Binar sudah berusaha untuk beristirahat, namun pikiran dan hatinya sama sekali tidak bisa berhenti berpikir. Sementara Dayu, ia sibuk menghubungi banyak orang untuk membantu.
Sekitar pukul 19.00 WIB. Ponsel Dayu kembali berdering, "Binar, jangan sekali-sekali melakukan kesalahan dan kecurangan! Aku nggak main-main dengan semua ancaman tadi. Kalau ada sedikit saja yang mencurigakan, aku akan mendorong mama dari lantai teratas hotel ini."
"Cukup, Bintang!"
"Hum, makanya jangan macam-macam! Kamu tahu kan kalau sejak dulu, aku sangat membenci mama. Jadi, mudah saja untukku."
"Begitu ya? Lalu bagaimana dengan papa?"
"Kamu merindukannya?"
"Jawab, Bintang!"
"Oke, dengar! Tujuh hari sebelum hari pernikahanku, papa mengetahui sebuah rahasia kecil."
"Papa memeriksa kamar dan mendapatkan bukti-bukti bahwa aku sudah memasukkan uang yang papa perintahkan untuk dikirim kepadamu dan mama selama puluhan tahun ke dalam rekening pribadiku."
"Apa? Ternyata papa tidak pernah lalai, apalagi sampai melupakan kami?" tanya Binar terkejut dan ia merasa bahagia hingga matanya berkaca-kaca.
"Kami bertengkar hebat, lalu tanpa sengaja papa menampar pipiku sangat kuat. Aku tidak terima dan marah besar, kemudian membentak papa."
"Saat itu, papa mengatakan bahwa aku bukanlah Binar dan papa memaki tanpa henti. Kata-kata papa itu sangat menyakitiku hingga aku marah dan mendorong papa keluar kamar."
"Tidak, bukan itu saja. Aku juga mendorong papa sangat kuat, hingga punggungnya membentur kayu pembatas ruangan. Sejak saat itu, papa tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Jelas? Ada lagi?"
"Kenapa kamu begitu kejam, Bintang? Padahal semua orang mencintai dirimu? Seharusnya kamu bersyukur!"
"Apa? Ha ha ha ha ha. Binar-Binar, semua orang hanya suka membandingkan diriku dan dirimu. Kemudian pada akhirnya, aku lah yang keluar sebagai pecundang."
"Kamu salah, Bintang!"
"Cukup!" Bintang terdengar sesak dan Binar tidak mengerti apakah dia menangis atau tertawa. "Begini saja! Jangan macam-macam atau mereka semua akan habis! Dan ikuti rencanaku!"
"Baiklah. Bukankah sejak awal, aku selalu mengikuti jalan hidup darimu?"
"Terserah. Dengarkan ucapanku! Kamu, pulanglah sebagai Binar dan bersikap baik terhadap suamiku, Ben Cashel."
"Apa?"
"Gantikan posisiku dan jangan membuat gerakan yang mencurigakan! Salah sedikit, maka aku akan menyakiti mamamu!" pekik Bintang seperti orang gila. Saat itu, ia berada di jalanan. Sedangkan mama di kamar hotel.
"Bintang, apa yang kamu pikirkan? Ini tidak baik," tolak Binar sambil memegang dadanya.
"Hei, aku tidak perduli. Kalau kamu tidak bersedia, terima ganjarannya!? Sederhana kan?"
"Tidak, Bintang. Jangan!" Binar terduduk sambil meneteskan air mata. Saat itu, Dayu terus menguatkan Binar.
Bintang memberikan alamat rumahnya dan menceritakan tentang banyak hal mengenai Ben, suaminya.
Selain itu, Bintang meminta kepada Binar untuk membeli ponsel yang sama dengan dirinya agar mereka bisa berkomunikasi dan tidak menimbulkan kecurigaan Ben.
Tak lama, Bintang memberikan nomor ponsel Ben kepada Binar dan mengatakan bahwa dirinya hanya membutuhkan kerja sama ini kurang lebih 14 hari. Setelah itu, Bintang akan melepaskan Binar dan mama Marta.
"Baiklah," sahut Binar yang merasa tidak memiliki pilihan dan 14 hari bukanlah waktu yang lama.
"Binar, bagaimana menurutmu?" tanya Dayu. "Jujur saja, aku jadi khawatir. Jangan-jangan, laki-laki Itu bukan orang yang baik dan suka menyakiti (memukul), makanya Bintang takut dan lari darinya."
"Kalau memang begitu, tidak mungkin hanya 14 hari saja kan? Dia seperti hanya sedang ingin bermain. Jika memang ingin lepas, dia pasti menempuh jalan perceraian. Tapi Bintang masih menginginkan Ben. Aku sangat yakin itu."
"Heeemh. Kamu benar juga, Binar."
"Soal motif di balik semua ini, aku sama sekali tidak tahu, Dayu. Yang jelas, aku harus melakukannya demi menyelamatkan mama."
"Iya."
"Selain itu, jika aku bisa menjadi Binar, itu artinya aku mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan papa dan mungkin saja bisa menyelamatkan beliau juga."
"Itu adalah pemikiran yang benar dan kuat. Tapi kamu harus tetap berhati-hati benar karena bisa saja Ben, laki-laki itu akan menyakiti kamu."
"Aku mengerti, Dayu. Dan sekarang, bagaimana dengan ponselnya?"
"Aku akan mengurusnya. Binar, setelah ini aku akan kembali untuk mencari mamamu. Setidaknya, kita tahu persis bahwa kondisi beliau baik-baik saja."
"Terima kasih, Dayu. Maaf sudah merepotkan mu di hari pertama kita bertemu."
"Binar, aku yakin sekali. Apa pun itu, ini semua adalah jalan yang sudah Tuhan atur untuk semua orang. Aku berharap, Bintang bisa berubah dan menjadi sosok yang kamu harapkan."
"Iya, Dayu. Sebaiknya kamu antar aku ke alamat ini sesegera mungkin!"
"Lalu, bagaimana dengan kunci rumahnya?" tanya Dayu sambil menatap bingung ke arah Binar.
"Bintang bilang, kunci rumahnya ada pada satpam."
"Oke, kita pesan taksi. Cari ponsel dan ke rumah Bintang. Terus terang saja, aku juga tidak paham daerah ini."
"Makasih ya, Dayu."
"Ayo!"
Sekitar pukul 20.30 WIB, dengan perasaan yang penuh dengan debaran, Binar menapaki kakinya di rumah mewah ukuran mini yang hanya menyewa jasa bersih-bersih dua kali dalam seminggu.
Ben memang hanya ingin menikmati waktu dan tempat berdua saja dengan Binar. Sejak dulu, Ben sudah membayangkan percintaan di semua bagian ataupun ruangan di dalam rumahnya, tanpa perlu khawatir diganggu oleh asisten rumah tangga.
Sayang, Binar yang Ben kira hangat, malah berbalik hati dan sikap. Ben kecewa, tapi terus memaafkannya karena cinta.
"Binar, aku pamit ya? Berhati-hati dan beradaptasi lah dengan cepat."
"Aku mengerti. Bay, Binar."
"Bay, Dayu." Binar menundukkan kepala sembari menutup pintu rumah.
Mama, aku harus apa? Tanya Binar tanpa suara. Aku harus tahu, siapa Ben? Bagaimana rupanya.
Binar berjalan ke arah foto pernikahan dan ia terkesima dengan ketampanan Ben dan juga tatapan matanya yang hangat.
"Dia sama sekali tidak tampak kejam." Binar terus menatap tanpa henti. Setidaknya, rasa takut di dalam hatinya memudar.
Demi menghafal setiap bagian rumah dan membuat dirinya nyaman, Binar memutuskan untuk membuat kue bolu kampung rasa coklat.
Aroma mulai menguasai setiap bagian ruangan dan itu mampu membuat Binar bahagia.
'Tak lama, terdengar suara kunci rumah yang dipaksakan. Dengan cepat, Binar membuka pintu dan Ben berada di luar dengan wajah yang kusut.
Sama halnya dengan Binar, Ben juga terkejut karena sebelumnya ia mengira Binar sudah meninggalkan dirinya.
"Binar?"
"E ... ." Binar bingung dalam diam.
"Kamu di sini?" Ben memeluk Binar hampir menangis. Tubuhnya terasa begitu hangat bagi Binar dan itu membuatnya merasa semakin nyaman. "Tadi kamu bilang tidak akan pulang. Aku hampir gila dan menabrak orang dijalan," kata Ben tampak sungguh-sungguh.
Bintang, apa yang kamu lakukan padanya? Ben tampak baik. Kata Binar tanpa suara.
"Maaf, Ben."
"Binar." Ben semakin erat memeluk.
"Kamu sudah makan, Ben?"
Ben menggeleng dalam pelukan, "Setelah kamu menelepon dan bilang tidak akan pulang, aku lupa untuk makan."
"Heeem."
"Sebenarnya apa yang terjadi? Kemarin kamu bilang aku laki-laki sempurna yang membosankan, lalu kamu ingin ke luar negri tanpa aku selama dua minggu, kemudian tadi kamu bilang tidak akan pulang?"
Binar bingung, tapi cukup memahami situasinya. Bintang sangat keterlaluan menurutnya dan Binar menaruh iba kepada Ben.
"Aku ingin memasak sesuatu, tapi tidak ada bahannya. Jadi, cuma bikin bolu saja. Kalau kamu mau, aku bisa masak kan mie instan saja. Bagaimana?"
"Iya." Ben melepaskan pelukannya. "Asalkan itu kamu, Binar. Aku suka."
"Ya sudah. Kamu bersih-bersih dulu ya!? Aku tunggu di meja makan."
"Iya, baiklah." Ben bergerak cepat dan tidak ingin kehilangan waktu sedetik pun.
Setelah bersih dan kembali rapi, Ben mendekati Binar yang tengah memasak mie instan dengan telur bebek setengah matang bersama beberapa iris cabe rawit.
Laki-laki kekar dan tampan tersebut, memeluk Binar dari belakang. Seketika, jantung Binar berdebar kencang.
Ini adalah sensasi terhebat yang baru pertama kali Binar rasakan. Sampai-sampai, ia tidak bisa bergerak dengan mata yang terbuka lebar.
Bersambung.
Bagaimana kisah mereka? Akan aku lanjut setelah n****+ ini kontrak ya. Makasih...