Cinta pertama adalah pengalaman paling indah bagi semua manusia. Walau terkadang, kita tidak tahu kapan datangnya.
Cinta memang penuh keindahan, berisikan tentang dunia baru yang memenuhi seluruh sisi-sisi kalbu, dihiasi dengan pelangi berwarna-warni, sehingga Binar dapat melupakan segala derita dari rahasia kehidupan yang tengah ia jalani.
Beban yang sebelumnya ia rasakan, semakin memudar dan berganti rasa simpati, berbalut kebahagiaan hati.
tanpa sadar, waktu berlalu dengan penuh senyum dan pelukan kebahagiaan. Hari ini adalah hari ke-9, Ben menepati janjinya kepada Binar.
Sejak tadi pagi, Ben mulai mempersiapkan diri untuk permainan panas esok malam yang sudah ia rancang sedemikian rupa, sehingga keduanya sama-sama bisa merasakan kesempurnaan percintaan.
Rasa rindu terus menyemangati hati Ben untuk membahagiakan Binar. Apalagi sentuhan hangat istrinya tersebut sudah seperti sweater hangat yang melindungi tubuhnya di kala dingin beberapa waktu terakhir ini.
Sejak hari ini, Ben mulai mengkonsumsi jus yang dapat membantu stamina dan vitalitasnya, demi membahagiakan Binar. Rencananya, besok malam, Ben ingin membuat Binar terus menjerit hingga pagi.
Sekitar pukul 14.00 WIB, "Sayang ... kangen kamu." Ben mengirimkan pesan kepada Binar. Tapi kali ini tidak direspon oleh Binar karena ia tengah sibuk menyiapkan makan malam yang spesial.
Selama beberapa malam ini, Binar selalu menyiapkan makan malam istimewa untuk Ben. Sebab, ia begitu bahagia ketika mendengar pujian tanpa henti dari bibir Ben Cashel.
'Tumben tidak ada jawaban.' Ben mulai menggerutu tanpa suara. Ia sangat tidak nyaman ketika Binar tidak segera merespon pertanyaan atau pun keluhan darinya.
Mungkin semua ini juga karena Binar selalu ada untuk Ben selama hampir dua minggu terakhir. Kasih sayang Binar pun semakin mengakar di relung hati Ben yang paling dalam.
Tiga puluh menit setelah mengirimkan pesan kerinduan, salah seorang manajer keuangan masuk ke dalam ruang kerja Ben Cashel.
"Maaf, Tuan. Apa Anda memiliki sedikit waktu untuk saya?" tanyanya santun.
"Tentu saja, silakan!" sambut Ben yang berusaha mengenyampingkan urusan pribadinya.
"Saya harus melaporkan hal ini karena sangat boros."
"Maksud Anda? Gelar saja! Tidak masalah." Ben memperhatikan laki-laki paruh baya yang merupakan orang kepercayaan keluarga Cashel tersebut.
"Selama empat hari terakhir ini, pengeluaran pada kartu kredit istri Anda membludak, Tuan. Ini seperti bom waktu yang siap menghancurkan Anda."
"Apa?" Wajah Ben menegang. "Bagaimana mungkin?" tanyanya yang mengetahui bahwa Binar tidak pernah keluar rumah, apalagi berbelanja berlebihan-lebihan beberapa waktu terakhir ini.
"Ini laporannya, silakan dan maaf jika saya melakukan kesalahan!"
Ben membaca lembar demi lembar bagian keuangan yang muncul akibat kartu kredit yang ia berikan kepada istrinya, diawal pernikahan mereka.
Ia berpikir sejenak. Mengulas dan mencerna kembali informasi serta fakta yang ia dapatkan. Satu hal yang mungkin terjadi, jika Binar tetap di rumah dan tidak pernah memiliki barang-batang baru. Yaitu kartu kreditnya hilang, tanpa ia sadari.
"Bekukan kartu kredit Binar, Pak! Saya rasa, ada yang tidak beres. Sebab, Binar tidak pernah shoping dan membeli barang-barang baru dengan harga yang fantastis seperti ini, beberapa hari belakangan."
"Baik, Tuan. Tapi, sebaiknya Anda tetap mencari tahu dan membicarakan semuanya dengan baik!" sarannya dan Ben menyetujui hal tersebut.
"Saya akan segera melakukannya," sahut Ben karena ia yakin ada yang salah dengan semua ini dan Binar bukanlah penyebabnya.
"Baik, kalau begitu saya pamit dan langsung melaksanakan perintah Anda, Tuan."
"Silakan!"
Sekitar pukul 16.30 WIB, Ben keluar dari ruangannya, hendak menuju ke arah lantai dua. Tetapi baru beberapa langkah, sang sekretaris menyapa dan dan mengatakan bahwa ia baru saja bertemu dengan Binar.
Sang sekretaris juga menambahkan bahwa istri dari Ben tersebut, sedang bersenang-senang dengan seseorang yang yang tidak ia kenali.
Awalnya, Ben hanya tersenyum simpul dan menganggap bahwa semua ucapan sekretarisnya tersebut adalah omong kosong.
Bukan tanpa alasan, perempuan itu sangat suka menggoda dan ingin memilikinya Ben. Namun selalu gagal karena ia bertahan pada pendiriannya untuk tetap setia terhadap cinta dan pernikahannya.
"Jika Anda tidak percaya, Anda bisa memeriksanya sendiri! Mereka berada di sebuah pusat perbelanjaan, tidak jauh dari kantor ini."
"Sepertinya sedang menikmati steak hangat yang lezat sambil berpegangan tangan." Sekretaris tersebut semakin memanaskan Hati Ben. "Permisi, Tuan," sambungnya, kemudian meninggalkan Ben dengan senyum mengejek dan liukan menggoda.
Ben mengambil ponsel dari dalam jasnya, lalu ia melihat bahwa Binar tidak juga membaca, apalagi membalas pesan yang sudah ia kirimkan sejak dua jam yang lalu.
Meskipun ia tidak ingin curiga, tetapi rasa cemburu sudah membakar hatinya. Sehingga ia memutuskan untuk mengikuti saran yang diberikan oleh sekretarisnya itu.
Dengan perasaan kesal dan menggebu-gebu, Ben bergerak cepat ke arah pusat perbelanjaan dan ia langsung menuju restoran satu-satunya yang menyajikan steak terenak di Mall tersebut.
Bersama langkah yang tergesa-gesa dan napas yang sudah berantakan, Ben memperhatikan seluruh bagian dari restoran tersebut. Namun ia tidak melihat sosok sang istri.
Awalnya Ben merasa lega, sekaligus marah kepada sekretaris yang baru saja memberikan informasi palsu kepada dirinya.
Sebab, gara-gara hal ini, Ben harus meninggalkan banyak pekerjaan di kantor. Ia pun merasa bodoh karena sudah percaya kepada perempuan yang jelas-jelas hanya ingin mengganggunya saja.
Tanpa ingin menikmati steak terenak tersebut, Ben memutar arah langkahnya. Namun pada saat yang bersamaan, ia mendengar suara tawa manja dan irama tersebut sangat familiar di telinganya.
Ben bergerak cepat mencari asal suara tersebut dan ketika di ujung ruangan, ia melihat dari samping bahwa istrinya tengah bergandengan mesra dengan seseorang yang memiliki perawakan seperti keturunan Arab.
Bibir Ben bergetar, matanya memerah. Ia seperti ingin melompat dari tangga eskalator yang bergerak turun gemulai tidak sesuai dengan keinginannya. Ben ingin segera sampai ke hadapan Binar dan mempertanyakan siapa laki-laki tersebut.
Tidak punya pilihan, Ben berlari menuruni tangga tersebut sambil menabrak beberapa kali punggung dan lengan orang-orang yang berada di bawahnya.
Bentakan, hinaan, dan makian dari beberapa orang, terdengar jelas di telinga Ben. Tapi ia tidak peduli karena yang terpenting sekarang adalah menarik tangan Binar dan melihat kebenaran.
Ben sudah berusaha untuk mengejar, namun ia kalah cepat. Tetapi setelah mencari lebih jauh ke luar, ia melihat dengan jelas bahwa Binar berada di sebuah mobil dengan kaca yang terbuka lebar.
Saat itu, laki-laki asing yang tidak ia kenali sedang menikmati bibir istrinya dengan lumatan yang brutal.
Ben berlari secepat yang ia bisa. Ia terus mengejar mobil yang sudah melaju meninggalkan areal parkiran sambil meneriaki nama Binar berkali-kali.
Rasanya, jalanan yang ramai, ditambah suara klakson dari ratusan kendaraan pun, tidak lagi mampu ia dengar.
Ben berlari diluar kendali hingga tubuhnya terjatuh dan terseret di aspal panas dan berdebu.
"Binaaar!?" pekik Ben mengoyak jalanan. Tetapi Istrinya sama sekali tidak mendengarkannya.
"Anda tidak apa-apa?" Terdengar suara dari orang-orang disekitar Ben yang membantunya untuk berdiri.
Baju Ben sobek dan lengannya terluka. Tapi yang lebih sakit adalah hatinya, meskipun tidak berdarah.
Tanpa menjawab pertanyaan dari yang lainnya, Ben berdiri dan melangkah terseok. Ia benar-benar hancur dan sadar bahwa sikap manis Binar selama ini adalah tipu daya dan kebohongan besar.
Ben terus menyusuri jalanan kota dan tidak memiliki tujuan. Bayangan istrinya yang tengah berciuman mesra, terus saja terbayang di matanya.
Ben seperti mayat hidup yang hanya memandang lurus ke depan dan jauh. Ia merasa didustai, dihianati, dan dibodohi.
Malam menjelma, Ben masih mengayun langkah tanpa keinginan. Hingga ia memutuskan untuk menemukan minuman yang dapat memabukkan dirinya demi melupakan segalanya.
Laki-laki bertubuh kekar tersebut, memasuki klub malam dan melepas jas robek yang sejak tadi ia kenakan.
"Berikan saya banyak minuman yang memabukkan!" pintanya kepada Bartender yang sudah siap melayaninya.
"Silakan, Tuan!" katanya setelah lima menit menunggu. Tetapi, gelas pertama Ben gunakan untuk mengguyur luka di lengannya.
"Lagi! Buatkan yang banyak!"
"Baik, Tuan." Bartender bekerja ekstra cepat demi memenuhi keinginan tamunya.
Selama lebih dari 100 menit duduk dengan tujuh gelas minuman memabukkan, Ben belum juga dapat melupakan wajah Binar yang sedang b******u mesra dengan pria lain.
Ia pun ingin kembali menambah jumlah minumannya. Tetapi suara ponsel berdering berkali-kali hingga mengalihkan pikiran dan keinginannya.
Rupanya Binar membalas pesan singkat dari Ben siang tadi, dengan mengatakan bahwa ia sudah menyiapkan makanan spesial untuk laki-laki istimewa seperti Ben di rumah.
Saat itu, Binar menuliskan bahwa ia berharap Ben akan pulang lebih cepat malam ini agar bisa menikmati sate udang tanpa rasa gosong dan fillet gurami yang disiram dengan saus black paper yang menggiurkan.
"Kamu penipu yang ulung, Sayang!" ucap Ben sambil meneguk minuman terakhir di dalam gelasnya. "Kamu melarangku untuk menyentuhmu. Tapi kamu memadu kasih dengan pria lain." Ben benar-benar tampak tertampar dan terkoyak.
Ben memutuskan untuk pulang. Ia memanggil taksi dan ingin segera tiba untuk memberikan sedikit pelajaran kepada perempuan yang sudah menipu dirinya, berpura-pura baik, mencintai dirinya, serta setia menunggu di rumah.
Tanpa memperdulikan kendaraan pribadi miliknya, Ben terus menyusuri jalanan dengan perasaan kecewa dan api kemarahan yang terus menyala.
Setibanya di depan pos satpam, Ben turun dengan langkah sempoyongan. Jika dibilang tengah mabuk, Ben masih sadar dan bisa merasakan luka di dalam hatinya. Tapi dibilang sadar, ia sudah tidak mampu mengendalikan dirinya dengan baik.
Walau demikian, Ben tetaplah Ben dan ia masih mengetahui apa yang terjadi di hadapannya.
Tak lama, sapaan dari satpam terdengar dan Ben hanya mengangkat tangan kanannya sambil menggangguk.
'Apa yang terjadi?'
Satpam tersebut terdiam dan tidak lagi berani menyapa Ben. Ini adalah kali pertama ia melihat laki-laki yang selama ini tampak baik dan bijaksana, larut dalam minuman yang sejak dulu ini dianggap menjijikkan olehnya.
Setibanya di depan rumah, Ben mengetuk pintu dengan kasar. Tetapi Binar tetap bergerak cepat dengan memasang senyum terbaiknya untuk menyambutnya.
Binar yakin, seseorang di luar sana adalah Ben. Sebab, selama ini ia tidak pernah menerima tamu ataupun pria lain selain Ben dan satpam yang biasanya mengirimkan pesan terlebih dahulu kepadanya agar Binar tidak salah paham.
"Ben, kenapa lama sekali?" tanya Binar dalam senyum dan menatap Ben yang sudah berantakan. "Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Binar sambil memegang kedua pipi Ben yang terasa dingin.
"Dasar pembohong! Jangan menyentuhku!" Ben terdengar sangat marah, tapi Binar semakin menyentuhnya karena berpikir bahwa kedoknya sudah terbongkar malam ini.
"Ben!?"
"Jangan pura-pura baik di hadapanku! Dasar penipu, pembohong!" bentak Ben. "Pura-pura cinta, pura-pura sayang, kejam!" Ben mendorong tubuh Binar hingga ia terjatuh di teras rumah milik Ben.
Seketika, Binar ketakutan. Ia sadar sudah melakukan kesalahan yang besar saat ini. Ia pun berusaha untuk bangkit dan memohon pengampunan.
Binar memegang kedua kaki Ben dengan kedua tangannya yang sudah bergetar. Kemudian, ia mengucapkan kata maaf berkali-kali karena sudah menipu Ben dengan berpura-pura menjadi istrinya.
Sayangnya, Binar tidak tahu bahwa kemarahan Ben tersebut bukan karena masalah tukar posisi yang ia dan saudara kembarnya lakukan. Melainkan penghianatan dari cinta yang dalam.
"Pergi dari sini!" pekik Ben dalam bentak sambil melepaskan kakinya dari tangan Binar.
"Ben ... aku mohon ... ." Binar melipat kedua tangan di depan d**a sambil menundukkan wajahnya. "Aku sangat mencintaimu kamu, maafkan aku!"
"Dasar penipu, pembohooong!" teriak Ben sangat keras hingga menghabiskan suaranya. "Saat aku bekerja, kamu bersenang-senang dengan pria lain. Ketika malam tiba, kamu pura-pura menjelma menjadi ratu bulan yang baik hati."
"Puaskan saja hatimu! Berikan saja tubuhmu kepada anjiing jalanan itu!" Ben membanting pintu, tanpa perduli dengan ucapan Binar.
Lalu ia meninggalkan ruang tamu menuju ke dapur. Kemudian Ben menyandarkan tubuhnya persis seperti yang Binar asli lakukan, ketika membutuhkan dinding untuk bersandar.
Sejak awal pertengkaran, satpam yang bertugas terus mendengarkan amarah Ben dan ia adalah saksi bahwa Binar tidak pernah keluar rumah jika Ben sedang bekerja.
Satpam tersebut pun merasa ada yang janggal dan ia mengganggap bahwa Binar adalah wanita yang baik dan setia.
Sementara di luar rumah, tubuh Binar bergetar hebat. Ia tidak dapat merasakan apa pun. Malam yang indah di dalam khayalannya, berubah menjadi malapetaka. Cinta yang romantis di dalam pikirannya, bertukar menjadi kebencian.
Sadar akan kesalahannya yang besar. Binar meninggalkan kediaman Ben. Ia tidak tahu harus kemana, yang penting pergi saja.
"Nyonya?"
Binar mengangguk sambil memeluk dirinya sendiri. Ia menangis tanpa henti. Tak lama, langit pun ikut menangis mengiringi langkah kakinya yang terasa berat.
'Tuhan, aku hanya seorang manusia biasa yang dapat merasakan sakit. Selama ini, aku memang sudah terbiasa berteman dengan semua penderitaan dan hinaan. Tapi, kenapa kali ini terasa begitu berat? Bahkan untuk berdiri saja, aku tidak lagi mampu.'
Satpam kebingungan, ia ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat tapi khawatir jika berakhir dengan pemecatan.
'Mas, ini makan siang dulu! Seadanya ya.' Suara Binar terus terngiang di telinganya.
Merasa berhutang budi, sang satpam pun memutuskan untuk menemui Ben dengan mengatakan apa yang seharusnya ia katakan.
Laki-laki bertubuh kurus tinggi tersebut mengetuk pintu rumah berkali-kali. Ia yakin, Ben mendengarkannya hanya tidak ingin membukanya.
"Tuan, ini saya." Abdi terdiam sejenak. "Ada yang ingin saya sampaikan," sambungnya sambil memegang d**a.
Ia tahu, hanya akan ada dua kemungkinan saat ini. Yang pertama diterima dengan baik dan yang kedua dipukul hingga babak belur.
"Ada apa, Abdi?" tanya Ben dengan mata yang basah.
"Maaf, kalau saya ikut campur, Tuan. Tapi ada beberapa hal yang ingin saya utarakan. Mohon di dengarkan!" pintanya dengan kepala tertunduk.
"Hah, baiklah. Apa?" tanya Ben yang memang terkenal bijaksana.
"Yang pertama, mohon maaf karena sudah lancang ikut campur dalam urusan rumah tangga Anda, Tuan."
"Silakan!" Ben tidak ingin mendengar basa-basi.
"Selama saya bertugas di siang hari dalam minggu ini, saya tidak pernah melihat nyonya Binar keluar rumah. Bahkan untuk belanja saja, pesan sama si mbok dan mereka bertemu di depan pagar."
Ben mengangkat wajahnya dan menatap tajam ke arah satpam tersebut.
"Kemudian, nyonya Binar tidak pernah berhubungan dengan laki-laki mana pun. Biasanya, beliau menghabiskan waktu dengan berbelanja dan pulang diantar teman laki-laki. Tapi sekarang tidak pernah."
"Lalu?" tanya Ben yang masih tampak kesal.
"Seharian ini, nyonya tidak setapak pun meninggalkan pagar rumah ini, Tuan. Apa Anda yakin tidak salah melihat orang?"
"Kurang ajar kamu!"
"Maaf, Tuan. Tapi mohon ucapan saya ini dipertimbangkan. Saya mohooon sekali," pintanya lalu meninggalkan Ben sendiri di dalam kebingungan dan amarahnya yang besar.
Ben kembali membanting pintu rumahnya. Tapi kali ini, ucapan satpam tersebut mengusik sanubarinya. Apalagi Abdi terkenal jujur dan apa adanya. Namun ia juga tidak mungkin salah dengar dan salah melihat.
Bersambung.