Hari Pertama Bersama

2159 Kata
Setelah menghabiskan air matanya, Binar menegakkan tubuh untuk melakukan sesuatu yang berharga. Bayangan sikap Ben yang hangat dan manis, ketika memegang kedua telapak kakinya, mulai menghantui dan menghasilkan getaran yang indah di relung hati seorang Binar. Perasaan Binar mulai goyah, rasa simpatinya pun bertambah. Ia tidak tahu harus berbuat apa saat ini, kecuali diam dan menghabiskan waktu tanpa tersentuh selama 14 hari. Tetapi, bagian lain dari jiwanya menolak untuk diam. Sambil memikirkan jalan keluar untuk menahan hasrat Ben terhadapnya dan memecahkan masalah ini seorang diri, Binar bergerak lamban menuju dapur untuk memasak demi melupakan risau hatinya. Ben pun terus memperhatikan gerak gerik Binar yang ia ketahui tengah sakit, namun memaksakan diri untuk bergerak dan bekerja. Sejak dulu, Binar merasa seakan dirinya berada di kursi penumpang dalam mengarungi hidup. Akankah ia mencoba untuk mengambil alih kemudi? Meskipun tidak tahu bagaimana caranya. Kebiasaannya yang selalu mengalah dan berpikir bahwa kebahagiaan Bintang sama dengan kebahagiannya, sudah membuat perempuan berparas jelita ini terbiasa dengan luka. Namun, bagaimana jika ia melihat hati lain yang begitu tulus mencintai, malah tersakiti (Ben)? Binar sepertinya akan berpikir keras kali ini. "Binar, apa yang sedang kamu lakukan? Kita pesan saja!" "Aku ... ." Ben merapikan bagian depan rambut Binar dan menyelipkannya di belakang telinga. "Sejak sebelum menikah, bukankah aku sudah berjanji kalau aku tidak akan menjadi beban untukmu? Kalau kamu sakit, jangan memaksakan diri untuk memasak!" Binar terus menatap mata Ben yang berkilauan dan teduh baginya. "Sama seperti kamu, aku juga ingin memberikan yang terbaik," jawab Binar dan kata-kata itu, berhasil mengobati hati Ben yang telah terluka akibat sikap dan perkataan kasar dari istrinya (Bintang), selama lebih dari satu bulan lamanya. "Binar ... ," gumam Ben, lalu ia memeluk tubuh mungil istrinya yang memang terasa lemah. Padahal, Binar bukan lemas karena sakit. Tetapi karena terjebak di dalam permainan Bintang dan larut dalam sikap lembut Ben. Sekarang, bagaimana caranya untuk pergi? Binar tidak ingin kehilangan pelukan sehangat ini, tetapi tidak mungkin merebut Ben dari darah dan dagingnya sendiri. Ben melepaskan dekapannya, lalu ia memegang kedua pipi Binar dengan tangannya yang hangat dan beraroma parfum eksklusif. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan saja? Bukankah kamu sangat menyukainya, Sayang?" tanya Ben sambil terus menatap dan tersenyum. "Jalan-jalan?" "Iya. Ayolah! Tapi kali ini, please! Izinkan aku untuk ikut?! Habiskan saja semua uang di dalam tabungan kita! Asalkan kamu bersedia mengajakku!" 'Ya Tuhan, Bintang. Apa yang sudah kamu lakukan?' Tanya Binar di dalam hati dan tiba-tiba saja hidungnya terasa perih serta menimbulkan kolam kecil di dalam kelopak matanya yang besar. Ben memperhatikan hal tersebut, "Sayang, ada apa? Sejak semalam, kamu rajin sekali menangis. Apa ada sikapku yang salah?" Ben memaksakan senyumnya dan menunduk. "Padahal aku sudah berusaha keras untuk melakukan yang terbaik," sesalnya sambil menghela napas panjang. Binar memegang kedua tangan Ben dan menariknya dari pipi. Ben pun langsung menatap kedua mata safir milik istrinya yang indah untuk memahami arti dari ekspresi wajah Binar. "Aku tidak ingin jalan-jalan, Ben." Ben terlihat kaget karena selama ini istrinya tidak pernah menolak untuk diajak shopping. Tapi mungkin Binar tidak ingin karena Ben ingin ikut bersamanya. "Kalau tidak ingin pergi denganku, bagaimana kalau bersama temanmu yang lainnya?" tanya Ben sekali lagi, demi mendapatkan senyum dari istrinya. "Eeemh. Bagaimana kalau kita menikmati waktu dengan melakukan hal-hal kecil yang menyenangkan? Di rumah saja! Aku lebih suka di sini, bersamamu." 'Apa? Ini tidak pernah terjadi sebelumnya.' Kata Ben tanpa suara. Tetapi ia sangat bahagia mendengar perkataan dari bibir Binar, hingga menepis pertanyaan kecil di dalam hatinya. Ben tersenyum lebar dan tampak bahagia. Ia berjanji akan melakukan apa pun demi kebahagiaan wanita yang berada di hadapannya saat ini. "Baiklah, kalau begitu apa?" tanya Ben mulai terlihat bersemangat. "Bagaimana dengan tenda kecil di sudut taman samping rumah dan sedikit sentuhan ikan bakar, ayam bakar, udang bakar dan ... ." "Wow, itu terdengar amazing," sahut Ben yang merasa kembali muda dan hidupnya bahagia. "Kita ke supermarket terdekat, oke?" "Pasar tradisional saja! Di sana, harga bahan makanan lebih rendah dan kualitasnya sangat baik karena lebih segar. Apalagi ikan, di sana ikannya masih hidup dan insangnya berwarna merah cerah." Ben memperhatikan gaya bicara dan pemikiran Binar yang sangat bertolak belakang dengan tabiatnya selama ini. Sebenarnya Ben bingung terhadap perubahan sikap Binar. Tetapi, ia juga terlalu bahagia sehingga kembali melupakan pikiran aneh dari dalam jiwanya. "Baiklah, kita ke pasar tradisional." "Iya. Aku ganti pakaian dulu." "Ya." Binar pun melangkah dengan cepat menaiki anak tangga dan Ben merasa bahwa istrinya saat ini, telah pulih dari sakitnya. Setibanya di pasar tradisional, Ben melihat bagaimana Binar beradaptasi dengan para pedagang. Ia pun mulai menawar barang dagangan, tanpa merugikan pedagangnya. "Murah ya di sini," kata Ben yang terus saja memegang tangan Binar, ketika mereka melanjutkan langkah ke pedagang lainnya. "Iya, tentu saja. Tapi, barang-barangnya tetap bagus kan?" "Kamu benar. Aku nggak nyangka, ternyata istriku pandai menawar. Pantas saja, hatiku takluk dan tawar pada perempuan lain." "Gombal," sahut Binar sambil menarik ujung hidung Ben yang mancung. Ben sangat bahagia dan merasa lebih dekat dengan istrinya. Yang lebih menggembirakan lagi adalah ketika ia merasa, Binar telah berubah dan menjadi seperti yang ia harapkan selama ini. "Ikannya Gurame ya? Aku suka itu!" Ben mulai mengutarakan pendapatnya dan Binar pun setuju. "Baiklah. Kita pilih yang ukuran sedang saja, supaya dagingnya manis." "Oh, begitu ya?" gumam Ben yang terus memperhatikan Binar memilih ikan yang sesuai dengan seleranya. 'Dia tidak jijik? Padahal selama bersama, aku tidak pernah melihatnya memasak. Apalagi memegang bahan makanan mentah yang amis seperti ini.' Ben terus bertanya di dalam hatinya. "Udangnya sekalian, Bu. Yang sedang aja!" pinta Binar kepada pedagang. "Berapa semuanya?" "Seratus enam puluh dua ribu, Mbak." "Seratus enam puluh aja ya, Bu?" "Ya sudah, boleh." "Terima kasih." "Terima kasih juga sudah dilarisi, Mbak." Kemudian Binar berniat untuk meninggal pedagang dengan senyum yang tampak manis bagi Ben. "Oh iya," sambung pedagang kembali. "Ada apa, Bu?" Binar menuju ke posisinya yang semula. "Mbaknya cantik banget," timpal pedagang memuji. "Apa, Bu?" "Itu mata asli atau palsu?" "Ha ha ha ha ha. Bagaimana mungkin bisa palsu, Bu?" tanya Binar dalam tawa. "Ini asli warisan dari mamaku." "Oh iya. Maaf, Mbak. Soalnya, sudah hampir setengah abad saya berdagang, tapi baru kali ini melihat mata secantik itu." "Berarti Ben beruntung dong, Bu? Soalnya aku bisa menikmatinya sepanjang waktu." "Bener, Mas. Jangan disia-siain ya! Duh ... nggak kebayang gimana tampan dan cantiknya anak Mas dan Mbaknya nanti," ujarnya yang menyiratkan bahwa ia juga memuji ketampanan Ben. "Serasi sekali." "Terima kasih ya, Bu. Do'ain supaya kita langgeng dan jodoh dunia akhirat!?" pinta Ben dan ia tampak bersungguh-sungguh. Saat itu, Binar menatap Ben dengan tatapan takjub. "Sudah?" tanya Ben kembali. "Belum." Binar memalingkan wajahnya, tapi Ben sudah terlanjur tahu jika Binar terus memperhatikan dirinya sejak tadi. "Sayurnya mau apa, Ben?" "Yang cocok apa?" "Emh, iya." Binar langsung membeli sayuran segar seperti selada, timur, kemangi, dan kol. Kemudian beberapa buah sayuran hijau lainnya. "Semua ini bagus untuk kamu, Ben." "Benarkah?" "Iya." "Kalau begitu, aku akan menghabiskan semuanya." Binar sangat menghargai cara Ben dalam menyambut setiap ucapan yang keluar dari bibirnya. Ia pun sangat merasa berarti di hadapan laki-laki sempurna seperti Ben. Setibanya di rumah, Ben dan Binar membersihkan semua bahan makanan bersama-sama. Tidak ada orang lain yang membantu, padahal biasanya semua ini dilakukan oleh orang yang diupah harian oleh Ben. "Ini amis," ujar Ben ketika mengelupas kulit udang dan membuang benang hitam di punggungnya. "Ha ha ha ha ha. Tapi rasanya enak, bukan?" jawab Binar bersama matanya yang terlihat lebih bercahaya daripada sebelumnya. "Iya, Binar." Ben menatap Binar dalam-dalam. Saat ini, ia merasa jatuh cinta kembali pada perempuan yang sudah memporak-porandakan hatinya lebih dari satu bulan. "Kenapa melihatku seperti itu?" "Kamu memang sangat cantik. Tidak perduli pakaian seperti apa pun yang kamu kenakan," puji Ben karena Binar memang hanya mengenakan atasan kaos dan celana jeans seadanya. Apalagi Binar memang tidak memiliki pakaian lain karena ia hanya membawa tiga pasang busana dan berniat untuk bertamu sebentar saja ke kota ini. Sedang asik saling menatap, Ponsel Ben berbunyi lantang dan ia segera mengangkatnya. Rupanya Ben harus kembali ke kantor saat ini juga dan Binar mengizinkannya. "Aku akan pulang lebih awal. Lagipula, ini hanya meeting." "Baiklah. Sana! Bersihkan dirimu, Ben!" pinta Binar bersama senyum. Ben juga ikut tersenyum dan ia merasa bahwa atmosfer di rumahnya ini sangat berbeda sejak kemarin malam. Hangat dan manis, itulah rasanya menurut Ben Cashel. *** Sore harinya, Ben pulang ke rumah dan langsung memberikan kecupan di dahi Binar. Kemudian, tanpa membuka kemeja yang tampak ketat karena otot-ototnya, Ben mendirikan tenda, seperti yang Binar minta sebelumnya. "Siap!" "Wah, ini luar biasa," puji Binar yang mengintip dari sisi pintu. Ben memegang kedua bagian pinggangnya. "Tidak, belum. Sedikit sentuhan lagi, maka semuanya akan sempurna. Tunggulah di dalam!" pinta Ben sambil mendorong punggung Binar dengan lembut. Ben menghiasi taman di samping rumahnya dengan lampu warna-warni berukuran kecil dalam jumlah yang banyak. Hingga mengubah tampilan taman biasa menjadi model taman mini yang indah. 'Semoga semua ini bisa semakin menambah jumlah senyum Binar.' Ben kembali ke dalam rumah untuk membersihkan diri. Saat itu, Binar berada di dalam kamar dan tengah mengganti pakaian. Gerakan Binar saat ini cukup lambat karena berpikir mengenai jumlah pakaiannya yang hanya tinggal satu setel saja. Sementara yang lain belum kering dan Binar sama sekali tidak kepikiran untuk mengenakan pakaian milik Bintang karena takut akan amarah saudara kembarnya tersebut. Baru saja menurunkan handuk dari tubuh, Ben masuk ke dalam kamar dan Binar langsung terkejut bukan kepalang. Ekspresinya itu memperlihatkan tentang seorang perawan yang kedatangan seorang tamu laki-laki asing dan berhasil membuatnya terperangah dengan kedua mata terbuka lebar. "Kamu baik-baik saja, Binar?" tanya Ben cemas karena melihat wajah Binar merah padam akibat menahan rasa malu. "Ben, aku ... ." Rindu dan sudah cukup lama tidak menyentuh Binar. Ben memutuskan untuk mendekati istrinya dan menikmati tubuh indah milik Binar dengan pandangannya. Binar yang masih kaku dan canggung, menahan kedua bagian buah dadanya dengan tangan. Lalu ia mengempit kedua paha untuk menutupi areal V miliknya. Ben menatap Binar dengan mata penuh cinta. Sementara Binar menatap Ben dengan kebingungan dan perasaan yang bergejolak. "Kenapa kamu terlihat malu-malu seperti itu, Binar? Bukankah aku sudah biasa melihatnya?" tanya Ben yang begitu suka pada ekspresi wajah itu. 'Ini adalah raut wajah impianku. Di mana ada rona merah di pipi dan tatapan yang sesekali teralihkan karena tidak sanggup menahan getaran di dalam jiwa.' Kata Ben seraya menikmati ekspresi wajah Binar dan ia jadi sangat menginginkan istrinya. Ben mendorong lembut tubuh molek Binar ke arah tempat tidur dan memberikannya kecupan ringan di dahi dan pipi, lalu mencengkram bibir Binar dengan rakusnya. Desis Binar terdengar tipis, tapi sangat menusuk di dalam sanubari Ben, hingga mengusik jiwa dan alat tempur laki-laki bertubuh Hercules tersebut. Seketika, Ben bergetar dan ia menjadi begitu gelisah. Dengan lahap, ia menikmati bibir Binar yang ranum dan terus menyanggupi sapuan bibir Ben yang hangat. Tidak ada penolakan ataupun perintah untuk berhenti maupun keinginan untuk langsung memainkan senjatanya pada tubuh Binar, seperti yang selama ini terjadi. Menurut Ben, Binar mulai bisa menerima dan menikmati cara Ben bermain cinta. Inilah tahapan yang menyenangkan dan sangat ia impikan sejak awal pernikahan. Ben yang sudah puas menikmati bibir Binar, menurunkan bibirnya pada leher dan dadaa istrinya tersebut. Rasanya kali ini ia lebih bergetar dan berhasrat untuk memberikan permainan super panas bagi Binar. Apalagi ketika ia melihat cara Binar menikmati setiap sentuhan dari bibirnya yang basah. Semua itu membuat Ben benar-benar bahagia dan merasa saat ini adalah momen terbaik dan sempurna sepanjang pernikahannya. 'Tidak. Bagaimana ini? Aku tidak boleh membiarkan Ben melakukannya! Semua pasti terbongkar dan nyawa mama serta papa berada di dalam bahaya.' Tak lama, terdengar suara azan berkumandang dan Binar mengambil kesempatan itu untuk lepas dari cengkraman Ben yang sudah mendidih. "Ben!" panggil Binar dengan suara yang basah dan manja. Ben mengangkat wajahnya yang sudah hampir menyentuh bulu-bulu halus pada mahkota Binar yang terlihat sangat menggoda. Binar pun langsung menarik lengan Ben yang dipenuhi dengan otot besar yang manis. "Magrib, Ben! Azan," kata Binar sekali lagi untuk menghentikan petualangan Ben yang hampir mencapai ujungnya. "Sayang ... please!" rengek Ben yang matanya sudah menyipit dan tampak sangat ingin. "Magrib! Mana boleh melakukannya," bujuk Binar lagi sembari tersenyum. "Kemarilah!" pintanya, lalu Binar menarik selimut di atas tempat tidur dan memeluk Ben hingga detak jantung keduanya kembali tenang. Setelah sama-sama terkendali, "Bersihkan dirimu, Ben! Aku tunggu di bawah ya!" "Binar?" Ben tampak tidak ingin lepas dari dekapan Binar yang terasa hangat. "Jangan membuat asap keluar dari telingaku!" ancam Binar sambil pura-pura menatap tajam. "Kejam ... ." Ben membenamkan wajahnya pada buah d**a Binar. "Ha ha ha ha ha, bagaimana mungkin laki-laki bertubuh dewa seperti ini, bisa manja dan merengek?" goda Binar dan itu berhasil memecah keinginan Ben. "Olok saja terus!" "Mandi ya? Lalu bantu aku untuk menyiapkan makan malam! Kita makan di dekat tenda saja. Setuju?" "Baiklah," jawabnya terdengar sangat terpaksa. Saat ini, Ben tidak ingin Binar marah kepadanya. Sehingga ia memutuskan untuk menuruti semua keinginan istrinya. Lagipula, masih ada banyak waktu dan Ben yakin malam ini ia akan mendapatkan Binar bersama seluruh kehangatannya. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN