Ayah dan Anak Lelaki

1009 Kata
"Cel, ayo kita pulang." "Kok, kamu bisa di sini, Ay?" Celin menatap heran pada Ayna yang menaunginya dengan payung. "Aku sahabatmu, Cel. Kita selalu berbagi apa pun, ingat? Waktu kamu bilang mau ketemu sama Kak Radin, aku sudah bisa mengira apa yang akan terjadi. Kita pulang, ya? Kamu bisa menangis sepuasnya seperti biasa." Ayna membimbing Celin ke dalam mobil. "Radin menolakku. Lagi." Celin menyandarkan kepalanya di kursi mobil. Matanya menatap butiran hujan yang menerpa kaca depan. "Sudahlah, Cel. Sudah saatnya kamu merelakan dia." "Untuk siapa? Lara?" "Kita berdua tahu Lara nggak suka sama Kak Radin." "Lara nggak pernah suka sama siapapun. Tapi sekarang dia memberi harapan pada semua orang." "Cel ....” Ayna terlihat lelah dengan sifat keras kepala Celin. "Kenyataannya begitu!" "Itu nggak bener! Lara ...." "Apa? Lara hilang ingatan tiba-tiba? Dia kini berubah jadi i***t yang mencoba jadi ibu peri? Begitu?" Mereka berdua termenung. Hanyut dalam lamunan yang memutar ulang peristiwa seminggu ini. Sahabat mereka, Lara, entah kenapa terlihat berubah tiba-tiba. Lara yang biasanya berpenampilan glamor, selama seminggu ini terlihat lebih bersahaja dan kalem. Lara tetap cantik dengan tampilannya yang sederhana. Yang mengejutkan, dia jadi lebih ramah dan murah senyum kepada siapa saja. "Orang itu harus berubah, Ay. Masak mau gitu-gitu terus, sih? Kenapa harus heran? Anggap aja aku baru dapet hidayah. Kan beres." Begitu kata Lara ketika Ayna bertanya apa ada sesuatu yang terjadi di balik perubahan sikapnya? Dia beralasan seolah perubahannya bukan hal yang luar biasa dan bisa ditolerir. Lara tidak menyadari jika perubahannya menimbulkan gunjingan bermacam-macam di kalangan siswa hingga guru. Seperti berita tentang ciuman tempo hari. Walaupun Lara dan Ceko tidak sampai dipanggil BP, diam-diam para guru bertanya kepada beberapa murid kesayangannya secara pribadi. Dan tidak ada jawaban yang memuaskan karena semua bersumber dari 'katanya'. Sekarang, perubahan Lara menimbulkan berbagai spekulasi. Dari anggapan jika Lara baru saja dapat hidayah hingga perkiraan jika Lara stres menghadapi kemungkinan orang tuanya bercerai. Beberapa menyambut positif perubahan Lara, beberapa menganggap jika perubahan Lara memberi harapan baru bagi mereka. Seperti Radian, dia menganggap keramahan Lara adalah celahh pintu yang terbuka. Radian berharap punya kesempatan untuk mendapatkan hati Lara kembali setelah penolakannya berulang kali. "Kamu masih sakit hati dengan penolakan Kak Radin tadi?" tanya Ayna. Mereka sudah hampir tiba di rumah Celin. "Aku nggak akan nyerah, Ay. Radin cuma nggak sadar sama perasaannya sendiri. Dan Lara ..., aku harus memberi peringatan keras padanya! Aku nggak bisa berpura-pura nggak ada apa-apa sama dia, Ay." "Kamu nggak sungguh-sungguh, kan? Lara nggak ada hubungannya dengan masalah kalian berdua!" Ayna masih berusaha membela Lara. Dia masih merasa kalau anggapan Celin berlebihan. "Nggak ada masalah gimana? Apa kamu lupa, gimana Lara waktu itu? Diam-diam nemuin Radin. Apa maksudnya?" "Kan Lara udah bilang, Cel, dia cuma ngomong supaya Kak Radin jangan ngarepin dia. Lara nggak punya perasaan apa-apa sama Kak Radin." "Aku nggak percaya! Radin bilang dia nggak akan nyerah sama Lara. Pasti Lara sudah melakukan sesuatu padanya." "Celin! Tega sekali kamu menuduh Lara seperti itu!" "Sebenernya kamu ada di pihak siapa, sih, Ay? Siapa yang kamu bela? Aku atau Lara?" tanyanya sambil memalingkan wajah menghadap Celin. Gadis yang dipandang hanya melirik sekilas tanpa memberikan jawaban. Apa pun jawaban yang dia berikan hasilnya sama. Menyakiti salah seorang di antara dua sahabatnya. "Kalian berdua sahabat aku. Kita sudah bersama sejak kelas satu. Mana mungkin aku akan memilih satu di antara kalian?" "Mulai sekarang kamu harus memilih ada di pihak siapa, Ay. Karena jika Lara belum menentukan pilihannya, aku tidak mau lagi gabung sama kalian. By the way, makasih udah jemput aku!" Celin membanting pintu mobil dengan kasar. Meninggalkan Ayna yang memandanginya masuk ke dalam rumah dengan tatapan tak mengerti. "Kok, jadi, gini, sih, Cel?" gumamnya sambil melajukan mobil meninggalkan rumah Celin. Di dalam kamarnya, Celin mengempaskan tubuhnya yang setengah basah ke atas kasur. Dia menumpahkan semua air mata yang ditahannya sejak tadi. Dia menyadari kebodohannya karena terus-menerus mengharap Radian. Tapi mau bilang apa lagi, sejak Celin tahu apa itu cinta, dia sudah mengikatkan diri pada Radian dan tidak memandang laki-laki lain lagi. Celin ingat pertengkaran Papa dan Radian pada suatu malam. Sorenya, rumah mereka kedatangan tamu yang mengaku masih kerabat Radian. Bertahun-tahun berlalu tanpa ada kabar tentang keluarga Radian, tiba-tiba datang seorang perempuan muda yang mengaku kakaknya. Tentu saja Papa marah dan mengusir perempuan itu. Tapi tidak dengan Radian. Dia terpukul dengan kenyataan bahwa dia bukan anak kandung Papa dan Mama. Radian mendengarkan semua penuturan perempuan muda itu. Menurutnya, Radian sengaja ditinggalkan di halaman seseorang karena orang tuanya tidak sanggup lagi membesarkan seorang anak setelah kelahiran adik kecil mereka. Radian menjadi pilihan mereka untuk dibuang karena dia paling kurus dan sering sakit. Membuat beban keluarga semakin berat. Namun diam-diam, keluarga Radian mengikuti perkembangannya dari waktu ke waktu. Mereka bahagia Radian diurus dengan baik. Hingga ketika Ibu Radian sakit keras dan mengigau memanggil namanya, mereka terpaksa muncul di hadapan Radian dan memohon kebesaran hatinya untuk menjenguk Ibu. Perasaan Radian hancur. Keluarga yang sangat dicintainya ternyata bukan keluarganya. Perempuan yang mengaku kakaknya itu pergi dengan meninggalkan secarik kertas bertuliskan alamat rumah. "Jika kamu meninggalkan rumah ini, kamu tidak boleh kembali lagi ke sini," ucap Papa ketus. "Pah, tapi kalau Radin nggak pergi kita nggak akan pernah tau kebenaran omongannya dan apa maunya mereka." "Apalagi yang mau dibuktikan? Orang-orang seperti mereka itu banyak. Tukang tipu!" "Papa juga penipu. Belasan tahun tidak pernah memberi tahu kebenarannya sama Radin!" "Kurang ajar! Berani kamu bilang seperti itu sama Papa! Dasar anak tidak tahu terima kasih! Pergi sana sama keluargamu kalau itu yang kamu mau!" Darah muda Radin mendidih. Terpukul dengan kenyataan dia bukan anak Papa ditambah kata-k********r Papa membuat Radin meninggalkan keluarga yang telah mengasuhnya sekian lama begitu saja. Meski Mama dan Celin menangis dan memohon agar Radin jangan pergi, dia tetap bersikeras meninggalkan rumah malam itu juga. "Celin, jangan pernah lupain Kakak, ya," katanya mengelus kepala Celin yang terisak dan memohon agar kakaknya jangan pergi. "Jangan pergi, Radin. Please!" "Kakak nggak pergi, kita masih bisa ketemu kapan pun Celin mau. Kakak sayang Celin," kata Radin sambil memeluk Celin erat. "Sampai kapan pun, Radin pangeran Celin. Kesayangan Celin," isaknya kala itu.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN