Keputusan Menyakitkan

1094 Kata
Seperti janjinya semalam, Xavier menjemput Liona dan seperti yang dikatakan juga kalau pria itu dengan mudah membawa Liona pergi ke mana pun. Karena pria ini sangat dekat dengan keluarganya. Selama perjalanan menuju rumah sakit untuk periksa kandungan. Liona hanya diam, ia tidak mengatakan apa pun. Sama halnya dengan Xavier yang hanya diam setelah mereka pamit tadi dari keluarganya Liona. Pria itu mengambil nomor antrean, melakukan pemeriksaan untuk lebih lanjut lagi bagaimana hasil yang sebenarnya, karena menurutnya tes pack tidak bisa menjadi acuan untuk periksa kehamilan. Mereka mendapatkan antrean nomor sembilan. Liona menggenggam tangannya dengan erat. Mulai merasakan panik yang luar biasa. “Kamu sudah sarapan?” Dia melirik ketika mendengar pertanyaan itu. Liona kemudian hanya mengangguk sekilas begitu mendengar Xavier menanyakan sudah sarapan atau belum. “Sudah tadi di rumah.” Xavier bersandar di kursi yang ada di sebelahnya Liona. Kalau bicara gugup, jelas itu yang dirasakan oleh Liona. Tapi melihat lagi dari gestur pria yang di sebelahnya ini. Jelas kalau Xavier juga merasakan hal yang sama. “Antrean nomor sembilan.” Xavier bangun terlebih dahulu. Begitu Liona mengikuti langkah sang pria. Mereka langsung bertemu dengan dokter dan dua asisten di dalam. Saat itu juga Xavier mulai bersikap tenang. Meskipun dia tahu kalau kehamilan Liona tidak pernah mereka harapkan. Ia mulai menceritakan gejala yang dia rasakan. Mulai dari telat datang bulan. Tadi pagi, Liona sedikit mual. Dokter meminta Liona pindah ke brankar. Lalu dia diperiksa dengan sangat hati-hati. “Mau langsung USG?” “Lebih baik begitu. Untuk hasil yang lebih jelas.” Liona diam begitu Xavier yang menjawab pertanyaan dokter. Waktu pemeriksaan. Liona memejamkan matanya saat dokter mulai menjelaskan detail mengenai bayi mereka. Sudah bisa dibayangkan bagaimana reaksi Xavier setelah tahu kalau Liona memang benar-benar hamil. Ia mengusap wajahnya menahan sedihnya. Tapi tangan Xavier langsung menyentuhnya, memberikan isyarat kalau ia tidak boleh terlihat lemah di depan dokter. Lebih mengejutkannya lagi setelah mendengar perkataan dokter barusan kalau Liona hamil anak kembar. Semakin membuat dia terpukul. “Dokter, kalau misalkan ibunya belum siap hamil. Apakah bisa digugurkan?” Dokter langsung menatap ke arah Liona. “Namanya anak kita tidak pernah tahu. Beberapa pasangan datang untuk konsultasi. Ada yang menikah lima tahun, sepuluh tahun. Bahkan tiga puluh tahun menikah tapi tidak dikaruniai anak. Kalau saran saya, dipikirkan baik-baik soal keputusan gugurkan kandungan. Apalagi anaknya ada dua.” Liona menahan air matanya untuk itu. Dia menoleh ke arah Xavier yang terlihat pasrah. “Baik kalau begitu.” Mereka pulang dari rumah sakit ibu dan anak. Lalu kemudian Liona hanya diam begitu diajak pulang oleh Xavier. Namun mereka berhenti di apotek untuk melengkapi obatnya Liona. Vitamin yang disarankan dokter tadi kosong di apotek rumah sakit. Hingga mereka harus mencarinya di luar. Pria itu kembali lagi dan menyerahkan untuk Liona. Dia membaca manfaat dari obat itu di internet. Takut kalau Xavier membelikannya obat penggugur kandungan. “Diminum pagi hari. Biar kamu nggak mual.” “Terus gimana?” “Terserah kamu, Liona. Keputusannya ada di tangan kamu sekarang. Biarkan mereka tumbuh, atau gugurkan.” Liona mulai ingin tentang kisah hidupnya yang dilahirkan oleh seorang wanita yang waktu itu meninggal begitu melahirkan. “Kalau dibiarkan hidup. Apakah Om bakalan kasih izin?” “Hidup atau tidaknya. Aku serahkan ke kamu. Tapi aku sendiri tidak bisa mendampingi kamu.” Kemarin, Xavier keras kepala untuk mengatakan jika mereka akan tetap pada keputusan awal. Namun sekarang, dia mengatakan kalau akan memberikan Liona keputusan atas semua itu. “Om bakalan nikah?” “Ya, keputusan aku sudah bulat, Liona. Aku harus tetap menikah sama Sophie. Dari awal kamu sendiri sudah tahu kalau aku sama dia bakalan nikah.” Liona memang mengetahuinya kalau kedua orang itu akan segera melangsungkan pernikahan. Namun sekarang, ada dua bayi yang ada di dalam kandungannya. Ia hanya bersandar, perlahan memasukkan obat itu ke dalam tasnya. “Aku biarkan mereka hidup.” “Risikonya kamu sudah siap? Aku angkat tangan soal itu.” “Aku juga tidak bisa membunuh mereka. Om juga tahu kalau aku dari kecil ada di keluarga Tante aku. Lalu aku kecewakan mereka dengan cara seperti ini. Mama, lahirkan aku dan akhirnya ninggalin aku.” “Aku ngerti.” “Om ngerti, tapi nggak ada toleransi buat aku sama sekali.” Pria itu mengajaknya untuk ke rumahnya. Lalu Liona hanya duduk di sofa, sekarang hanya ada mereka berdua yang ada di ruang keluarga. “Bayi kita ada dua, ya.” Ucapan pria itu membuat Liona langsung mengangkat kepalanya. Xavier tadi menyebut ‘kita’ yang artinya dia mengakui anaknya. Tidak ada tanggapan dari wanita itu. Ia hanya merasa kalau Xavier sekarang sedang punya masalah lain. Liona menatap pria itu yang juga membalas tatapannya. “Aku nafkahi kamu. Tapi aku tidak bisa biarkan kamu ada di sisiku. Aku mencintai Sophie, itu yang harus kamu ingat.” Sungguh, Liona tidak butuh untuk diperjelas lagi mengenai Xavier yang mencintai Sophie. Namun ia hanya merasa kalau keputusan tentang aborsi semalam kini tiba-tiba berubah. Saat itu, Xavier dengan keras kepala mengatakan jika dia ingin aborsi dan memaksa Liona dengan cara apa pun. “Om, kalau mereka hidup. Aku tinggal di mana?” “Aku siapkan rumah untuk kamu. Tinggal di sana nanti. Setelah melahirkan, pergi dari sana. Katakan pada keluargamu kalau kamu bekerja di luar kota. Setelah anak itu lahir, aku akan mengambilnya. Mengurusnya dan akan biarkan orangtuaku yang mengurus mereka. Kamu tidak perlu berpikir keras untuk itu. Aku akan mengurus mereka dengan baik.” Ternyata sama saja. Xavier tidak mengatakan aborsi. Tapi mengatakan jika dia akan mengambil anak itu dari Liona. “Om bakalan ambil mereka?” “Aku ambil mereka. Dengan catatan, mereka tidak boleh tahu kalau itu anakku dan anakmu. Aku akan memasukkan mereka nanti ke dalam keluargaku sebagai anak angkat. Setelah itu, kamu bebas di luar sana, Liona.” Jujur saja, ini jauh lebih sakit dibandingkan diminta aborsi oleh Xavier. Keputusan untuk membiarkan kedua anaknya hidup. Namun dengan catatan diperlakukan seperti itu juga sudah melukai batinnya Liona yang menjadi ibu. “Ternyata sama saja.” “Apanya?” “Sama saja keputusannya. Anakku berakhir tragis dengan ayah yang tidak menginginkan mereka. Tapi melakukan tindakan yang sangat buruk. Aku pikir setelah Om tidak memaksa aborsi, mereka bisa bebas hidup. Tapi memisahkan mereka berdua dari aku, lalu pura-pura mengangkat mereka jadi anak angkat. Jauh lebih menyakitkan dibandingkan apa pun.” “Aku tidak mungkin mengatakan ini pada Sophie. Kamu juga tidak mungkin mengatakan jika kamu memiliki anak disaat kamu tidak pernah menikah. Aib ini terlalu besar, Liona.” “Om menganggap ini aib. Tapi semuanya salah Om.” “Kamu juga sudah tahu aku mabuk waktu itu. Tapi kamu tidak pulang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN