Jatuh Cinta

1343 Kata
Jalinan tangan Ben erat memeluk perut Binar. Ia memang laki-laki yang suka menyentuh istrinya dengan lembut. Kasih sayang Ben seperti embun pagi yang sejuk dan menenangkan. Hal itu membuat Binar tergugah untuk jatuh cinta. Degup jantung memompa sempurna. Mata safir yang tampak asli dengan kilauan alami itu pun semakin membulat dalam ukuran besar. Binar memang tidak pernah merasakan jatuh cinta sepanjang hidupnya. Sebab, ia terlalu sibuk dengan segudang pekerjaan demi menyambung hidup, sekaligus mengurus sang mama. Saat ini, Binar berdiri kaku seperti patung dan Ben menyadari hal tersebut. "Maaf, jika kamu tidak nyaman." Ben menarik kedua tangannya yang kekar dan mulai berbicara dengan nada kecewa. "Maaf, Ben. Saya hanya sedang lapar," jawab Binar masih menatap dinding dapur berwarna putih. Ia tidak tahu harus mengatakan apa karena takut dosa dan jatuh cinta. Ben terasa begitu sempurna dan hangat baginya. "Hah, apa yang aku pikirkan?" Ben menyesal karena sempat berpikir bahwa Binar tidak suka sentuhan darinya. "Maaf, Binar, aku benar-benar kacau dan selalu merasa kamu tidak nyaman serta membenciku. Padahal aku tidak tahu alasannya." Binar merasa iba, ia membalik tubuh dan kembali menatap Ben yang sudah menundukkan wajahnya. "Jangan murung! Kita mau makan, bukan? Seharusnya kamu membantuku untuk meletakkan nasinya ke atas meja. Aku janji, besok akan masak yang enak dan bergizi." Ben mengangkat wajahnya dengan hati yang kian pulih. Tetapi ketika mata Ben menyoroti wajah Binar, jantung perempuan itu kembali ingin copot dan ia segera menghadap ke kompor. "Ini sudah selsai, ayo makan!" "Iya, baiklah." Ben dan Binar menikmati makan malam yang sederhana, namun terasa membahagiakan bagi Ben. Bahkan, bibir Ben terus tertarik kedua arah dan matanya penuh binar cinta. Tuhan, terima kasih untuk rasa bahagia ini. Aku sangat merindukan istriku yang bersedia berdekatan dengan raga ini. Kata Ben sambil menikmati makan malam yang terasa haru. "Besok, aku akan menemanimu untuk berbelanja." "Apa? Bukannya kamu harus ke kantor?" "Tidak. Aku ambil cuti saja. Aku rasa, kita butuh waktu untuk bersama dan memulihkan segalanya." Ben memegang tangan kanan Binar. "Binar, jika saya melakukan kesalahan ataupun kebodohan, tolong katakan dan jangan tinggalkan saya dengan alsan apa pun!" "Kamu?" "Saya sangat mencintai kamu, Binar." Debar-debar jantung itu kembali menyala. Apalagi disaat Ben menyebut namanya dengan lembut dan jelas. Tuhan, cobaan apalagi ini? Aku merasa hampir gila dan hilang akal. Kenapa semua ini harus terjadi kepadaku? Tanya Binar di dalam hatinya. "Malam ini ... ." Ben tampak ingin melakukan hubungan yang romantis bersama Binar. Menyadari hal tersebut, Binar segera menepisnya. "Ben, perutku terasa sakit sejak tadi sore. Aku ingin istirahat lebih awal malam ini, boleh?" Wajah Ben kembali murung. Ia tampak memperhatikan Binar dan sadar akan tolakan halus dari istrinya tersebut. "Padahal sudah minum obat," sambung Binar yang paham akan kekecewaan Ben. "Maukah kamu menggosok bagian yang sakit ini, hingga aku terlelap dan melupakan perihnya?" "Tentu saja. Aku akan mengurusmu, Binar. Dan terus memelukmu hingga pagi." Binar menarik kedua sisi bibirnya dan menatap sendu. "Terima kasih, Ben. Kamu baik sekali." "Tentu saja. Ini adalah kewajibanku sebagai seorang suami." Binar mulai terpana dan takjub dengan sikap serta sifat Ben yang bertanggung jawab, dan hangat. Ia kembali berpikir tentang kesalahan antara Bintang dan juga Ben. Saat ini ia pun yakin bahwa Ben adalah korban dari keegoisan seorang Bintang. Setelah siap dengan makan malam seadanya, Ben bergerak cepat untuk membersihkan meja makan agar Binar bisa lebih banyak beristirahat. Ben, maaf karena aku harus membohongimu dan mengikuti permainan Bintang. Kata Binar tanpa suara sambil memperhatikan Ben mencuci piring makan mereka. Merasa tidak enak hati, Binar terlebih dahulu masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuhnya. Malam ini adalah pertama kalinya ia tidur seranjang dengan pria asing. Gelisah dan ragu, tapi di sisi lain Binar percaya bahwa Ben tidak akan memperlakukan dirinya seperti seorang p*****r. "Minumlah susunya! Mumpung masih hangat," kata Ben sambil mendekati Binar yang sudah berada di atas tempat tidur. "Makasih, Ben." "Kamu tidak mengganti pakaian?" tanya Ben karena biasanya Binar sudah mengenakan lingerie tipis ketika memasuki waktu malam. "Apa boleh pakaian ini saja?" tanya Binar yang mengenakan daster tertutup dan panjang (Di bawah lutut). Ben tersenyum, "Tidak apa asalkan kamu nyaman." Ben meletakkan kembali gelas s**u di atas meja, tidak jauh dari sisi tempat tidur mereka, setelah diminum habis oleh Binar. "Kemari dan tidurlah!" ucap Ben lembut sambil menarik tangan Binar yang tampak canggung, ketika berada di sisinya. Lalu Ben meletakkan kepala Binar tepat di dadanya. Sementara tangan kiri Ben, mengusap perut Binar seperti janjinya. Setelah lima menit, "Nyaman sekali, Ben. Terima kasih," kata Binar dan matanya berkaca-kaca. Saat ini Binar sedang berpikir, bagaimana dan di mana ia bisa mencari dan mendapatkan suami seperti Ben yang begitu penyayang serta hangat? Bintang selalu saja beruntung, sementara dirinya seperti tidak berharga. Binar memejamkan kedua mata sambil menenggelamkan air matanya. Ia berharap, Tuhan bisa lebih berpihak dan adil kepadanya suatu saat nanti. Sekitar memasuki tengah malam, Ben menatap Binar dan memastikan istrinya tersebut apakah sudah benar-benar terlelap atau belum. Laki-laki berwajah raja itu menundukkan wajahnya dan mengintip Binar. Lalu ia memberi kecupan hangat pada dahi istrinya yang terlihat sudah nyenyak. Saat bibir Ben meninggalkan dahi Binar, perempuan itu membuka kedua matanya. Ia semakin tenggelam di dalam perasaannya sendiri. Tuhan, bagaimana ini? Aku bisa jatuh cinta kepadanya? Ben, dia benar-benar laki-laki yang sempurna. Puji Binar tanpa suara. Pagi harinya, Ben sudah bangun lebih dulu daripada Binar. Ia membeli bubur ayam spesial untuk istrinya dan membawakan hingga ke atas tempat tidur. "Ben?" "Selamat siang, Binar. Nyenyak tidur malam ini?" "Sangat nyenyak. Maaf, aku kesiangan ... ." Binar bangun dan bergegas untuk turun. Namun pada saat yang bersamaan, Ben menahan telapak kaki Binar dengan kedua tangannya, dan mengangkatnya kembali ke atas tempat tidur. "Tetaplah di sana dan biarkan aku yang melayanimu saat ini." "Ben?" Binar terharu dan ia tidak mempu menggambarkannya dengan kata-kata. "Ini adalah tujuan dari pernikahan kita, Binar. Bukan hanya kamu saja yang harus melayaniku. Tetapi aku juga harus mampu mengurusmu ketika sedang sakit, seperti saat sekarang ini. Adil, bukan?" "Ben ... ." Binar semakin meleleh hatinya dan ia sudah kagum pada sosok suami saudara kembarnya itu. Setelah Binar kembali duduk di atas tempat tidur, Ben mengambilkan air hangat yang dimasukkan ke dalam baskom untuk membersihkan wajah Binar. "Setelah sarapan dan minum obat, kamu baru boleh bangun dan membersihkan diri! Jangan melakukan pekerjaan berat dan banyaklah beristirahat!" pinta Ben penuh perhatian. Berhentilah bersikap seperti ini, Ben! Aku bisa jatuh cinta kepadamu. Binar mulai memohon dalam diam. "Mau aku suapin?" "Tidak. Aku bisa melakukannya sendiri," tolak Binar yang sudah tidak enak hati. "Apa kamu bosan kepadaku? Padahal kita ini pengantin baru, tetapi aku merasa kalau kamu selalu menjauh. Apa kurangnya aku?" tanya Ben dalam tatapan kelabu. "Tidak, bukan begitu. Aku cuma merasa malu. Ini terkesan sangat manja, Ben." Ben mendekati Binar dengan wajah yang cerah, "Kamu adalah istriku, kamu berhak atas diriku. Bukan hanya tubuhku, cinta dan kasih sayang dariku, tetapi juga hatiku, jiwaku, nyawaku. Pahamilah itu, Binar!" "Ben, maafkan aku!" pinta Binar yang sangat merasa bersalah. Ia ingin jujur, tapi tidak mungkin. "Apa pun kesalahanmu, kamu yang berada di hadapanku saat ini, sudah aku maafkan. Kamu adalah wanita dari Tuhan. Kamu memang tercipta untukku yang mengharapkan cinta sejati." Ben mencium dahi Binar, lalu ia meninggalkan istrinya untuk berpikir sejenak. Sebab, ia merasa bahwa beberapa waktu terakhir, sering sekali menjalani hubungan dengan pertengkaran. Ia tidak menyebutkan nama Binar ketika mengatakan semua kalimat yang indah tersebut. Hal itu membuat Binar terdiam sembari berpikir keras. 'Apa pun kesalahanmu, kamu yang berada di hadapanku saat ini, sudah aku maafkan. Kamu adalah wanita dari Tuhan. Kamu memang tercipta untukku yang mengharapkan cinta sejati.' "Benarkah?" tanya Binar sambil menangis dan menggenggam alas kasur di bawahnya. "Ya Allah... tolonglah ... ." Binar menangis sejadi-jadinya dan Ben mengintip dari luar. Laki-laki bertubuh tegap itu terlihat bingung dengan ekspresi dan reaksi istrinya. Ia ingin sekali masuk ke dalam sana, untuk menghapus air mata Binar dan bertanya. Ada apa? Kenapa kamu menangis? Lalu ia sangat ingin menenangkan cintanya itu. Tapi, Ben tidak melakukannya agar Binar bisa puas menuntaskan air matanya. Bersambung. Novel ini akan aku lanjutkan paling lambat bulan depan ya para pembaca tercinta. Jangan lupa tab love dan follow aku, makasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN