36

1028 Kata
Di tempat panitia ujian saat itu, ketika malam hampir saja menjelang, mereka belum juga bergegas untuk pulang kerumah masing-masing. Mereka adalah panitia ujian di provinsi ke-10. Saat ini mereka tengah bergelut dengan diskusi satu sama lain, untuk tahu alasan kenapa harus meloloskan Rigel kebabak selanjutnya padahal ia sudah menyerah sebelumnya. Meloloskan Rigel adalah saran dari ketua panitia mereka, yakni Aster. Aster di tugaskan sebagai ketua panitia yang mengurus 20 panitia lainnya, ia yang bertanggungjawab mengurus ujian mematikan dan kelulusan di provinsi ke-10 itu. Ia mengatakan bahwa akan meloloskan satu peserta meskipun peserta lainnya masih sedang berjuang masing-masing saat itu. Lolosnya peserta seharusnya di lakukan jika ada kekurangan peserta di babak sebelumnya, tapi Aster sudah melakukannya lebih dulu. Memang itu tak mengurangi apapun dalam ujian, tapi jika sampai pemerintah tahu akan jadi masalah yang cukup berat, mengingat seharusnya mereka mengikuti ketentuan yang ada terkait dengan ujian, yang di lakukan semua provinsi. Saat ini ada lebih dari 20 provinsi yang mengikuti ujian serempak, ujian yang dilakukan itu sudah mengikuti prosedur dari pemerintah dan disahkan oleh presiden langusng, memang jika ada yang meloloskan peserta tidak melanggar aturan hanya saja itu seperti membuat ujian itu berat sebelah karena keperpihakan panitia pada satu peserta lainnya. Saat ini Aster tengah berjalan di lorong tempat asrama dan monitoring ujian itu berlangsung, ia keluar dari ruangan panitia dengan bisikan dan cibiran pada panitia lainnya, tapi ia tak peduli ia lebih mementingkan ego dirinya yang begitu tinggi, lagi pula cepat atau lambat banyak orang yang akan membencinya karena menjadi panitia ujian, bukan pemerintah tapi lebih pada rakyat sipil itu sendiri. “Tunggu, tuan!” seru sebuah suara dari arah belakang, mendengar hal itu Aster pun menghentikan langkahnya dan menunggu seseorang yang berlari kecil menuju dirinya. Dia adalah Remi perempuan 28 tahun berambut sepundak dan berkacamata yang menjadi sekretaris panitianya saat ini. “Ada apa, Rem?” tanya Aster ketika Remi sudah ada di dekatnya saat ini. “Apa yang sebenarnya terjadi, Tuan? Kenapa tuan melakukan hal ini?” kini tanya balik Remi setelah ia mengetahu apa yang di lakukan Aster karena meloloskan salah satu peserta ujian. “Tidak ada. Tidak ada urusannya dengan kalian, ini murni keinginanku,” ujar Aster kemudian ia berlalu pergi meninggalkan Remi yang masih berdiri di sana saat itu. Remi masih tak habis pikir apa sebenarnya yang telah terjadi pada ketua panitianya itu, padahal kalau di pikir Aster biasanay bersikap cuek dan merasa tak peduli yang terjadi pada sekitarnya, yang pasti ia hanya menjalani tugasnya sebagai seorang ketua panitia saja. Namun, saat ini sangat berbeda, Aster seperti bukan biasanya, bahkan Remi sendiri menjadi bingung, karena menurutnya ia adalah anggota panitia yang paling dekat dengan Aster. Jika ia saja tak tahu, berarti tak ada harapan bagi panitia lain juga harus tahu tentang hal itu. Sedangkan Aster saat ini masih berjalan di lorong itu, ia harus kembali pulang kerumah secepat mungkin, karena ada janji makan malam dengan istrinya. Ia tak ingin mengingkari janji yang sudah ia buat sendiri, karrena jika sampai itu terjadi maka akan membuat hati istrinya sakit, ia tak ingin membuat istrinya sakit hati. *** Sat jam lebih setelah ia pulang dari tempat ujian itu dengan menggunakan mobil pribadinya yang ia dapatkan dari hasil kerja beberapa tahun. Kini ia sudah sampai di halama rumah, keluar dari mobil menggunakan mantel dan mengetuk pintu perlahan. Tak perlu menunggu lama pintu di buka seorang peremuan yang tak lain istrinya. “Aku terlambat,” ujar Aster melepaskan mantelnya dan menaruh di rak khusus dekat pintu utama. “Hanya sekitar 15 menit saja, tidak masalah. Sayur juga masih sangat hangat,” kata sang istri bernama Nichole dengan tersenyum. Keduanya berjalan menuju ruang makan berdua, dengan Aster bersikap manja dengan istrinya, memegang pundak belakang Nichole agar berjalan sejajar, seperti sepasang anak kecil yang sedang ingin bermain. Aster kemudian duduk di meja makan, Nichole menyiapkan makanan dan minumannya di atas meja. Taka lama kemudian mereka menikmati makanan itu bersama sambil sesekali berbincang, tentang apa yang terjadi di antara keduanya hari itu. Nichole memiliki sebuah resto kecil di pinggir kota, meskipun kecil tempat itu cukup terkenal dan selalu ramai dengan banyak pengunjung. Menu utamanya hanyalah makanan bekas peninggalan orang-orang Eropa yang masih ada sampai saat ini. Nichole tidak sepenuhnya sibuk, ia memiliki banyak karyawan yang cukup membuatnya hanya duduk sambil memandang dari kejauhan. Meskipun kadang ia membantu. “Bagaiamana ujian?” tanya Nichole kemudian. Aster belum menjawab ia masih menyelesaikan kunyahan makanan yang ada di mulutnya. “Berjalan lancar, hari ini masuk babak kedua,” ujar Aster menjawab pertanyaan dari Nichole sang istri. “Cepat juga. Aku tanya Ayah, di provinsi ke-40 masih babak pertama,” kata Nichole. Ayah Nichole juga salah satu senat yang mengurus ujian, ia mendapatkan tugas di provinsi ke-40. “Apa ada masalah?” Nichole kembali bertanya, karena setelah pertanyaan awal tentang ujian tadi, wajah Aster berubah. Aster mencoba mencari alasan yang sekira tak membuat Nichole semakin ingin bertanya, tapi rasanya ia tak menemukan satu alasan pun untuk ia berbohong. “Aku meloloskan satu peserta di ujian ini,” ucap Aster. “Lagi?” kata Nichole seolah bertanya. Itu memang bukan pertama kalinya Aster meloloskan peserta yang ada di ujian mematikan itu, setahun lalu ketika ia menjadi wakil ketua panitia ia juga meloloskan seorang peserta perempuan meskipun akhirnya peserta itu tak lulus ujian. Mendengar hal itu Aster hanya bisa menganggukkan kepalanya. Nichole tak tahu harus melakukan apa pada Aster saat ini, karena ia tahu dengan jelas penyebab yang membuat Aster meloloskan peserta, bahkan jika ia bisa ia ingin meloloskan mereka semua dengan mudah dan lulus ujian, tapi ia tak bisa melakukan hal itu. Nichole berdiri lalu berjalan mengambil sup yang ada di panci, yang sempat ia panasi karena dingin ia sudah memasaknya sejak sore. “Aku tahu apa yang mengganggu pikiranmu, tapi jika begitu terus kau akan dapat masalah dari panitia lainnya, terlebih jika pemeritah tahu hal itu. Pikirkan itu baik-baik,” ujar Nichole sambil memberikan semangkuk kecil sup pada Aster. “Ketakutanmu juga ketakutan warga sipil lainnya, mereka memang bukan sepertiku, tapi aku juga merasakan kegelisahan itu.” Setelah duduk Nichole menggenggam tangan Aster yang terasa sedikit dingin saat ini, meskipun penghangat ruangan sudah dinyalakan. Sedangkan Aster belum menyentuh supnya sama sekali, ada yang mengganggu pikirannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN