“Ciuman? Hhh! Gue mungkin urakan, tapi gue bukan tipe yang suka maksa. Gue bakal cium temen kalian kalau dia yang minta. Ngerti?” Dengan ketus Ceko meninggalkan Ayna dan Celin yang berdiri kaku karena takut. Ceko memang bukan cowok yang bisa dibilang ramah.
Sebenarnya Ceko masih duduk di kelas tiga. Tapi tampangnya yang terlihat dewasa dan selalu murung, membuatnya terlihat jauh lebih tua sehingga anak-anak bilang kalau Ceko sudah beberapa kali tidak naik kelas. Bahkan gosip yang beredar mengatakan, kalau Ceko pindah ke kota kecil ini pun karena dia tidak lulus SMA sehingga harus mengulang kelas tiga sekali lagi. Sayangnya, di minggu-minggu pertama kepindahannya ke sekolah ini, Ceko sudah menebar reputasi buruk. Dia berkelahi dengan beberapa anak nakal di bukit belakang. Dan sejak itu, bukit belakang menjadi salah satu tempat favorit Ceko.
Padahal jika saja Ceko lebih ramah, gadis-gadis di sekolah pasti mengantre untuk menjadi pacarnya. Wajahnya mewarisi garis Tionghoa Ayahnya. Hanya saja matanya bulat dan indah, tidak sipit. Tubuhnya pun kekar dan berotot dengan tinggi di atas rata-rata cowok SMA. Menurut kabar, nama Ceko diambil dari nama Cekoslovakia, tempat Ceko lahir ketika Ayahnya yang bekerja di Kementrian Luar Negeri bertugas di sana.
Sepeninggal Ceko, Ayna dan Celin sedikit bingung. Mereka tidak tahu lagi harus mencari Lara ke mana. Sementara tanpa mereka sadari, jam istirahat sudah berakhir dan mereka harus bergegas kembali ke kelas.
=*=
Lara menangkupkan kedua tangannya di wajah. Dia tahu ada gosip tak sedap yang beredar di sekolah tentang dirinya dan Ceko. Tapi pikiran Lara terlalu penuh karena perjumpaannya dengan seseorang yang mungkin dia kenal.
Tadi sewaktu dia hendak kembali ke sekolah, dia bertubrukan dengan seorang gadis yang terlihat lemah dan berurai air mata. Ketika Lara mengulurkan tangannya hendak menolong, gadis itu terlihat ketakutan dan berlari meninggalkan Lara. Tanpa sadar Lara berlari juga mengikuti gadis itu. Namun Lara tidak punya keberanian untuk mendekat dan menyapa gadis itu. Dia hanya berdiri dan mengamati gadis itu dari jarak yang menurutnya aman.
Ada rasa rindu yang membuncah ketika dia melihat gadis itu mengeluarkan kotak bekalnya dan memakan roti lapisnya sambil tersedu. Lara bisa membayangkan rasa roti lapis itu. Manis selai stroberi bercampur asin air mata. Lara rindu rasa roti lapis yang di makan gadis itu. Tanpa sadar dia tersenyum, ternyata roti lapis itu bukan sengaja dibuat untuknya. Tapi sudah sejak dulu roti lapis itu mengisi kotak bekal Bunda.
Ya, Lara kini tahu, di mana dia berada. Mengapa dia merasa kenal dengan suasana sekolahnya terutama bukit belakang sekolah. Yang Lara belum tahu, mengapa dia ada di sini dan bagaimana? Lara bahagia melihat ada seseorang yang merasa dia kenal di masa asing ini. Sekaligus kasihan. Bunda yang dia lihat saat ini tidak seperti Bunda yang setiap hari mengisi hari-harinya. Bunda terlihat tertekan dan murung. Sangat berbeda dengan cerita-cerita Bunda tentang masa SMA-nya dulu.
“Ra? Kamu dari mana aja? Kita nyariin kamu sampai keliling sekolah tau!” Ayna mengempaskan tubuhnya di bangku samping Lara.
“Nggak pusing keliling-keliling?” tanya Lara cuek.
“Ra, kamu udah dengar gosip yang beredar tentang kamu?” tanya Celin dari bangku belakang Ayna. Murid di kelas mereka tidak banyak seperti di sekolah umum. Satu kelas paling banyak hanya terdiri dari 20 siswa. Setiap siswa duduk di kursi dan meja sendiri-sendiri dengan jarak antara meja yang cukup jauh. Cukup sulit bagi mereka untuk mengobrol apalagi mencontek.
“Gosip sama Ceko? Udah, tuh,” jawab Lara kalem. Dia memang sempat mendengar bisik-bisik anak-anak sewaktu dia berjalan melewati mereka. Dari bisik-bisik itu juga dia tahu nama penolongnya. Ceko. Anak kelas 3A3-2.
“Itu cuma gosip. Aku sama Ceko nggak ciuman, kok.”
“Terus apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa ada di bukit belakang?”
“Ceritanya panjang, Ay. Tapi aku lagi nggak pengen cerita sekarang, ya. Please!”
“Ra, kamu baik-baik aja, kan?”
“Kenapa, Cel? Aku emang sedikit pusing sehabis pingsan tadi. Tapi selebihnya aku baik, kok.”
“Kamu berbeda.”
“Maksudmu?”
“Seperti bukan kamu yang biasa.”
“Emang Lara yang biasa seperti apa, Cel?”
“Tidak seperti ini. Lara yang biasa itu meledak-ledak. Cerewet. Jutek. Dan gengsinya tinggi. Sedangkan sekarang, kamu terlihat jauh lebih dewasa dan lembut.”
“A-aku … Cel, Ay. Kalau aku ceritakan sesuatu pada kalian, apa kalian tidak akan menganggap aku gila?”
Kedua sahabatnya memandangi Lara dengan tatapan aneh. Lara balik memandangi mereka dengan tatapan menyelidik. Berusaha memastikan pada diri sendiri bahwa dia bisa mempercayai mereka berdua. Jika memang mereka bertiga bersahabat, seharusnya mereka bisa menerima perubahan apa pun yang terjadi pada dirinya.
“Apa, Ra? Kamu kenapa? Orang tuamu bercerai?” tanya Ayna tak sabaran.
“Eh?! Apa?!”
“Beberapa hari yang lalu kamu cerita sama kita kalau kamu mendengar mereka saling berteriak di malam hari. Terus kamu berpikiran kalau mereka akan bercerai. Jadi, apa benar perkiraanmu itu? Mereka akan bercerai?”
Lara terlihat gugup dengan pertanyaan Ayna. Dia tidak tahu apa-apa tentang orang tuanya. Jika benar seperti yang dikatakan Ayna, orang tuanya akan bercerai, lalu bagaimana nasibnya di masa ini? Sepertinya dia belum bisa bilang kepada kedua sahabatnya tentang dirinya yang sebenarnya. Terlalu terburu-buru dan mungkin mereka belum siap. Lebih baik saat ini dia mengikuti arus saja terlebih dahulu sambil mempelajari kondisi di masa ini. Lara pikir, dia harus mengenal dirinya terlebih dahulu sebelum memutuskan apakah akan menceritakan keadaannya pada seseorang atau tidak.
“Jadi gimana, Ra? Kamu mau cerita apa?”
“Emm. Ya itu tadi, Ay. Sepertinya orang tuaku akan bercerai dan aku sedikit bingung dibuatnya.” Ayna dan Celin memandangnya penuh simpati.
“Sudah kuduga! Memang ada sesuatu pada dirimu, Ra.”
“Emm, dan aku mau minta bantuan kalian jika kalian bersedia.”
Kedua sahabatnya membelalakkan mata. Jika sampai Lara meminta bantuan mereka, berarti memang kondisinya sudah sangat gawat sekali.
“Engg. Jadi gini, aku sedikit kehilangan kepercayaan diri saat ini. Aku hampir nggak kenal sama diri sendiri. Entahlah. Aku aja nggak tahu kenapa bisa terjadi. Jadi aku mohon sama kalian untuk mengerti aku dan mengingatkan aku kalau menurut kalian aku sudah keterlaluan.”
Ayna mengelus punggung tangan Lara dengan penuh kasih sayang. Dia tersenyum tulus.
“Kita ngerti kondisi kamu, kok, Ra. Emang berat kalau keluarga kita berantakan.”
Berantakan? Tiba-tiba Lara sedih mendengar kata-kata itu. Semoga keluarganya tidak seperti apa yang diperkirakan kedua sahabatnya. Dia butuh seseorang untuk menenangkan pikirannya saat ini. Dia butuh saat-saat ketika Ceko menemaninya tadi. Tapi dia tak mungkin bisa menemui Ceko lagi. Setidaknya untuk saat ini. Dari pengamatannya, seharusnya antara dia dan Ceko tidak ada hubungan yang saling menguntungkan. Bahkan mungkin sebaliknya, dia dan Ceko adalah musuh abadi yang selalu berseteru.©