Aroma bebakaran dari bahan basah yang tadi siang Binar dan Ben beli di pasar tradisional, sudah memenuhi pekarangan samping yang hanya dibatasi dengan kaca ukuran besar.
Ketika Binar memanggang udang, Ben langsung memeluk pinggang wanita yang ia kira istrinya sambil mengecup pipi kanan Binar.
"Ternyata kamu memang jago memasak, Binar," puji Ben dalam rangkaian senyum puas. "Tambah sayang deh, apalagi kamu seharian ini bersedia menemaniku."
"Heeemh," jawab Binar tidak mampu menjawab dengan apa pun.
"Teruslah seperti ini, Binar! Ini adalah pernikahan impianku."
Binar menghentikan gerakan tangannya, "Ben ... ."
"Jangan lagi meninggalkan aku dengan alasan apa pun! Lupakan saja teman-teman sekolahmu itu, acara reunian yang tidak penting, atau jalan-jalan ke luar negeri tanpa aku! Kalau kamu mau melakukannya, itu tidak masalah. Yang penting, kamu mengajakku! Itu saja."
"Kamu sangat baik, Ben." Binar menyandarkan punggung dan bagian belakang kepalanya di d**a Ben yang kokoh.
Melihat istrinya manja, Ben memajukan wajah dan memberikan kecupan manis pada sudut bibir kanan Binar.
Sentuhan kecil yang terasa manis itu, membuat Binar terkejut. Spontan, ia menolehkan wajah kepada Ben dan laki-laki baik tersebut mendapatkan seluruh bagian bibir Binar yang sangat ia sukai.
Lumatan mesra Ben hadiahkan kepada perempuan yang sudah membuatnya tersenyum sepanjang hari. Penyesalannya atas pernikahan ini pun berakhir, sebab Ben merasa bahwa Binar sudah memahami dirinya.
Padahal istri yang sebenarnya sedang menikmati malam di dalam pelukan pria lain, dalam keadaan sadar dan dia tampak begitu menikmatinya.
'Maafin aku, Ben. Tidak ada maksud untuk mempermainkan dirimu sedikit pun. Aku hanya terdesak dan tidak tahu harus berbuat apa, kecuali mengikuti keinginan Bintang.'
Sedang bercengkrama dengan pikirannya sendiri, Binar mencium aroma tidak sedap dari alat pemanggang yang disusun dengan kaki besi panjang berwarna merah.
Ternyata tiga tusuk udang yang sudah dibumbui dan diletakkan pada perapian yang hanya tinggal arangnya saja, gosong berat. Saat itu, alih-alih membantu Binar.
Ben malah tertawa keras dan itu membuat Binar sedikit kecewa.
"Ya ampun, Ben. Gosong ... ." Binar tampak kewalahan karena ia begitu sayang dengan udang yang dibeli dengan harga mahal tersebut. "Sayang banget ... ." Sambungnya penuh sesal.
Bukan tanpa alasan, selama ini Binar sangat sulit untuk dapat menikmati udang dalam bentuk olahan apa pun.
Padahal, ia sangat menyukai hidangan laut yang satu ini. Tapi, daripada membeli udang satu kilo gram, lebih baik ia membeli beras.
Kedua alis dan mata Binar tampak sedih, begitu juga dengan mimik wajahnya. Ia seperti sudah melakukan kesalahan besar dan merasa kecewa pada diri sendiri.
Ben memperhatikan raut wajah Binar tersebut. Ia tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya. Bagaimana mungkin, Binar begitu terlihat perduli dan merasa bersalah, hanya karena tiga tusuk udang berisikan enam ekor yang gosong.
Setelah lima menit, Ben tersenyum simpul. Lalu ia mengambil udang gosong yang berada di tangan kanan Binar karena istrinya tersebut masih terdiam. Lalu ia memasukkannya ke dalam mulut satu demi satu.
"Ben?" Binar menatap Ben yang tampak lahap saat menyantap sate udang yang sudah bisa dipastikan kalau rasanya pahit dan tidak enak di lidah.
"Enak!" Ben terus mengunyah, tanpa perduli akan rasanya.
"Ben ... ." Mata Binar semakin berkaca-kaca.
Ia bertanya di dalam hati, kapan Tuhan akan memberikannya seorang suami seperti Ben. Apakah semua penderitaannya selama ini masih belum cukup.
"Apa pun dari tanganmu, pasti enak Binar." Ben melanjutkan makannya pada tusukan kedua.
Kemudian Binar menghabiskan satu tusuk lainnya dan pura-pura tersenyum. "Iya, ini enak."
"Ha ha ha ha ha. Ayo lanjutkan masaknya!"
"Kali ini, jangan menggangguku, Ben!" Binar mendorong d**a Ben yang sama sekali tidak bergeser sedikit pun, sembari menghapus air mata dan menggigit bibir bawah miliknya.
"Tidak bisa."
"Apa?"
"Ha ha ha ha ha. Lebih baik makan yang gosong lagi, daripada harus berhenti mengganggumu."
"Dasar usil."
Tanpa Binar sadari, mereka melakukan banyak perbincangan kecil yang tidak penting. Tetapi semua itu, berhasil menyembuhkan luka hati keduanya yang sama-sama memiliki perasaan yang putih.
Sekitar pukul 21.00 WIB, Binar selesai menyiapkan makan malam yang terlambat. Tetapi laki-laki itu tampaknya sama sekali tidak menyesal ataupun mengeluh.
Malah ia sering terkekeh kecil, ketika melihat Binar mengernyitkan dahi gara-gara godaan dari bibir Ben yang nakal.
"Ben, berhenti mengganggu dan menertawakan setiap gerak-gerik dariku! Cepat kemari dan habiskan semuanya!" perintah Binar dan kali ini terdengar seperti seorang atasan yang tengah memaksakan keinginannya terhadap bawahan.
Laki-laki bertubuh Hercules, namun berhati Hello Kitty tersebut semakin terkekeh dan sama sekali tidak merasa kesal dengan sikap Binar barusan. Sebab, ia tahu bahwa apa yang Binar pinta adalah sesuatu yang baik untuk dirinya.
Sebuah meja kecil di rapikan dengan berbagai alat makan dan lauk pauk serta nasi. Tak lupa, Binar menuangkan jus jeruk yang sudah ia peras sejak tadi.
"Selamat makan, Ben!"
"Selamat makan, Binar."
Suapan pertama, sudah mampu membuat Ben merasakan sensasi nikmat dari aneka makanan yang berasal dari air tersebut.
Apalagi bumbu yang Binar oleskan, meresap sempurna hingga ke bagian daging ikan dan sisa udang yang masih bisa diselamatkan.
Posisi terbalik kali ini. Binar tampak terkekeh, ketika menikmati makan malam yang istimewa karena Ben terus saja menjilati setiap ujung jari dan juga sisa bumbu pada tusukan yang terbuat dari lidi.
Sesekali keduanya saling bertukar suapan dan menggoda dengan menarik ulur tangan mereka hingga menciptakan tawa dan wajah buruk. Tetapi semua itu semakin mampu membuat satu dengan yang lainnya tertawa bahagia.
Saat ini, Ben merasa hidupnya benar-benar sempurna dan rasa cintanya terhadap Binar bertambah besar. Sepertinya, ia tidak mungkin lagi dapat hidup tanpa perempuan yang ada di hadapannya tersebut.
Sementara bagi Binar, meskipun singkat yaitu hanya 14 hari saja. Tetapi pertemuannya dengan Ben merupakan sesuatu yang terbaik di sepanjang hidupnya.
Setelah menikmati makan malam kurang lebih selama 45 menit, Ben membantu Binar untuk membersihkan seluruh alat makan dan menata kembali meja di dalam rumah.
Sambil sesekali melirik ke arah Binar, Ben tersenyum simpul. Rupanya, ia sedang memperhatikan tubuh istrinya yang begitu mempesona.
Padahal Binar hanya mengenakan pakaian biasa dan sama sekali tidak terbuka, apalagi menggoda.
Malam ini, apa mungkin aku dan Binar akan bisa melakukan hubungan romantis kembali? Aneh, padahal aku dan dia adalah sepasang suami istri. Tapi kenapa begitu sulit untuk menyentuhnya lebih, selama dua malam terakhir ini? Tanya Ben di dalam hati, sembari terus memperhatikan setiap sisi dari tubuh Binar.
"Sayang, malam ini apa kita jadi tidur di luar? Maksudku di dalam tenda?"
"Tentu saja," jawab Binar tenang. "Bukankah kamu sudah mempersiapkan segalanya dengan sempurna, Ben?" tanyanya yang sebenarnya ingin langsung terlelap setelah masuk ke dalam ruangan yang cukup sempit tersebut, agar Ben tidak dapat melanjutkan aksi nakalnya tadi sore.
Di sisi lain, Ben mengulum senyumnya dan terus membayangkan apa yang akan terjadi di dalam tenda mungil tersebut. Setidaknya, tubuh keduanya pasti berhimpitan untuk mendapatkan tempat istirahat yang cukup.
Sejak dulu, Ben memang memiliki imajinasi liar yang di melebihi batas. Hanya saja, ia seperti tidak memiliki lawan yang sejalan.
Ditambah lagi, Binar yang sebelumnya lebih suka bercinta langsung dan mengenai sasaran, tanpa melakukan pemanasan yang menyenangkan.
Dua cara berpikir ini membuat hubungan keduanya tidak bertemu dan terjalin sempurna. Meski demikian, Ben tetap berusaha untuk menjadi suami yang baik dan memahami keinginan Binar yang sebenarnya terkesan egois.
"Sejak kemarin, aku tidak melihatmu mengenakan high heel sekali pun. Padahal sebelumnya, kamu menggunakan sepatu jenis itu, meskipun berada di dalam rumah."
Binar terdiam dan mulai berpikir tentang alasan apa yang tepat untuk diberikan kepada Ben, agar ia tidak curiga terhadap sosok lain yang sebenarnya bukan istri sahnya tersebut.
Binar menghela napas panjang, lalu ia menatap dalam-dalam. Matanya tampak fokus dan ia begitu tenang sebelum memulai perkataannya.
"Bukankah aku tidak memerlukannya, hanya untuk tampil cantik di hadapanmu, Ben?" tanya Binar sambil menyorot tajam dan itu membuat Ben tersenyum lebar karena sebenarnya ia juga menyukai Binar yang apa adanya.
Lagipula, selama mengenakan high heel, istrinya tampak lebih suka duduk di atas sofa sembari menikmati apa saja, tanpa bergerak.
Mulai dari acara televisi atau hanya sekedar duduk tanpa melakukan aktivitas fisik, seperti saat sekarang ini.
"Jujur, sebenarnya saya suka kamu yang seperti ini. Kamu terlihat lebih cekatan dan ceria. Bahkan kamu seperti sosok baru yang menyukai setiap detik, ketika menapaki langkah di atas lantai rumah ini," beber Ben tampak bersyukur.
"Benarkah?" Binar merasa lega karena tampaknya Ben tidak akan curiga hanya karena hal seperti ini.
Ben Kembali mendekati Binar dan menatapnya penuh cinta. "Ini adalah rumahmu, Sayang. Apa pun yang terjadi, nyamanlah ketika kamu berada di dalamnya!" pinta Ben sambil tersenyum dan semua itu kembali membuat Binar terkesima.
"Terima kasih, Ben."
"Sejak dulu, kamu sudah cantik dan memesona, Binar. Jadi, meskipun kamu tidak mengenakan alas kaki, ataupun make up tebal, kamu tetaplah bidadariku yang sebenarnya."
'Aku harus apa, Tuhan. Seandainya dia benar-benar suamiku, pasti aku akan segera mendekapnya hingga pagi.'
Binar mulai kacau dan hatinya semakin tidak terkendali. Apalagi sikap Ben, diluar ekspektasi Binar. Awalnya ia mengira bahwa suami Bintang tersebut adalah laki-laki yang kejam, tapi ternyata kebalikannya.
Malah, setiap sentuhan dan ucapan dari Ben, seperti embun di pagi hari. Selain itu, Ben seperti pria sempurna yang hanya ada di dalam film atau n****+ romansa yang dikemas manis, dari awal hingga akhir.
Binar sangat tidak menyangka, bahwa ia dapat hidup bersama laki-laki seperti Ben. Hanya dengan begini saja, ia sudah merasa bersyukur.
"Oke, hampir pukul 22.00 WIB. Apalagi yang kamu inginkan, Binar?" tanya Ben yang ingin menuruti semua keinginan istrinya, sebelum menyiksa kulit Binar dengan lidah, saat di dalam tenda yang sudah ia persiapkan.
"Aku ingin menonton acara bioskop televisi. Boleh?" tanya Binar yang terus berusaha mengulur waktu.
"Baiklah, setuju," jawab Ben penuh kasih sayang.
Maaf, Ben. Aku harus melakukannya. Semua demi kebaikanmu dan kebaikanku. Jika hal itu terjadi, bagaimana hidup kita nantinya? Tanya Binar sambil bergerak ke arah ruang keluarga.
Selama menonton, Ben sering melakukan kenakalan kecil terhadap Binar. Hanya ada satu cara untuk menghentikannya. Yaitu meletakkan kepala Ben pada kedua paha Binar, lalu memanjakannya dengan belaian ringan pada rambut berwarna hitam tersebut.
Semakin lama, jari-jari tangan gemulai milik Binar, semakin memberatkan kedua mata Ben. Tanpa ia sadari, sentuhan lembut tersebut, mampu membuatnya lupa akan semua keinginan.
Nyaman, hanya itu yang Ben rasakan, setelah begitu lelah menuntut perhatian dan kasih sayang dari istrinya selama ini.
Sesekali, mata bulat itu terpejam. Tetapi kembali terangkat karena Ben berusaha bertahan demi memainkan pinggulnya bersama Binar malam ini.
Binar yang sadar akan kelakuan Ben, hanya mengulum senyum. Sebab, suaminya tersebut tampak begitu manis dan lucu, seperti kelinci gempal yang menggemaskan.
Sekitar pukul 23.30 WIB, Ben yang harus kembali bekerja esok pagi, melirik ke arah televisi. Rupanya, film yang Binar tonton, belum tamat dan Ben tidak ingin mengusik kesenangan istrinya.
Setelah 30 menit, untuk pertama kalinya, Ben terlelap di pangkuan Binar. Binar pun merasa lega karena usahanya untuk menjaga diri sendiri dan Ben, kembali berhasil.
Sekitar pukul 02.00 WIB, Ben terbangun dan melihat Binar juga sudah terlelap serta menyandarkan punggungnya pada kursi sofa.
Tidak ingin membangunkan Binar, Ben menggendong perempuan tersebut ke dalam tenda dan memeluknya hingga pagi.
Keduanya menghabiskan waktu sesuai dengan rencana semula. Hanya saja, semua tidak terlaksana seperti keinginan Ben. Sebab, salah satu dari mereka, memang sengaja menghalangi diri untuk tersentuh.
Bersambung.