Liona berkunjung ke apartemennya Victoria sendirian. Wanita itu memintanya untuk bermain ke sana dan berbincang seputar persalinan. Satu hal yang membuat Liona bersyukur kali ini. Karena Xavier memberikan keringanan. Anak-anak boleh dibawa oleh Liona untuk dirawat. Bukan tidak bertanggung jawab atas itu, namun Liona diberikan sepenuhnya tanggung jawab dan juga diberikan jatah setiap bulannya. Mereka memang sudah tidak bertemu lagi sejak ucapan itu dilontarkan oleh Liona. Ia tidak memberatkan Xavier dan menghancurkan kebahagiaan Sophie. Biar saja dia yang menjadi asing. Menyembunyikan dua bayi yang tidak pernah diharapkan oleh mereka berdua. Namun diberikan izin untuk hidup oleh pria itu.
Tidak ada yang mengharapkan mereka. Begitu juga Liona yang tidak ingin memiliki anak di saat seperti ini. Namun dia sadar kalau selama ini Xavier adalah orang yang teguh pada pendiriannya. Tidak akan ada yang mengubah apa pun kalau dia sudah berkata demikian. Liona harus lebih sadar diri. Ia juga tidak boleh melukai hati Sophie begitu saja.
Dia sudah diberikan kebahagiaan dan juga fasilitas yang sangat baik oleh kakek dan neneknya. Tidak boleh ada pengkhianatan. Itu juga karena ia sadar, selama hidupnya hanya ada keluarga itu saja yang mau mengasuhnya setelah orangtuanya Liona tiada.
Ia berada di bawah perlindungan keluarga besar ini. Apa pun yang terjadi, mereka yang selalu pasang badan untuk melindungi Liona dari dulu. Tidak boleh ada yang menyentuh Liona sampai menangis. Sekarang, dia yang menangis sendirian menghadapi kehidupan yang pelik seperti ini.
Mengandung dua anak dari laki-laki itu. Mana mungkin ia biarkan untuk hidup seperti dirinya dulu. Tidak memiliki orangtua yang selalu ada di sisinya. Liona akan mengurus bayinya sendirian. “Kamu nanti temani aku melahirkan, ya!”
“Xavier nggak nemenin kamu?” tanya sahabatnya sambil menyusui sang bayi yang sedang terlelap.
Liona menggeleng. Sudah tahu kalau ia akan diberikan sejumlah uang untuk pergi ke rumah sakit sendirian. “Aku udah bikin kesepakatan sama dia. Kalau aku nggak bakalan ada hubungan lagi sama dia. Terakhir dia ke sana ngasih aku sejumlah uang, buku tabungan dan juga kartu. Dia nggak bolehin aku untuk hubungi dia kalau dia nggak hubungi duluan. Takut ada Tante Sophie yang bareng sama dia.”
“Mau apa pun alasannya, aku kurang setuju kalau dia ninggalin kamu gitu aja dengan bayi kamu.”
“Aku nggak apa-apa. Asalkan sama anak-anak.”
“Liona, ini bukan tentang itu saja. Kamu punya masa depan yang dia hancurkan. Nggak adil rasanya kalau dia bahagia, sedangkan kamu nggak bahagia sama sekali.”
“Aku dikasih kesempatan urus mereka aja udah senang kok.”
Dalam hatinya ia juga sedih dengan perjalanan hidup yang seperti ini. Tidak ada yang menginginkannya. Mulai dari kehilangan orangtua, ditambah lagi seperti ini. Liona tidak pernah mengharapkan kehidupan yang berantakan. Kehilangan orangtuanya sudah membuat dia bersedih. Ditambah lagi dengan masalah seperti ini. Mengurus dua bayi yang akan dibesarkan tanpa ayah. melihat orang yang selama ini ingin dilihatnya bahagia itu mungkin akan jauh lebih menyakitkan nantinya.
Dikatakan tidak adil oleh Victoria. Bagi Liona sendiri ini juga memang tidak adil baginya. Karena nanti ia yang akan seumur hidup bersama dengan kedua anaknya.
“Ngebayangin kamu hidup kayak gini, rasanya sedih banget, Liona.”
Ia mengerti kalau Victoria peduli terhadapnya. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak bisa membiarkan dirinya seperti ini terus. Tidak mau membuat Sophie sedih juga. “Aku bingung sama diriku sendiri. Memaafkan dia semudah itu. Karena selama ini dia selalu baik.”
“Kalau dia baik, dia nggak bakalan bikin kamu kerepotan seperti sekarang ini, Liona. Lihat saja buktinya. Sekarang kamu jauh lebih menderita dibandingkan yang dulu.”
Diakuinya kalau kehidupan sekarang memang membuatnya terbebani. Apalagi ada anak yang ada di dalam kandungannya harus dihidupi. Seumur hidup akan menjadi petaka baginya. Liona juga tidak mau membunuh keduanya dari awal. Dia menerima risiko ini, kalau untuk seumur hidupnya menebus kesalahannya dengan cara yang seperti sekarang ini. Banyak penyesalan yang tidak bisa diungkapkan oleh Liona pada Victoria, salah satunya adalah mengakui kehadiran bayi ini.
Tapi mau bagaimana lagi. Liona sendiri tidak memiliki kuasa seperti yang dia harapkan pada dirinya sendiri. Bahwa ini memang keinginan Xavier untuk membuat dua bayinya lahir ke dunia.
Bicara tentang adil, tidak ada manusia di dunia ini yang bisa berbuat adil. Untuk orang lain pun kadang bisa saling menyakiti, berbuat adil pada diri sendiri saja kadang manusia tidak akan mampu.
“Aku pengen cerita ke Mama. Pengen cerita sama Papa.”
Victoria mengangguk paham bahwa pada saat seperti ini tidak ada yang dia inginkan selain orangtuanya. Liona tiba-tiba meneteskan air matanya. “Aku cuman numpang di hidupnya Tante dan juga kakek sama nenek aku. Kalau aku ngaku soal ini. Akan jadi masalah besar bagiku. Mungkin mereka kecewa dan menghinaku karena dianggap merebut Om Xavier.”
“Tidak ada yang salah denganmu. Semua murni kesalahan satu malam itu. Aku mengerti bagaimana perasaanmu.”
“Kalau aku jujur, tidak akan mengubah apa pun, Victoria. Sekalipun aku berkata jujur, ada dua kemungkinan. Tante Sophie akan ditinggalkan adalah opsi pertama, kedua aku juga akan ditinggalkan. Dia tidak akan bertanggung jawab. Dari awal dia bilang kalau dia menginginkan anak ini lahir, tapi tidak untuk tinggal sama dia.”
Siapa pun pasti akan terpukul dengan jawaban dari Xavier mengenai anak yang tidak diharapkannya. Liona juga sebenarnya sudah berusaha sebaik itu untuk mengungkapkan semuanya. Namun pria itu selalu memberikan peringatan agar tidak buka suara. Pergi dari rumah kakek dan neneknya juga sudah jadi keputusan paling akhir untuk bisa hidup dengan tenang.
“Kalau kamu ngaku, artinya kamu sama dia selesai. Tante Sophie juga akan selesai?”
Liona mengangguk dan kemungkinan besarnya memang akan terjadi seperti itu. Baik Liona maupun Sophie sudah pasti tidak mengharapkan masalah besar seperti itu.
“Kami semua akan selesai. Om Xavier akan menjadi asing. Kakek sama Nenek bakalan nyalahin aku, Tante Sophie yang begitu mencintai Om Xavier juga akan bersikap sama. Aku cuman takut kalau Tante Sophie nggak bisa bahagia lagi.”
“Semua orang bisa bahagia bagaimana cara memilih untuk kebahagiaan itu sendiri. Tante kamu nggak bakalan egois biarin dua anak kamu hidup tanpa ayah.”
“Tante Sophie memang mungkin akan mengikhalaskan. Tapi bagaimana sama anak-anak? Om Xavier dari awal bilang dia sanggup hidupi, tapi nggak mau kalau mereka berdua ini ada di sisinya Om.”
Tangannya Liona bergetar saat mengatakan itu. Jujur saja pilihan paling berat adalah seperti ini. Membiarkan Xavier hidup dengan Sophie tanpa memikirkan perasaan Liona ke depannya akan seperti apa.