Barbie hidup itu berjalan dengan menjinjitkan kedua kakinya yang putih dan mulus karena harus melewati beberapa lubang becek dan tampak kotor serta menjijikkan.
Hatinya bergetar ketika membayangkan, bagaimana kehidupan Binar saat ini. Padahal, dulu Binar termasuk orang yang memiliki hunian serta kondisi kehidupan yang layak.
Setibanya di depan sebuah kontrakan yang tampak sederhana, Dayu menarik napas panjang dan langsung mengetuk pintu kayu berwarna coklat yang tidak lagi terlihat apik.
Kali ini ia berharap, bahwa Binarlah yang akan membukakan pintu agar ia segera bisa memeluk sahabat terbaik di dalam hidupnya tersebut.
Pintu tua berbunyi keras dan harus diangkat agar terbuka. Sedangkan mata Dayu terus menatap ke dalam dan ketika Binar menengadahkan wajahnya, ia terdiam dan tertegun karena seperti melihat seorang bidadari.
Mata Dayu berkaca-kaca dan pusat perhatiannya tertuju pada telinga Binar yang ternyata masih menjaga pemberian darinya dengan sangat baik.
13 tahun adalah waktu yang sangat panjang untuk kedua sahabat ini berpisah dan wajar saja jika Binar tidak bisa mengenali Dayu yang 100% sudah berubah dan berbeda dari yang dulu.
Dayu menatap mata safir milik Binar dalam-dalam. Tiba-tiba saja, bibirnya bergetar dan saat itu Binar mengenali sosok perempuan cantik yang berada di hadapannya itu. Meskipun Dayu tidak mengatakan apa pun tentang identitasnya.
"Dayu," ucap Binar dengan tatapan penuh keyakinan sambil menatap mata Dayu yang berwarna hitam berkilauan.
Tinggi Dayu saat ini sekitar 175 cm, sehingga Binar harus mengangkat wajahnya cukup tinggi untuk menatap Dayu. Apalagi sahabatnya itu mengenakan high heels.
Tanpa menjawab, Dayu langsung memeluk Binar sangat erat dengan tubuh yang bergetar hebat. Kerinduannya memuncak bersama kebahagiaan karena dapat menemukan Binar.
"Dayu, ini kamu kan?" tanya Binar yang sama sekali tidak melihat ke arah telinga Dayu karena ia menggerai rambut dan menutupi kedua telinganya.
"Binar apa yang terjadi?" tanya Dayu sambil terus terisak.
"Kamu sudah pulang, Dayu?" tanya Binar yang tidak mampu menjawab pertanyaan Dayu dan mereka terus berpelukan.
"Kamu kenapa? Ponsel pun tidak pernah aktif. Aku khawatir, tapi tidak bisa pulang karena keadaan."
"Dayu, Allah memberikan aku cobaan hidup yang begitu berat." Binar menangis dengan tubuh yang gemetaran sama seperti Dayu. "Aku akan menceritakannya nanti. Sebaiknya kamu masuk dulu dan lihat mama!"
Dayu melepaskan pelukannya. "Baiklah," sahutnya sambil menghisap air hidung dan menghapus bulir-bulir air mata yang hampir membasahi sebagian wajahnya.
"Ayo masuk!" ajak Binar sambil menarik tangan Dayu. "Mama, coba lihat siapa yang datang," ucap Binar sambil tersenyum.
"Siapa? Wajahnya sangat asing bagi Mama. Apa dia bos di butik tempat kamu bekerja, Binar?"
Dayu duduk di tempat tidur sederhana dan memegang tangan mama. "Ini Dayu, Tante. Masih ingat kan?"
"Dayu? Oooh, kamu cantik sekali," puji mama Marta sambil tersenyum dan itu terdengar tulus bagi Dayu.
"Makasih, Tante."
Sedang asik mengobrol, terdengar suara gemuruh kecil dari perut Dayu. "Aku lupa makan," keluhnya manja sambil tersenyum malu.
"Ha ha ha ha ha, ayo makan dulu! Waktu SMA, aku sempat kerja di restoran Padang. Dari situ, aku belajar masak. Kamu mau coba?"
"Benget."
"Ayo!" ajak Binar sambil menarik tangan Dayu.
"Tante, Dayu makan dulu."
"Iya, yang kenyang ya!"
"Iya, Tante."
"Kamu biasa makan Sushi dan Udon. Semoga rasa ini masih bisa diterima sama lidah kamu."
"Kalau kamu yang masak, aku pasti suka."
"Ayo ambil nasinya! Aku temani."
"Emh." Dayu menganggukkan kepala.
Sembari menikmati makanan yang terasa lezat di lidahnya, Dayu berpikir bagaimana cara untuk mengatakan pada Binar bahwa ia bertemu dengan Bintang.
"Ada apa? Tidak enak ya?"
"Enak kok, Binar. Hanya saja ... ."
"Iya?"
"Apa yang terjadi?" Dayu meletakkan sendoknya yang sudah terisi nasi. "Aku bertemu Bintang dan dia mempunyai mata yang sama denganmu."
"Apa? Bintang?" tanya Binar dengan suara yang pelan. Saat itu, matanya langsung berkaca-kaca karena ia sangat merindukan nama itu. "Dia sama siapa? Apa papa?" Binar semakin penasaran.
Dayu menggeleng, "Temannya. Tapi kenapa?"
"Kenapa apanya?" Binar balik bertanya karena Dayu tampak kesal.
"Kenapa dia harus menggunakan identitas kamu, Binar? Temannya aja, manggil dia dengan nama Binar dan mata itu, itu warna matamu."
"Dayu dengar!" Binar mulai menceritakan segalanya. Mulai dari pertama kali perpisahan itu terjadi.
"Keterlaluan sekali Bintang."
"Suuut, kecilkan volume suaramu! Nanti mama dengar."
"Tante Marta tidak tahu? Ya ampun."
"Aku bilang sama mama, kalau aku yang mengatur segalanya dan meminta Bintang untuk pergi. Mama lebih membutuhkan aku daripada papa." Binar menunduk sambil menghela napas panjang.
Saat itu, tanpa Binar dan Dayu sadari, mama Marta mendengarkan perbincangan mereka hingga titik ini.
Mama Marta bergerak dengan kursi roda dan kembali ke atas tempat tidur agar Binar tidak menyadari bahwa rahasia itu sudah diketahui oleh mamanya.
Mama Marta meneteskan air mata dan terus bersyukur kepada Allah karena diberikan seorang putri seperti dewi.
"Binar, apa kamu yakin semuanya baik-baik saja?" tanya Dayu yang mengkhawatirkan sesuatu.
"Apa?"
"Dia sama sekali tidak berubah. Apa kamu yakin, kalau papa kamu dalam keadaan aman?"
"Dayu, itu keterlaluan."
"Dia itu sanggup melakukan apa pun demi mencapai tujuannya. Seharusnya, kamu tahu persis soal itu."
"Sampai detik ini, aku nggak pernah dengar suara papa. Beliau seperti hilang ditelan alam. Padahal dulu papa berjanji untuk membantu keuangan mama. Nyatanya, itu semua tidak terjadi."
"Jangan-jangan, papamu meminta Bintang yang mengirimkan uangnya." Dayu mulai berpikir buruk dan itu benar. "Soalnya, beliau mengira kalau Bintang itu jujur seperti kamu."
"Kalau soal itu ... aku nggak tahu."
"Kamu harus cari tahu! Aku akan membantumu. Binar, kamu pantas bahagia."
"Dayu, yang terpenting bagiku saat ini adalah mama dan kesehatannya. Aku sudah berusaha keras, tapi semuanya terlambat. Mama terlalu lama dibiarkan tanpa pengobatan," sesal Binar sambil menatap Dayu.
"Gini, aku bakalan bantu kamu diurusan mama. Tapi, kamu juga harus mau dengerin aku! Di Cina, ada pengobatannya. Kita akan pergi ke sana."
"Dayu ... ."
"Tapi sebelumnya, kamu harus mencari tahu tentang papamu. Jujur saja, saat melihat cara Bintang tadi pagi, aku sanksi kepadanya."
"Heeemh."
"Walau bagaimanapun, om Tomy itu papamu dan beliau sangat baik kepadaku. Kebaikan dan senyuman hangatnya itu, masih terbayang di mataku hingga detik ini."
"Apa yang kamu pikirkan Dayu?"
"Aku tidak tahu, hanya saja seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati."
"Baiklah. Kalau begitu, kita akan mencari tahu semuanya. Tapi kalau papa dalam kondisi baik, kita langsung pulang ya!? Kasihan mama. Lagipula, ada yang ingin aku sampaikan kepada papa."
"Oke, setuju. Pokoknya kalau kondisinya baik, kita langsung pulang dan membawa tante Marta untuk berobat. Jika perlu hingga ke negri Cina."
"Makasih ya, Dayu."
"Sama-sama."
"Kalau begitu, kita berangkat besok pagi dan aku mau ke sebelah dulu buat nitipin mama sama mbak Desi. Dia selalu bisa diandalkan."
"Oke."
Binar meninggalkan Dayu di rumahnya dan Dayu merasa lega karena Binar bersedia mendengarkan perkataannya.
Bintang harus diberi pelajaran! Dia sudah keterlaluan. Pantas saja Allah tidak memberikan aku saudara. Karena Beliau tahu bahwa aku tidak bisa sabar dan mengalah seperti Binar. Kata Dayu tanpa suara.
Entah apa yang aku pikiran? Yang jelas, kebengisan Bintang membuat aku berpikir buruk tentang dirinya. Semoga tidak terjadi sesuatu yang tidak-tidak, amin. Kata Dayu di dalam hatinya.
Bersambung.