“Hari ini kakak ada kesibukan?” Xavier melihat kedatangan Devan—adiknya mengunjunginya ke dalam ruangan pribadinya.
Xavier yang menutup berkas itu kemudian menghela napasnya karena begitu lelah hari ini. “Kurasa tidak.”
“Kakak akan pergi berkencan?”
Tidak ada hal yang lain dilakukan oleh Xavier adalah menemui Sophie. Pria itu menyandarkan bokongnya di sandaran sofa sambil melepaskan jam tangannya. Xavier biasanya akan pergi ke luar negeri bersama dengan adiknya untuk liburan. Tapi untuk sekarang, dia punya kegiatan lain untuk tidak pergi ke sana.
Ia beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri sang adik. “Ya, tidak lain adalah untuk berkencan.”
“Kapan kakak akan menikahinya? Dari dulu selalu bilang ingin menikah.”
Lalu dia yang baru saja melepaskan jasnya hanya menundukkan kepalanya. Ada rasa ingin menikah, satu sisi belum siap menerima kenyataan Sophie kecewa terhadapnya karena kasus Liona. “Entah. Aku rasa juga Sophie masih sibuk.”
“Aku tahu kakak sangat mencintainya. Sampai tidak ada wanita lain yang bisa menggantikan posisi Kak Sophie.”
Xavier mengakuinya kalau soal cinta. Tapi sekarang ini Sophie juga masih sibuk. Mereka memang sudah bahas tentang pernikahan. Xavier sudah mengucapkan itu di depan orangtuanya Sophie juga beberapa waktu lalu. Mereka juga menantikan soal pernikahan putri mereka. Dua bersaudara yang tersisa hanyalah Sophie. Sementara papanya Liona sudah tiada sejak Sophie dan Liona masih kecil.
Jadi, sekarang yang mengasuh Liona adalah keluarga itu. Andai keluarga dari pihak ibunya Liona juga tahu soal kehamilan itu. Xavier adalah orang pertama yang ditunjuk. “Kakak akhir-akhir ini banyak pikiran.”
“Kamu tahu sendiri aku sibuknya luar biasa. Perusahaanmu sendiri bagaimana?”
“Aku punya waktu luang. Karena sekarang kan semuanya masih kakak yang handle, jadi aku sedikit terbantu.” Devan tertawa saat mengatakan soal perusahaan dipegang oleh Xavier. Memang benar kalau urusan itu Xavier yang pegang sepenuhnya. Devan hanya membantu saja. Adiknya memiliki perusahaan lain yang juga bergerak di bidang properti.
Xavier mengambil minuman dari kulkas yang ada di ruangannya. “Kamu sendiri bagaimana? Aku tidak pernah melihatmu dekat dengan wanita mana pun.”
“Aku hanya merasa belum mapan. Makanya belum berani untuk dekati siapa pun. Belum punya banyak uang seperti kakak.”
“Wanita seperti apa yang kamu inginkan?”
Adiknya membuka minuman kaleng yang tidak lain adalah bir diberikan oleh Xavier tadi pada adiknya. “Liona.”
Xavier menahan diri setelah mendengar ucapan adiknya barusan. “Kamu jatuh cinta sama Liona?”
“Hanya takjub. Aku rasa dia adalah wanita yang benar-benar tangguh. Aku melihatnya serius dalam belajar. Aku juga menyukai karakternya yang lembut. Tapi tidak mungkin aku bisa mendekatinya. Kakak akan menikah dengan Kak Sophie yang tidak lain adalah adik dari papanya Liona.”
Xavier mengiyakan dan tertawa pada adiknya. “Ya tentu saja kamu tidak bisa menikahinya. Karena dia keponakannya Sophie. Liona akan jadi keponakanku.”
Devan tertawa sambil bersulang dengan Xavier. “Itulah yang aku pikirkan. Tidak mungkin juga aku memanggilmu Om, sedangkan kita adalah saudara.”
Itulah yang membuat Xavier harus menahan adiknya untuk tidak jatuh cinta terhadap Liona. Karena ada dua bayi miliknya juga dikandung oleh wanita itu. “Kamu bisa mencari wanita lain, Devan. Aku tidak ingin kamu mendekati Liona.”
Devan menertawakannya. “Tentu aku jauh lebih paham apa yang terbaik untukku dan juga keluarga kita. Kakak tidak perlu khawatir lagi soal itu. Aku tidak akan berbuat hal aneh.”
“Kita minum malam ini?”
“Mungkin lain kali saja. Aku akan temani mama malam ini.”
Xavier mengiyakan adiknya. Setelah adiknya pergi. Xavier menghabiskan bir itu. Tidak akan mempan hanya satu kaleng saja. Tidak ada reaksi pada tubuhnya Xavier. Dia menarik dasinya hingga longgar. Mendengar kata Devan yang menginginkan Liona semakin membuatnya terpuruk.
Dua anaknya akan jadi seperti apa di masa depan?
Sophie yang dia cintai, akan lebih kecewa lagi jika tahu soal ini.
Dia hendak pulang. Xavier mendapatkan pesan dari Sophie kalau dia minta dijemput dari kantornya. Buru-buru dia mengambil kunci mobil.
Saat tiba di kantor tempat wanita itu bekerja. Ternyata Sophie sudah menunggunya di luar. Xavier datang dan tersenyum saat melihat calon istrinya.
Di dalam mobil, Sophie mengendusnya. “Sayang, kamu minum lagi?”
“Satu kaleng aja kok.”
“Tetap saja. Itu bahaya buat kamu nyetir.”
“Kayak nggak tahu aku aja kayak gimana. Aku nggak akan mabuk cuman satu kaleng. Tadi minum karena ada Devan ke kantorku.”
“Terus?”
“Dia bilang suka sama Liona.”
Sophie yang tadi sedang berdandan. “Nggak bisa dong, sayang. Liona keponakan aku. Anak dari kakakku, terus Devan itu adik kamu. Kalau dia nikah sama Liona ya bisa kacau.”
Sophie yang juga tidak setuju tentang keinginan Devan untuk dekat dengan Liona. Karena bagaimanapun juga hubungan itu tidak boleh terjadi.
Dia mengantar wanita itu sampai di rumah. Kali ini tidak ada cium kening. Karena Sophie tidak akan mau jika Xavier dalam keadaan mabuk. “Sayang, kapan-kapan kita ke tempat Liona, ya?”
Xavier langsung panik mendengarnya. Bagaimanapun juga tidak ada yang boleh menjenguk wanita itu. Apalagi perutnya sekarang sudah pasti besar. Xavier sendiri memang tidak pernah bertemu lagi dengan Liona semenjak menyerahkan buku tabungan dan juga keperluan lain. Ia tidak ingin kalau ada orang lain tahu tentang kehamilannya.
“Kalau ada waktu sayang.”
“Aku nggak enak sama keluarga dia dari pihak mamanya. Karena nanyain terus, kenapa Liona nggak pernah berkunjung.”
Kalau Xavier mendengar Liona dibahas. Ada rasa ingin jujur terhadap Sophie. Tapi bagaimana dengan wanita itu? Bisakah menerima kenyataan? Sementara selama ini yang paling menyayangi Liona adalah wanita yang ada di sebelahnya. “Kamu bisa telepon dia. Jangan suruh dia bolak balik juga kasihan.”
“Tapi keluarganya pengen ketemu. Kalau ketemu, dia bakalan dikunjungi di rumahku. Meskipun Liona tinggal sama aku dari kecil. Tapi keluarga pihak Mama dia juga dekat sama dia. Sering dapat kiriman uang, sering dibeliin ini itu. Mereka memang nggak mau asuh, tapi soal kebutuhan, dia dipenuhi.”
“Kenapa mereka nggak mau ngasuh?”
“Karena pernikahan mereka nggak disetujui dulu. Papa dia persis kayak kamu, suka mabuk. Wajar kalau mereka nggak direstui.”
Xavier makin merasa dirinya menciut setelah mendengar jawaban dari Sophie. “Tapi bukan jadi alasan untuk nggak nerima Liona, kan?”
“Mereka nerima. Tapi untuk tinggal sama mereka. Nggak ada yang mau satu pun. Karena dulu yang bersikeras pernikahan itu tetap dilaksanakan adalah orangtuaku. Jadi ngerasa kalau Liona jauh lebih berhak di keluargaku. Belum lagi Mamanya dia meninggal pas melahirkan. Itu yang bikin mereka dendam juga.”
“Termasuk benci sama Liona?”
“Mereka nggak benci, Xavier. Mereka cuman nggak mau nerima.”
Xavier mengangguk paham. “Semoga aku ada waktu nanti. Kita bisa berkunjung.”
Sophie keluar dari mobil. Sementara itu Xavier meminta dijemput oleh anak buahnya dan dibawakan minuman. Otaknya benar-benar tidak bisa lagi mencerna semuanya. Ucapan Sophie tadi membuatnya semakin kepikiran soal Liona.
Sampai di kediaman itu dengan keadaan mabuk. Xavier langsung mengetuk pintu dengan keras. Anak buahnya menunggu di mobil. Liona membukakan pintu untuknya, wanita itu berdiri dengan perutnya yang sudah besar.
Xavier menatap dengan perasaan hancur. Dia mendorong Liona sampai di sofa hingga terjatuh.
“Kenapa kita nggak aborsi dari awal saja, Liona? Kenapa biarin mereka hidup?”
“Om.”
“Sophie akan menangis jika tahu soal ini.”