34

1441 Kata
Otak Toni sudah lumpuh dan hampir saja mati, jika tidak mendapatkan perawatan medis mungkin ia akan benar-benar mati, lagi pula ia sudah kalah ujian itu, tak ada harapan lagi baginya untuk hidup. Jika orangtua tak mengambil hati pemerintah, pilihan paling buruk adalah menyerah pada keadaan. Ia akan mati jika tidak setelah ujian ini mungkin nanti. Tak mendapat perawatan juga salah satu cara untuk mati, tapi dengan cara yang paling sakit, perlan trapi pasti. Sedangkan Alta kini melanjutkan langkahnya menuju titik peta yang di tunjukkan untuk mengambil bendera biru itu. Ia meninggalkan peserta yang dilihatnya tadi tanda sedikitpun memikirkan untuk bertahan sejenak untuk melihat dan memberi rasa kasihan. Alta sudah banyak melihat peserta dalam keadaan seperti itu, mereka tak bisa melakukan apapun selain menyerah. Ada yang mati mengenaskan, ada yang terluka parah dan ada yang harus mati di depannya. Ia sendiri pernah berada di posisi itu terluka, hampir mati dan hampir saja menyerah. Ketika ia menyerahkan dirinya pada Mahen saat itu. Ia kehabisan tenaga, tak tahu harus berbuat apa, sulit untuk menerima keadaan. Ia mengatakan bahwa ia pasrah jika saat ini Mahen membunuhnya, tapi Mahen malah berbuat baik padanya. Mahen menolongnya, membantu dirinya bangkit dengan rasa sama yang mereka miliki yakni pasrah dengan keadaan. Namun, kini tak ada lagi Mahen, ia harus berusaha sendiri dengan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain. Lagi pula Mahen sudah tak bisa membantunya, karena mereka saat ini sudah menjadi musuh, bahkan bisa saja nantinya mereka harus saling membunuh, karena tak ada dua pemenang dalam satu lomba. Tak berapa lama akhirnya Alta sampai di titik yang sudah ditentukan untuk mengambil bendera biru itu, saat berada sampai di sana tak ada siapapun kecuali dirinya sendiri. Bukannya seharusnya ada peserta lainnya. Alta dengan mudah mengambil bendera biru itu yang menempel di sebuah batang pohon, meskipun ia waspada, tapi tak ada apapun yang terjadi. Setelah itu Alta berniat pergi dari sana, mungkin lawannya belum sampai. Ia bisa pergi dan bersembunyi sampai setengah jam nantinya. Saat Alta balik badan dan berniat memutar langkah dari tempat tujuannya, kakinya seperti menendang sesuatu tali yang membuat Alta kaget dan langsung memperhatikan tali itu, tapi saat melihat tali itu ia tak menyadari ada sebuah batang kayu dari depan datang dengan cepat. Alta menyadari saat menatap batang itu wajahnya langsung terkena batang pohon yang di gantung, pangkalnya ada di tali yang diinjak Alta tadi. Alta terpental dengan wajah sakit dan hidung berdarah. Alta mengaduh, saat menyadari bahwa hidungnya mengeluarkan darah segar seperti mimisan, dan matanya sedikit berkunang-kunang. Alta berulang kali menggelengkan kepalanya agar matanya bisa terbuka, saat itu tangan kirinya yang membawa bendera biru diinjak dengan kuat oleh seseorang. Kemudian bendera yang ia pegang diambil karena genggamannya terlepas. Alta berteriak saat itu karena merasakan lengannya yang terinjak sangat sakit. Beberapa detik Alta tak sadarkan diri karena menahan rasa sakit itu, kemudian ia menyadarkan dirinya sendiri. Ia membuka mata, belum bangkit, melihat langkah seseorang menjauh darinya. Refleks tangan kanannya mengambil kapak tombak di punggungnya, lalu meleparkan kapak tombak itu secera kencang. Kepala kapak itu mengenai kaki kanan seseorang peserta yang membawa bendera itu, peserta itu kaget dan terjatuh. Melihat kondisi itu, Alta bangkit, berlari dan langsung menahan peserta itu dengan duduk diatas tubuhnya. Seorang pemuda seusia dengan Alta. Alta menduduki bagian perutnya, kaki kananya menginjak tangan kirinya untuk menahan pergerakan, ia yakin kaki peserta itu belum bisa bergerak akibat dari kapak tombaknya yang terpental sedikit. “Menjauh dari tubuhku!” seru peserta itu sambil berusaha memberontak melepaskan diri dari Alta. “Diam!” Alta ikut berseru pada peserta itu, ia meminta Alta melepaskannya atas apa yang ia lakukan pada Alta membuat wajah dan hidungnya berdarah untung saja tulang lengannya tak mengalami cedera hanya ngilu saja. “Aku sudah mendapatkan bendera ini lebih dulu, ini milikku,” kata peserta itu. Alta tak peduli, ia kemudian menginjak tangan kanan peserta itu dengan kaki kirinya, lalu melihat tanda pengenal peserta itu. Tobi, dari provinsi ke-38 kota Vandikan. Lagi-lagi peserta dari kota yang kaya. Setiap mengetahui bahwa kebanyakan peserta dari ujian itu adalah orang berpunya, Alta nampak muak, kenapa mereka mengikuti ujian itu bukankah mereka memiliki banyak untuk, kenapa tak menyerah saja, agar orang-orang miskin yang mendapatkan pekerjaan dan hidup yang juga layak. Setelah itu Alta meremas dan menggenggam tangannya dengan kencang, kemudian ia memukulkan wajah peserta bernama Tobi itu berulang kali, awalnya Tobi masih sadar dan berusaha melawan, tapi entah pukulan yang keberapa Altra tak ingin tubuh Tobi tak bereaksi dengan bibir dan hidung yang mengeluarkan darah. Alta masih memukul meskipun tangannya sudah terasa kebas, kemudian ia berhenti dan mengibaskan tangannya beberapa kali untuk menghilangkan rasa kebas itu. Ia tak ingin melihat wajah Tobi. Ia mengambil bendera biru itu, bangkit dan mengambil kapak tombaknya, sebelum berlalu pergi dengan sisa tenaganya ia menendang dengan kencang tulang paru-paru Toni, mungkin ada yang patah. Disaat seperti itu sekilas nampak kesal, bukan atas perlakuan Tobi yang melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan, ia tak tahu itu melanggar aturan atau tidak, tapi tetap saja ia kesal. Darah di hidungnya sudah habis dan mulai mengeris di dekat bibir dan di punggung tangan, setelah itu Alta berjalan menjauh dari sana. Ia mendapat bendera itu, dengan mengorban satu nyawa orang lagi. Ia tak mungkin menyesal, karena memang seharusnya ia melakukan hal itu. Malah ia kesal, karena Tobi adalah salah satu peserta dari provinsi kaya dan kota kaya, ia tahu kota itu. Orang-orang kaya yang sudah memiliki kehidupan nyaman masih saja mempersulit keadaan, Alta tak tahu apakah mereka bisa mendapatkan hak istimewa atau tidak, yang pasti ia tak suka dengan cara licik seperti itu. Mereka adalah orang kaya yang terlahir dari keluarga berada, hidup nyaman, tak mengerti rasanya berjuang. Melakukan hal kotor tanpa berani menyerang empat mata, jika menyerang dalam keadaan benar-benar siap kemungkinan juga Alta akan kesulitan, tapi tak harus melakukan kecurangan. Berbeda dengan orang miskin, yang dari kecil tak memiliki apapun berusaha agar bisa hidup. Sampai di tempat ujian itu bahkan masih berani bertarung satu lawan satu, seperti halnya yang terjadi pada Alta. Namun, ia kini sudah tak mau peduli, ia sudah mendapatkan bendera biru tanda lolos babak kedua, ia hanya menunggu babak selanjutnya berjalan. Entah berapa lama lagi ia harus menunggu sampai ujian babak kedua berlangsung, karena ini masih hari pertama dan masih sore belum malam hari. *** Sementara itu di tempat berbeda, Rui teman asrama Andreas yang berasal dari provinsi ke-16 kota Bambu tengah sampai di titik koordinat yang ditentukan, ia sampai di sana sore hari saat malam mungkin sekitar dua jam lagi akan datang. Tak berapa lama saat sampai di sana, Rigel pun datang. Rui yang melihat kedatangan Rigel sedikit kaget begitupun Rigel. Rigel tak menyangka bahwa musuhnya di babak kedua ini harus Rui. Untuk beberapa saat Rui dan Rigel hanya saling terpaku dan diam, tak tahu harus apa yang mereka lakukan. Satu diantara mereka harus mendapatkan bendera biru itu dan lainnya harus kalah. Kemudian Rigel mengambil bendera biru itu dari batang pohon, setelahnya meletakkan ditangan Rui. Rui yang melihat itu bingung, ia tak tahu harus berbuat apa. “Apa maksudnya ini, Rigel?” tanya Rui bingung melihatr Rigel memberikan bendera biru itu padanya. “Pergilah, bawa bendera itu. Aku akan mengakui kekalahan,” ujar Rigel sambil tersenyum pada Rui. “Tidak, kau gila!” seru Rui. “Aku tak mungkin membiarkanmu kalah, Rigel.” “Hanya satu diantara kita yang lolos babak ini, bukan dua orang,” kata Rigel lagi. “Ta... tapi,” ucap Rui terpotong. “Sudah bawa pergi bendera itu, sebentar lagi akan malam. Cari tempat aman.” Setelah mengatakan itu Rigel mengkonfirmasi kekalahannya pada hologram ditangannya, hologram dan tanda pengenalnya pun mati. Melihat hal itu Rui tak habis pikir apa maksudnya, ia tak mungkin meninggalkan Rigel sendiri mengalah, hal yang jauh lebih buruk akan terjadi nantinya. “Aku akan menunggumu di sini sampai kau dijemput nanti,” ujar Rui. “Tidak perlu, pergilah. Dan menangkan ujian ini, aku yakin padamu,” kata Rigel. Rui hanya mendengarkan tanpa peduli. “Pergilah!” Setelah mendengarkan perintah Rigel yang kencang itu, mau tak mau Rui pun pergi dari sana. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, karena dengan cepat Rigel memberikan bendera itu padanya. Dengan mata yang sedikit berkaca-kaca Rui meninggalkan Rigel. Ia merasa kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya. Perlahan tapi pasti Rui meninggalkan Rigel kini tanpa menoleh lagi kebelakang, apa yang sbenarnya terjadi pada Rigel, apa ia sudah lelah dengan semua ujian itu atau karena ia tak ingin bertarung dengan dirinya. Rigel sejak dulu memang sudah begitu peduli pada Rui, sejak Rui tinggal dan hidup bersama dengan keluarganya. Rui baginya sudah seperti adik sendiri yang sangat ia sayangi. Saat ini Rigel hanya bisa menunggu dengan pasrah, ia memang harus melakukan ini cepat atau lambat, ia ingin melihat Rui menang bagaiamapun caranya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN