Pertemuan dan Pencarian

1041 Kata
Pagi hari setelah matahari mulai muncul, Binar masih juga terlelap tanpa perduli jika Ben membutuhkannya sebelum berangkat ke kantor. Binar, kenapa? Tanya Ben di dalam hati. Sepertinya kenangan indah kita dulu, hanya bagaikan embun saja bagimu. Semua terasa sia-sia, padahal janji-janji itu sangat indah. Ben bangkit dari tempat tidur dengan perasaan kecewa. Selalu saja begitu, bahkan sejak awal mula (hari pertama pernikahan mereka). Tanpa sarapan, Ben berangkat ke kantor. Ia bingung pada situasi, namun tidak mungkin menceritakan semua ini pada papa ataupun mamanya. "Tuan, proyek baru akan segera diluncurkan minggu depan. Anda harus hadir bersama pasangan," kata Maria sambil tersenyum palsu. Maria selalu saja memamerkan lingkar dadanya yang bulat. Sebenarnya, sekertaris yang satu ini sangat penasaran dengan Ben. Sebab, selama ini tidak ada satu pun laki-laki yang sanggup menolak ajakannya untuk menghabiskan waktu dalam gairah. "Oke, tolong tinggalkan saya sekarang!" "Baik, Tuan." Maria meliukkan pinggulnya yang hanya ditutupi sedikit rok mini berwarna hitam. "Ya ampun, kenapa wanita itu harus dipertahankan?" tanya Ben sambil memasukkan tangannya pada kantung celana dan menatap ke arah jendela kaca pembatas dalam ukuran besar. "Hah." Sementara di dalam rumah, Binar mulai bersiap untuk acara pesta pora. Wanita yang satu ini memang diminta untuk tidak lagi bekerja oleh Ben. Semua karena Ben ingin Binar fokus pada keluarga mereka. Ben tidak ingin istrinya kelelahan. Toh ia memiliki harta benda lebih dari cukup. Namun sayang, Binar malah memperlakukan Ben dengan sangat buruk. "Beb, di mana?" Binar menelepon seseorang sambil mengenakan tas mahal miliknya yang berwarna hijau toska. "Aku jalan sekarang ya?" Lalu ia mematikan teleponnya. Binar bergerak cepat ke arah salah satu mal terbesar di kota besar tersebut. Rupanya ia berniat untuk menemui salah satu teman satu kantor, ketika ia masih bekerja dulu. Kali ini, Binar meminta saran dari temannya tersebut agar ia bisa bebas dari Ben beberapa saat dan menikmati waktu dengan pria lain yang sepertinya jauh lebih panas daripada suaminya. Sudah puas bercakap dan menikmati sarapan, Binar memutuskan untuk ke kamar mandi. Ketika di perjalanan menuju kamar mandi, "Auh," keluh Binar saat lengan kanannya ditabrak oleh seseorang bertubuh lebih tinggi daripada dirinya. "Punya mata nggak sih?" Binar mengernyitkan dahi sambil membentak. "Sorry-sorry." Seseorang tersenyum, lalu mengambil tas Binar di atas lantai dan membersihkannya. "Ini tas kamu," ujarnya sembari menyerahkan tas dan menatap Binar. "Menyebalkan!" gerutunya sambil menarik tas tersebut. "Bi-Binar," sapanya jelas dan Binar mengangkat wajahnya tinggi-tinggi. "Siapa ya?" sahut Binar dengan tatapan tidak bersahabat dan dia tidak seperti Binar yang Dayu kenal. "Kamu nggak ingat sama aku?" tanya Dayu yang baru saja pulang dari Cina. Saat itu, penampilan Dayu memang sulit untuk dikenali. Ia jauh lebih ramping, tinggi, putih, bersih, bak boneka barbie. "Jangan sok kenal deh ya!" pinta Binar terdengar kasar untuk Dayu. "Binar, kenapa?" tanya seseorang dari arah yang berbeda. "Nggak tahu nih. Cantik-cantik, tapi nggak jelas," sambungnya sambil mencibir. Pada saat yang bersamaan, Dayu menatap ke arah telinga Binar dan wanita yang berada di hadapannya tersebut, tidak mengenakan anting-anting yang sama dengan dirinya. Dayu mundur beberapa langkah, "Tidak," gumam Dayu. "Ayo kita tinggalkan saja dia dan segera ke kamar mandi!" ajak teman Binar palsu sambil merangkul. "Oke," sahut Binar yang meninggalkan Dayu begitu saja. Binar? Dia memanggilnya Binar. Berarti aku nggak salah, tapi kenapa Binar bisa kasar dan melupakan aku seperti itu? Tanya Dayu sambil meninggalkan jejak kebingungannya. "Sebenarnya, apa yang terjadi. Jika seseorang kehilangan ingatannya, sikapnya pun tidak mungkin berubah. Cara bicara, cara menatap, cara menghargai orang lain. Tidak, dia bukan Binar." Dayu menghentikan langkah dan tiba-tiba saja, jantungnya berdebar kencang. Binar, apa yang terjadi kepadamu? Jika dia Bintang, lalu kamu di mana? Kenapa dia menyamar jadi kamu dengan nama Binar? Ya Tuhan, ada apa ini? Dayu tampak khawatir. "Mama." Dayu menelepon. "Dayu nggak bisa langsung pulang ke Jogja. Rasanya, kangen banget sama Binar." "Oke, temui saja dulu sahabat hidup dan matimu itu! Mama mengerti kok." "Makasih ya, Ma." "Sama-sama, Sayang." Dayu yang baru saja tiba semalam dan menginap di hotel, langsung memesan tiket pesawat untuk menemui Binar yang asli. Hatinya sangat yakin, bahwa perempuan tadi adalah Bintang. "Binar, sejak perpisahan itu, ponselmu juga tidak pernah aktif lagi. Sebenarnya, kemana kamu? Apa yang terjadi? Aku tahu kamu kuat, kamu memang harus kuat, Binar!" pinta Dayu dengan mata yang berkaca-kaca sambil bergerak menuju bandara. Pukul 12.45 WIB, setibanya di kota asal. Dayu langsung menuju ke kediaman Binar yang ia ketahui. Tanpa istirahat maupun makan, Dayu terus mencari sahabatnya tersebut dengan bertanya ke sana kemari. Sayangnya, hingga pukul 16.00 WIB, Dayu belum juga menemukan Binar ataupun jejak keberadaan sahabat karibnya itu. Tidak ingin putus asa, Dayu memikirkan apa saja tentang Binar dan mulai melangkah ke tempat-tempat yang sering mereka kunjungi bersama, ketika remaja tanggung dulu. Setibanya di taman areal bermain, Dayu mendekati seorang satpam yang sangat ia kenali. Kemudian ia menyapa dengan lembut. "Maaf, Pak. Masih ingat aku?" Satpam menatap dalam-dalam ke arah perempuan yang tampak cantik sempurna tersebut. "Mana mungkin saya kenal sama artis, Mbak," jawabnya lugu sambil tertawa ramah. "Aku Dayu. Masih ingat nggak? Dulu, sekitar 13 tahun yang lalu, aku sering sekali main ke sini. Bapak kan sering marah karena kami bermain masih menggunakan seragam sekolah." Satpam kembali menatap dayu lebih dalam dan ia langsung tersenyum karena bayangan masa lalu Dayu, kembali bermain di matanya. "Owalah, Non ... kok ya sekarang bening buanget?" "Ha ha ha ha ha, makasih lo, Pak." "Iya-iya. Ada apa?" "Emh ... Bapak ingat nggak? Dulu, Dayu sering ke sini sama Binar? Anak perempuan super cantik yang punya mata safir," jelas Dayu penuh harap. "O iya pasti ingat. Wong Binar masih sering main ke sini kok. Kalau ditanya kenapa? Jawabnya kangen Dayu," bebernya dan itu berhasil membuat Dayu hampir menangis. "Serius, Pak?" "Iya. Kan rumahnya nggak jauh dari sini sekarang. Itu loh, di dekat gang sempit di pinggir sungai." "Apa?" Dayu terkejut karena tahu, dulu, itu termasuk daerah kumuh. "Iya. Semenjak orang tuanya berpisah, Binar tinggal di sana bersama mamanya yang lumpuh karena kecelakaan." Binar. Ucap Dayu yang menangis di dalam hati. "Makasih ya, Pak. Kalau gitu, Dayu ke sana dulu." "Oh iya, Non." "Makasih ya, Pak." "Sama-sama, Non. Rumah kontrakannya yang cat kuning ya!?" "Iya, Pak. Dayu pamit." Dengan berjuta perasaan, Dayu berjalan cepat ke arah kontrakan Binar. Binaaar! Pekik Dayu tanpa suara. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN