Ia pun memutuskan untuk menepati janjinya kepada Binar.
"Aku sangat merindukan kamu, Binar," ucap Ben terdengar syahdu. "Tidak tahu lagi harus berkata apa?"
Cup.
Binar mengecup bibir Ben dengan penuh perasaan. Seketika, tungku hati keduanya langsung menyala.
Apalagi Binar tampak agresif malam ini. Berbeda dari sebelumnya yang malu dan kaku.
Sadar dengan kemajuan Binar, Ben tidak ingin merusak segalanya dan memilih untuk mengikuti gerak tubuh serta permainan dari istrinya.
Setelah puas mengadu bibir, Binar mengangkat baju kaos yang Ben kenakan dan langsung memberikan sengatan cinta, mulai dari leher hingga susunan perut Ben yang tersusun rapi.
Semakin Binar menatap ke bawah, ia melihat kabel-kabel ukuran kecil, berjejer rapi mengarah kepada saklar yang sesungguhnya.
Ben dalam posisi berdiri dan Binar terus menuruni tubuh atletis milik Ben. Hingga jari-jari lentik itu, menurunkan busana bawah Ben dan melumat nuklir milik laki-laki tersebut, yang sudah siap untuk meluncur.
Erangan pertama dari bibir Ben, terdengar menyiksa di telinga Binar. Ini adalah pertama kalinya bagi Binar melakukannya, tapi tampaknya semua berjalan dengan lancar.
Bukan hanya Binar, untuk Ben, ini adalah pengalaman terbaiknya. Padahal sejak awal pernikahan, ia begitu menginginkannya. Namun baru mendapatkannya malam ini.
Binar menikmati bagian yang paling sensitif dari tubuh kokoh Ben tersebut. Gerakannya sangat berenergi, sehingga mampu memuaskan Ben dalam sentuhan yang semakin menghanyutkan.
Saat ini, Ben memanggil nama Binar berkali-kali, sembari mengatur napas yang kian berantakan. Setelah lebih dari 10 menit, Ben mengeluarkan jauhar miliknya di dalam mulut Binar.
Saat itu, Binar hampir muntah. Tapi ia menahannya demi menghargai Ben. Lalu dengan cepat ia menuju ke westafel untuk membuang jauhar milik Ben yang memenuhi mulutnya.
Setelah puas membersihkan mulutnya dan meneguk dua gelas air mineral, Binar kembali ke sisi Ben dan memeluknya dalam senyum.
"Sayang, terima kasih," ucap Ben semakin lembut seraya memeluk Binar di atas sofa berukuran besar dan keduanya memilih untuk terlelap di sana malam ini.
Bersambung.