Katakan hanya dengan satu kata. Katakan jika hanya aku yang kamu inginkan. Katakan sekali lagi. Katakan ... Katakan ... Sebelum seluruh katamu terbenam dalam kalimat-kalimat penyangkalan.
=*=
Ini bukan tempat yang menyenangkan untuk menunggu. Tapi di kota sekecil ini, memang tidak ada tempat menyenangkan untuk menunggu. Semua penduduk kota hanya mengenal pantai sebagai tempat plesiran. Bahkan untuk menemukan mall yang lebih nyaman saja harus menempuh perjalanan kurang lebih satu jam. Dan kini ia harus menunggu di warung remang dengan ditemani semangkuk bakso yang sudah dingin dan es jeruk yang tak lagi sejuk.
"Sori telat. Sudah lama, ya?" Suara bariton itu selalu bisa membuat suasana kembali ceria. Warung remang menjadi terang seketika.
"Ngg. Nggak, kok. Baksonya aja belum abis."
"Tapi sudah dingin. Berarti kamu nunggu lumayan lama, ya?"
Seharusnya dia menjawab, ya. Sayangnya dia terlalu naif untuk jujur pada perasaannya. Dia lebih suka mengakui bahwa dia bahagia meski harus menunggu ribuan tahun lamanya.
"Kamu mau pesan apa? Biar kupesankan." Seperti pelayan yang selalu siap dikala dibutuhkan, dia bangkit cepat dari duduknya. Bersiap mengambil pesanan orang yang ditunggunya selama satu jam lebih.
"Duduk sajalah. Seharusnya aku yang bertanya bukan kamu."
"Aku yang mengundangmu. Jadi biar aku yang menjamumu."
"Celin ..., duduklah. Kamu ingin kita bicara, kan? Ayo kita bicara. Kita selesaikan hari ini juga."
Semangatnya hilang ketika dia memutuskan duduk kembali. Sesungguhnya dia ingin mengulur waktu agar kebersamaan ini menjadi lebih panjang dan dia bisa berpura-pura lebih lama memiliki orang itu.
"Kenapa harus buru-buru? Aku tahu hari ini kamu tidak punya kegiatan apa-apa. Bahkan kamu sengaja datang terlambat cuma buat bikin aku kesal. Iya, kan?"
"Celin ..."
"Radi ... Sudahlah. Aku lelah. Kamu juga lelah, kan? Kenapa tidak kita coba jalani saja? Biar waktu yang memutuskan apakah kita cocok atau tidak. Setidaknya biarkan kita ..., atau aku mencoba."
"Celin ..., Berapa kali kubilang kalau aku tidak bisa. Kamu tau betul perasaanku sebenarnya."
"Kamu masih mengharap Lara?"
"Apa harus diperjelas?"
"Lara saja hampir tidak mengenalimu saat ini."
"Dia hanya menyangkal perasaannya. Mungkin dia nggak enak sama kamu. Sahabatnya."
"Lara nggak perlu nggak enak sama aku. Dia bebas memiliki siapa pun laki-laki yang dia suka. Dan kenyataannya dia tidak memilih kamu. Terima saja."
"Lara belum menentukan pilihan. Aku masih bisa menarik perhatiannya."
"Please Radi! Bangunlah! Lara itu nggak bakalan suka sama kamu. Kamu itu bukan tipe dia."
"Lalu seperti apa tipe dia? Seperti Ceko? Lara terlalu berharga buat cowok b******k itu."
"Apa kita akan menghabiskan waktu dengan membahas Lara? Aku memintamu datang bukan untuk memberi keterangan tentang Lara. Radi ... sampai kapan kamu akan menghindar? Menyangkal terus menerus."
"Aku yang seharusnya nanya, sampai kapan, Cel? Sampai kapan kamu akan memaksakan perasaanmu padaku? Apa kamu tidak malu dinilai orang?"
"Apa peduliku? Lagian, aku cuma membantumu memahami perasaanmu sendiri. Kamu hanya menyangkal kalau kamu sebenarnya sayang sama aku. Kamu malu, kan ketauan sama teman-teman kalau sebenarnya kita pernah tinggal serumah?"
"Cel, aku tidak menyangkal kalau aku memang sayang sama kamu. Aku mau datang ke sini pun karena aku sayang sama kamu. Tapi sebagai adik. Nggak lebih. Karena kamu memang adikku. Paham?"
"Aku nggak pernah menganggap kamu kakak. Sejak dulu aku selalu melihatmu sebagai sosok yang lain."
"Kalau begitu belajarlah mulai sekarang. Lihatlah aku sebagai kakakmu. Jangan lebih. Sekarang pulanglah. Jangan bikin Mama-Papa khawatir. Sampaikan salamku pada mereka."
"Aku sudah bilang akan menemuimu. Dan mereka tidak khawatir. Bahkan mereka berharap aku bisa membujukmu untuk pulang."
"Aku sudah pulang, Cel. Ke rumahku yang sebenarnya. Dan ... bilang sama Mama-Papa, aku pasti akan menemui mereka secepatnya."
Radian pergi meninggalkan Celin setelah membayar semua pesanannya. Warung remang kehilangan keceriaannya sepeninggal Radian. Sama seperti hati Celin yang mendadak kosong ketika Radian memutuskan pergi pada suatu malam.
Celin dan Radian tumbuh bersama dalam satu rumah. Radian datang begitu saja pada suatu hari ketika hujan deras turun dan petir menggelegar. Dia berteduh di teras rumah Celin dan tubuh kecilnya yang kerempeng menggigil kedinginan. Bibirnya membiru dan seluruh bajunya basah. Dia memeluk tubuhnya sendiri dan berharap kehangatan akan segera menjalar dari ujung-ujung jari. Namun angin dingin memukuli tubuhnya tanpa ampun. Tak ada kehangatan untuk tubuh kecilnya. Bahkan kedua kakinya pun tak sanggup lagi berdiri tegak.
"Mama! Mama! Kakak! Tolong, Ma! Kakak, Ma!"
Celin kecil menarik ujung keliman baju Mama dan menunjuk-nunjuk ke luar.
"Kakak, Ma! Tolong kakak, Ma! Cepat, Ma!"
Tubuh pendeknya melonjak-lonjak di depan pintu. Berusaha meraih gagang pintu dan membukanya. Mama berusaha menuruti keinginan Celin. Naluri keibuannya tergugah ketika dilihatnya tubuh kecil setengah kaku itu tergeletak di teras rumahnya yang kuyup. Mama langsung berteriak sekencang-kencangnya memanggil Papa. Berusaha mengalahkan suara guntur yang terus menggelegar memukuli langit.
"Setelah dia siuman, lebih baik bawa anak ini ke rumah sakit atau kantor polisi saja, Ma." Papa terlihat khawatir dengan kehadiran anak kecil kerempeng itu di rumahnya. Dia terlalu banyak membaca berita di koran tentang berbagai macam modus penipuan.
"Biarkan saja dia istirahat dulu, Pa. Nanti kalau dia sadar, kita tanyai dia. Di mana rumahnya? Siapa namanya? Supaya bisa kita antarkan dia kepada orang tuanya."
"Kalau gitu kita gantian saja berjaga, Ma. Jangan pernah membiarkan dia sendirian. Bisa habis isi rumah kita dikeruknya."
"Papa, nih keterlaluan sekali. Bisa apa anak sekecil dan selemah ini, Pa?"
"Jangan mudah percaya penampilan luar, Ma. Bisa saja dia lemah karena disengaja. Supaya kita iba dan memberinya tempat di rumah ini. Nanti ketika kita lengah, dia akan memanggil komplotannya dan memasuki rumah kita."
"Ah, sudahlah, Pa. Papa itu terlalu banyak baca berita kriminal."
"Pokoknya Papa tetap tidak setuju jika dia kelamaan di rumah ini. Namanya waspada itu perlu, Ma!"
"Iya, iya. Nanti kita bicarakan lagi kalau anak ini sudah sehat. Sekarang biarkan Mama merawat dia dulu, ya."
Perasaan manusia adalah sesuatu yang unik. Pada satu kesempatan, dia bisa begitu benci pada sesuatu. Pada kesempatan yang lain, dia dengan mudah jatuh hati pada sesuatu yang sama. Seperti itulah perasaan Papa saat melihat Radian membuka mata setelah tidurnya yang teramat lama.
Di mata Papa, saat itu dia bukan lagi melihat seorang bocah kerempeng dengan bibir biru dan tubuh setengah kaku. Dia melihat jelmaan Michael yang begitu tampan dengan sayapnya yang lebar. Senyum malaikat dan sepasang mata yang menatap polos telah meruntuhkan keangkuhan Papa. Dengan tangan terbuka lebar, dia menerima kehadiran Radian.
Itu kejadian belasan tahun silam. Ketika Celin empat tahun dan Radian lima tahun. Waktu itu Radian hampir tidak ingat siapa dirinya. Dia bisa menyebutkan namanya, tapi tidak ingat dari mana dia berasal atau siapa orang tuanya.
"Mulai sekarang, Radian anak Mama dan Papa, ya. Kamu kakak Celin."
"Celin nggak mau punya kakak. Radin bukan kakak Celin. Radin pangeran Celin!"
Mama-Papa tersenyum. Bagi mereka itu hanya imajinasi gadis kecil yang terlalu banyak mendengar cerita dongeng. Namun bagi Celin, itu bukan sekadar imajinasi atau khayalan. Itu keinginan, cita-cita, mimpi, dan harus diwujudkan.
Celin mencintai Radian sejak kecil. Radian ..., dia selalu menganggap Celin adik ciliknya tersayang. Tidak lebih.
=*=
Hujan menyapa bumi dengan gemulai. Percikannya berlonjakan bagai peri-peri kecil merayakan kesenangan. Ketika menyentuh pepohonan, hujan bernyanyi tentang ranting dan daun-daun basah. Ketika menyentuh kendaraan, anak hujan berlompatan menabuh musik. Ketika menyentuh telapak tangan, hujan luruh. Kesenangan mencair dalam sekejap. Percikan hujan tak lagi riang. Percikan hujan menyanyikan nada-nada tinggi yang menyayat hati.
Mata Celin tak pernah berpaling dari butiran hujan yang menetes dari tepian talang. Dulu Radian menepi dari hujan dan menemukan kebahagiaan. Kini dia juga seperti Radian. Menepi dari hujan, tapi tidak menemukan kebahagiaan. Dia kehilangan. Radian telah mencabut dengan paksa rasa sayang yang telah lama dia tanam dan berakar terlalu dalam.
Namun, sesakit apa pun rasa yang dia punya, air mata enggan menetes. Celin mengatupkan giginya rapat-rapat hingga bunyi berderit-derit bergema di rongga telinganya. Radian adalah mataharinya. Dan bumi tanpa matahari hanyalah ladang tandus yang menunggu mati.©