Malam itu, ulang tahun mamanya Xavier yang ke-55 tahun. Pesta diadakan di kediaman orangtuanya. Mengundang Sophie yang pastinya tidak akan ketinggalan. Begitu sayangnya juga orangtuanya Xavier terhadap Sophie. Wanita yang tidak tersentuh olehnya dari dulu.
Menjaga hubungan agar tetap berjalan sehat sudah pernah dikatakan oleh Xavier. Mereka akan menjalinnya dengan baik. Begitu juga Sophie yang mengerti dengan ucapan Xavier dan tidak terlalu menuntut. Mereka kencan hanya berpegangan tangan. Pacaran cukup lama, mereka sudah tahu karakter masing-masing. Menginginkan untuk ke jenjang pernikahan.
Pesta itu berlangsung dengan sangat meriah. Beberapa teman penting dari orangtuanya juga hadir di tempat itu. Sophie digandeng mesra oleh Xavier. “Apakah kalian akan menikah tahun ini?”
Xavier mengangguk. “Sophie bilang tahun depan, Ma. Karena tahun ini perusahaan cukup sibuk. Jadi dia meminta waktu untuk mengambil cuti tahun depan saja.”
Lihat saja bagaimana reaksi orangtuanya Xavier begitu bahagia. Apalagi sang mama yang memberikan hadiah untuk Sophie. Padahal yang ulang tahun itu adalah wanita tua yang paling disayanginya itu.
Sedangkan ia mengobrol dengan papa dan juga adik satu-satunya. “Kamu kelamaan pacaran sama Sophie. Ingat juga umur kamu udah kepala tiga. Sayang kalau nunda terus.”
“Aku ngerti, Pa. Papa jangan khawatir soal itu. Aku juga tahu apa yang terbaik untukku dan juga Sophie.”
Papanya mengangkat kedua bahunya setelah Xavier berkata demikian. memang dia mengharapkan pernikahan itu. namun jangan sampai buru-buru, seperti yang dihadapkan oleh orangtuanya. Karena Xavier juga ingin memberikan kesempatan bagi Sophie untuk berkarier, toh kalau nanti mereka menikah. Xavier akan biarkan istrinya berkarier juga.
Terdengar candaan dari sang mama dan juga teman-temannya mengenai Sophie. Dilihatnya kalau Sophie juga bebas tertawa ketika bersama dengan mamanya Xavier. “Dia sudah akrab sama Mama kamu.”
“Ya, dia memperlakukan siapa pun dengan baik.”
“Bagaimana dengan keponakannya itu?”
Xavier langsung tersenyum mendengar kalau papanya membahas tentang Liona. “Dia kerja di luar kota, Pa.”
Mengingat kalau Liona tidak bisa hadir karena ada di rumahnya Xavier. Lebih membuatnya sedih adalah perutnya Liona yang sudah mulai membuncit di usia yang memasuki empat bulan. Xavier benar-benar dibuat kalang kabut oleh kandungannya Liona. Ia juga bimbang untuk itu.
Selama Liona hamil, ia juga mengantar Liona untuk periksa ke dokter setiap bulannya. Memiliki dua bayi dari Liona memang terbilang sangat jahat. Menyakiti Liona, menyakiti Sophie dan juga keluarga besarnya. Juga orangtuanya Liona yang sudah tidak ada.
Dia menunduk ketika mengingat kesalahannya. Betapa brengseknya anak yang selama ini diberikan pendidikan baik oleh orangtuanya. Tapi menghancurkan masa depan seorang wanita yang dianggapnya juga seperti keponakan sendiri.
“Kamu berencana menginap malam ini?”
“Setelah antar Sophie pulang. Aku kembali lagi ke sini. Aku menginap, aku merindukan masakan Mama untuk sarapanku.”
Sang papa menepuk pundaknya. “Kalau begitu, kamu bisa jodohkan adikmu dengan Liona.”
“Jangan, nanti adikku memanggilku Om.”
Papanya tertawa saat Xavier menjawab spontan. Tapi dia juga lupa kalau dua bayinya sedang tumbuh di janinnya Liona sekarang ini. Bagaimana mungkin kalau nanti mereka memanggil Xavier dengan sebutan papa atau bahkan ketika bersama dengan Sophie. Anaknya sendiri memanggil ‘kakek’ itu membuatnya semakin frustrasi.
Selesai pesta. Xavier membantu mamanya memasukkan barang yang diberikan oleh rekan bisnis sang papa. Lalu membiarkan Sophie istirahat di kamarnya. Karena wanita itu sedikit mabuk oleh ulah sang mama yang memberikan alkohol.
“Biarkan saja Sophie menginap di sini.”
Mamanya meminta kalau wanita itu ada di sini saja untuk menginap. Tapi mana mungkin Xavier berikan izin. “Mama jangan aneh-aneh. Nyuruh aku bawa anak gadis orang. Aku belum nikahi dia.”
“Kamu dekat sama orangtuanya. Kamu harus minta izin juga dong.”
Tapi tidak seperti itu juga. Selama ini Xavier tidak pernah lancang terhadap Sophie. Meskipun mereka pacaran sangat lama, orangtuanya Sophie juga sangat percaya kepadanya. jadi, ia memilih untuk membangunkan wanita itu nantinya.
Selesai dia beres-beres. Xavier menghampiri ke kamar. Dilihatnya Sophie yang sudah tertidur dengan nyenyak efek samping dari alkohol tadi.
Dia menggendong wanita itu dan mengajaknya pulang. Mana mungkin dibiarkan di sini. Orangtuanya Sophie nanti bertanya-tanya.
Dia memasangkan sabuk pengaman untuk Sophie ketika mereka hendak pulang. Dia menatap wajah lelah wanita itu.
Xavier menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya. Betapa gilanya dia telah menyakiti wanita yang sudah dipacarinya bertahun-tahun. Sedangkan keponakan dari wanita ini sedang ikut bersamanya dan memperjuangkan bayinya.
“Aku adalah orang yang akan kamu benci nantinya sayang.”
Dia mengecup kening wanita itu. Sebelum mobilnya meninggalkan pekarangan rumahnya. Mamanya menghampiri dan mengetuk jendela mobil. “Ada apa, Ma?”
“Tas sama hadiah dari Mama kamu tinggalkan. Ini jua ada untuk orangtuanya Sophie.”
Ah iya, dia lupa untuk membawa barang itu. Dia menaruhnya di belakang. Kemudian pamit kepada sang mama. “Jangan kunci pintunya, Ma. Nanti aku balik lagi.”
Mamanya begitu ramah, kemudian dia meninggalkan tempat itu dan langsung mengantar Sophie pulang.
Sampai di sana, ia mengetuk pintu rumahnya Sophie. Keluar mama dari wanita itu. “Ya ampun, dia malah mabuk.”
“Maafin aku, Tante. Dia mabuk sama Mama aku di pesta tadi.”
“Nggak bikin onar di sana, kan?”
Xavier menggelengkan kepalanya kalau Sophie tidak membuat masalah. “Dia nggak bikin masalah kok, Tante.”
“Kamu masuk dulu! Om lagi teleponan sama Liona. Dia bilang sibuk beberapa hari ini.”
Ekspresinya Xavier langsung berubah mendengar kalau wanita itu menghubungi keluarganya. Betapa dia sangat jahat untuk membohongi semua anggota keluarga wanita ini sudah sangat jauh.
“Aku langsung balik dulu, Tante.”
Xavier memberikan totebag yang berisikan hadiah dari sang mama. Juga beberapa bingkisan untuk calon mertuanya ini. “Kamu repot-repot segala.”
“Ini dari Mama aku. Untuk Sophie juga untuk Tante sama Om.”
“Ya udah, kamu hati-hati, ya! Kapan-kapan kita ke tempatnya Liona bareng.”
Xavier mengangguk. Mana mungkin dia biarkan kalau Liona dikunjungi oleh keluarga besarnya saat seperti ini.
Lalu dia pulang ke rumah orangtuanya lagi.
Di kamar, dia menatap langit-langit kamarnya sambil menaruh punggung tangannya di atas dahi. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?”
Xavier memejamkan matanya, tiba-tiba dia mulai merasa bimbang dengan pernikahan. Takut untuk membohongi Sophie. Takut juga untuk membuat orangtuanya kecewa dengan apa yang dilakukan selama ini.
Sophie juga wanita yang sangat baik. Mana mungkin tega dia sakiti.
Pagi harinya, pulang dari lari pagi. Dia berhenti di pinggir jalan ketika melihat penjual rujak mangga.
Dia langsung mengambil piring begitu tiba di rumah sang mama dan menyantap rujak itu. “Lho ... lho ... Xavier. Nanti sakit perut masih pagi makan rujak.”
“Tumben aja, Ma. Pengen banget tadi pas pulang olahraga.”
Mamanya mengambil sendok yang dipegang Xavier lalu mencicipinya. Tapi ternyata dilepeh oleh sang mama. “Kamu makan rujak pagi gini kayak orang ngidam aja.”
“Mana ada cowok ngidam, Ma.”
“Oh jangan remehkan. Nanti kalau Sophie hamil. Jangan ngadu sama Mama kalau kamu pengen sesuatu. Biasanya ngidamnya cowok lebih parah.”
Dia langsung menghentikan kegiatannya setelah mendengar perkataan sang mama membahas tentang ngidam. Benar-benar membuat Xavier langsung tercengang mendengar kalau mungkin saja dia juga mengalami itu.