“Bagaimana hasilnya, Liona?”
Berada di dalam kamar mandi sudah sangat lama. Merasa bimbang dengan hasil tes nanti, apalagi ia sudah telat datang bulan. Dari tadi hanya mondar-mandir dan berada di apartemennya Victoria. Dari tadi temannya menunggu hasil tes, sedangkan ia hanya berada di dalam sana sudah cukup lama sambil memikirkan hal-hal buruk menimpanya.
“Bentar, aku masih nunggu hasilnya.”
“Cepatlah! Perutku sangat sakit. Aku masuk kalau kamu masih lama.”
Akhirnya Liona melakukannya. Beberapa waktu ia harus menunggu hasil itu. Dia melihat ada garis dua yang sangat jelas sekali.
Tangannya Liona bergetar dan langsung mundur begitu melihat hasilnya. Tes pack itu jatuh begitu ia melihat hasilnya. “Vic ....”
“Kamu baik-baik saja?”
“Masuklah!”
Victoria yang baru saja masuk begitu panik melihat Liona yang sudah duduk lemas di lantai. “Apa yang terjadi?”
Liona tidak mampu meraih alat tersebut, namun ia hanya menunjuknya yang ada di sebelahnya Victoria. Wanita itu mengambilnya dan terkejut juga melihat hasilnya garis dua. “Liona, ini buang air kecil pertama kali, kan?”
Ia mengangguk karena sudah tahu bahwa waktu itu Victoria mengingatkannya agar dia buang air kecil pertama kali ketika tes. “Ya, kamu yang bilang biar hasilnya jelas.”
Wanita itu tidak menyangka kalau ini akan terjadi. Padahal mereka sudah sangat berpikir positif jika Liona tidak akan mengalami itu. Namun nasib berkata lain, Liona sekarang tengah berbadan dua. “Kamu harus minta dia tanggung jawab.”
“Nggak mungkin aku lakukan itu, Victoria. Mereka sudah tunangan.”
“Sekalipun mereka tunangan, tapi kamu harus mendapatkan keadilan.”
Liona dibantu berdiri oleh Victoria ketika ia berada di dalam kamar mandi sana, kakinya benar-benar lemas. Tenaganya sudah hilang begitu saja setelah mendapatkan hasil garis dua dari tes barusan.
Bicarakan ini dengan Sophie akan membuat ia dikeluarkan dari rumah. Mana mungkin juga ia tega menghancurkan rencana besar dari wanita yang selama ini membantunya menyiapkan masa depan dengan baik. Mengenalkan dengan dunia luar dan mulai belajar menerima kenyataan tentang orangtuanya yang sudah tiada.
Dikecewakan oleh orang yang paling melindunginya dulu. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?”
“Jujur sama keluargamu.”
Dia menggelengkan kepala mendengar permintaan dari Victoria. Ini juga mengenai hatinya Sophie yang pastinya akan terluka dengan pengakuannya Liona jika ia mengaku sedang hamil oleh calon suami dari tantenya sendiri. “Nggak bisa, aku nggak mau nyakitin hati tante aku.”
“Kalau begitu, kamu harus bilang sama si Xavier dulu.”
“Aku ke kantornya siang ini.”
Sekalipun sudah pernah diminta untuk gugurkan kandungan jika itu terjadi. Namun, Liona harus berkata jujur pada Xavier kalau hal yang mereka harapkan tidak terjadi sedang menimpanya sekarang ini. Benda itu dimasukkan ke dalam tasnya untuk memberikan bukti kepada pria itu nantinya.
Liona pamit dari tempatnya Victoria untuk mengatakan ini kepada Xavier.
Beruntungnya di sana ada sekretarisnya Xavier yang ada di luar. Wanita itu meminta agar Liona menunggu di ruangannya Xavier. Saat ini yang bersangkutan sedang ada meeting.
Sampai jam istirahat selesai, Liona tidak melihat pria itu kembali ke ruangannya. Nomornya juga tidak bisa dihubungi. Mungkin saja kalau Xavier tidak kembali ke kantor.
Tidak ada tanda-tanda Xavier kembali ke ruangannya. Liona hanya menitip salam agar Xavier menemuinya nanti.
***
Sophie begitu bangga menceritakan dirinya kalau dia akan memesan gaun pengantin dari desainer terkenal ketika menikah nanti. Ada pembicaraan yang mengarah pada pernikahan juga antara Sophie dan Xavier. Ini yang tidak ingin Liona dengar sekarang. Mengenai kabar bahagia sang tante dengan calon suaminya. Bukan dia tidak bisa bahagia kalau mendengar tantenya bahagia. Namun, ini mengenai bayi yang ada di dalam kandungannya.
Mereka berempat ada di ruang keluarga. Ponselnya Liona berbunyi menandakan ada notifikasi pesan masuk. Saat dilihatnya ada pesan dari Xavier yang memberitahukan kalau dia sudah ada di rumah sekarang. Meminta agar Liona yang berkunjung ke sana kalau memang sangat penting.
“Aku pamit bentar, ya.”
Tiga orang yang duduk tadi menoleh padanya. “Kamu mau ke mana malam-malam begini, Liona?”
“Aku mau beli sesuatu bentar.”
“Oke. Pulangnya jangan lama-lama!” pesan sang kakek.
Begitu tiba di rumahnya Xavier. Dia menghela napas panjang, takut kalau terjadi apa-apa nantinya yang membuat pria itu marah terhadapnya. Liona memang tidak ingin cari masalah. Namun, kejadian ini harus diluruskan.
Tiba di kediamannya Xavier, ia diminta ke ruang kerjanya pria itu oleh sang asisten. Begitu diantar ke sana, ia melihat Xavier sedang duduk di sofa dengan ponsel di tangannya. Pria itu menoleh ke arahnya. “Tutup pintunya!” ucapnya kepada asisten.
Liona masuk menghampiri Xavier, dia dipersilakan duduk. Segelas air putih yang baru saja dituangkan oleh pria itu disodorkan untuk Liona. “Aku dengar tadi siang kamu ke kantor. Aku ada urusan di luar begitu selesai rapat. Jadi, aku tidak kembali ke ruanganku.”
Ada rasa ingin jujur ketika bertemu dengan Xavier. Mengenai dari tadi siang niatnya untuk memberitahukan tentang kehamilannya. “Om capek?”
“Iya, seharusnya aku sudah tidur.”
Satu malam telah membuatnya hancur untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Apalagi dengan kabar yang sekarang ini ingin disampaikan pada Xavier. Tentang kehamilan yang tidak diinginkan oleh mereka berdua. Terutama Xavier yang berusaha untuk menghindar jika itu terjadi. Pria itu juga sudah mengatakan dengan jelas kalau ia positif akan menikah dengan Sophie. “Aku ingin mengatakan sesuatu.”
“Hmm, katakan saja!”
“Aku hamil.”
Xavier yang tadinya terlihat sangat lelah, seketika reaksinya langsung berubah. “Kamu bilang apa?” tanya ulang kepada Liona untuk memastikan kemungkinan apa yang didengar tadi mungkin salah.
Liona mengeluarkan tes pack untuk Xavier. “Aku sudah periksa. Tadi siang aku ke kantor Om untuk beritahukan tentang ini.” Liona menyodorkan alat itu kepada Xavier.
Xavier mengambilnya untuk melihat hasil dari pemeriksaan secara pribadi yang dilakukan oleh Liona menggunakan alat itu. “Besok kita ke dokter saja, Liona. Aku tidak yakin sama hasil ini.”
“Besok pagi?”
“Ya, aku punya alasan untuk mengajakmu pergi. Lagipula bukan pertama kalinya kita pergi berdua selama ini. Akan mudah untuk membawamu pergi.”
Ekspresi yang diperlihatkan oleh Xavier begitu tenang. “Oke.”
Liona menghela napasnya. Kalau sudah begini, jangan terlalu berharap apa-apa pada Xavier. Dari awal menurut Liona, pria yang ada di hadapannya ini tidak pernah mengingkari ucapan yang telah dilontarkan. “Aku sudah berencana menikah dengan, Sophie. Kali ini tidak akan gagal.”
“Oh.”
Xavier beranjak dari tempat duduknya sambil menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar yang terdengar oleh Liona. “Suatu hal yang aku takutkan terjadi juga. Aku mengakui kesalahanku, Liona. Aku tidak menyangkalnya kalau aku memaksamu.”
“Kalau besok hasilnya tetap sama. Apa yang bakalan kita lakukan?”
“Seperti keputusan awal. Aku tidak bisa pertahankan anak itu. Kamu punya masa depan, aku juga tidak ingin mengecewakan Sophie. Sudah lama kami menjalin hubungan. Seperti yang kamu ketahui juga, kami berdua saling mencintai.”
“Dengan mengorbankan nyawa bayi ini?”
“Tidak ada pilihan lain, Liona. Aku bisa bertanggung jawab. Tapi, tidak mungkin juga biarkan dia tumbuh dan menghancurkan hati Sophie kalau melihatnya. Sebelum itu terjadi, kita punya kesempatan untuk gugurkan kandunganmu.”