Bab2

921 Kata
Di sebuah bar yang nampak begitu ramai terlihat di sudut meja dekat jendela seorang Arfandi Leo Mawardi yang nampak duduk menikmati minuman di dalam gelas sloki yang dipegangnya. Di depan meja di hadapannya sudah terdapat satu botol minuman yang sudah kosong dan satu botol yang hanya tersisa setengah isinya. Seorang pria terlihat berjalan menghampiri meja tersebut dan duduk di hadapan Leo. “Gue baru terlambat lima belas menit dan lo udah ngabisin satu botol penuh,” ujar pria tersebut menatap takjub pada Leo. Pria yang duduk di hadapan Leo saat ini adalah Mario Dewandra sahabat baiknya yang juga bekerja sebagai sekretaris saat ini. Mario menatap Leo lekat, memperhatikan sahabatnya yang nampak terdiam dengan pandangan kosong sambil terus meneguk minuman yang ada di tangannya itu. Ia tentu saja menyadari bahwa ada banyak hal yang berputar di dalam kepala sahabatnya itu. “Nyokap sama adik lo masih belum mau ngomong sama lo?” Tanya Mario setelah dari tadi hanya diam memperhatikan Leo beberapa menit. Mendengar pertanyaan sahabatnya itu membuat Leo menghembuskan nafas kasar dan meletakkan gelas sloki yang ada di tangannya ke atas meja. Ia memijat pelipisnya sambil terus menghela nafas beberapa kali. “Gue nggak tahu gimana lagi cara buat ngebujuk nyokap, apalagi ini udah enam bulan, tapi dia masih aja bersikap cuek. Tiap kali ketemu, dia cuma mau ngomong satu dua kata terus langsung pergi gitu aja,” cerita Leo. “Bahkan adek gue Sophia lebih parah. Enam bulan ini dia sama sekali nggak bicara sama gue dan langsung menghindar tiap kali kita berpapasan di rumah,” lanjut Leo. Peristiwa malam itu benar-benar memberikan rasa tidak nyaman bagi hidup Leo dan keluarganya. Berbeda dengan Ayahnya yang memarahinya dan menasehatinya habis-habisan setelah kejadian itu, Ibunya malah memilih diam dan sama sekali tidak berbicara padanya. Tentu saja hal itu malah lebih membuat Leo merasa takut dan tidak nyaman. Jika disuruh memilih, ia lebih baik dimarahi dan dipukuli habis-habisan oleh Ibunya dibanding didiamkan selama ini. “Udahlah, lo tenang aja bro. Gue yakin seiring berjalannya waktu nyokap lo bakal luluh dan maafin lo. Si Jelita itu udah pergi dan nggak pernah muncul lagi kan? Jadi gue rasa hidup lo bakal aman kedepannya dan nggak akan ada masalah lagi. Soal keluarga lo, cepat atau lambat mereka pasti bakal maafin lo kok,” ujar Mario berusaha menghibur Leo. “Semoga aja,” ujar Leo penuh harap sambil kembali meraih gelas slokinya dan menikmati minumannya itu. Mario sudah akan meraih gelas sloki baru untuk ikut menemani Leo minum, namun pergerakannya terhenti saat ia merasakan ada dering notifikasi dari ponselnya yang berada di saku celananya. Mario segera mengeluarkan benda pipih itu dan melihat layarnya dengan serius. Ia membaca pesan yang masuk di ponselnya itu dengan wajah dongkol. “Ada-ada aja deh kakak gue nih. Masa ngidam makan ayam lalapan jam segini, mana lalapan yang dia mau adanya di Bekasi lagi,” gerutu Mario dengan nada kesal. Leo tentu saja tertawa mendengar gerutuan sahabatnya itu. Kakak perempuan Mario saat ini memang tengah hamil dan suaminya berada di luar kota untuk keperluan dinas selama dua bulan. Itulah sebabnya Mario sering menjadi sasaran kakaknya ketika sedang mengidam. “Baru jam delapan bro. Jam segini udah nggak terlalu macet kok buat ke Bekasi” ujar Leo dengan nada santai, berusaha menghibur Mario. Mendengar hal itu Mario segera berdiri dan menarik tangan leo. “Kalau gitu, lo temenin gue beli ayam lalapan pesenan kakak gue.” Leo tentu saja terkejut dengan perkataan Mario. Namun, belum sempat ia menolak, pria itu sudah menyeretnya keluar dari bar tersebut menuju area parkiran. Karena kondisinya yang sudah minum cukup banyak, Leo akhirnya tidak memiliki tenaga untuk melepaskan diri dari Mario dan dengan terpaksa mengikuti sahabatnya itu mencari pesanan makanan kakaknya yang sedang mengidam. ***** Leo mendengus kesal menatap Mario yang tengah asyik menikmati ayam penyetan dihadapannya ini. Rasa mabuk leo langsung hilang karena perjalanan panjang dari Jakarta Selatan menuju Bekasi hanya untuk membeli pesanan kakak perempuan Mario. “Lo ngapain diem aja sih. Cepetan makan, biar kita bisa langsung balik habis ini,” ujar Mario menyuruh Leo untuk menghabiskan makanan miliknya. Karena lelah menyetir, Mario memutuskan tidak hanya memesan makanan untuk kakaknya melainkan juga ikut memesan makanan bagi dirinya dan Leo yang langsung mereka makan di tempat. “Gue nggak nyangka sambal di warung ini ternyata enak banget lo bro,” ujar Mario yang bersemangat menghabiskan makanan di hadapannya. Leo hanya bisa mendengus kesal dan segera menyantap makanan miliknya. Setelah perjalanan panjang diculik oleh Mario hingga ke Bekasi, Leo tentu saja juga merasa cukup lapar dan perlu mengisi energinya sebelum melampiaskan kemarahannya pada Mario. Namun, baru saja tangan Leo akan menyuapkan nasi ke mulutnya, pergerakannya langsung terhenti saat matanya melihat seorang wanita yang sangat ia kenali baru saja masuk ke dalam warung tempatnya makan. Ia tentu saja semakin syok saat melihat kondisi tubuh dari wanita itu, dimana bentuk perutnya nampak buncit, berbanding terbalik dengan kondisi perutnya yang masih rata enam bulan yang lalu. Mario tentu saja menyadari Leo yang tiba-tiba terdiam kaku dengan wajah yang nampak syok dan pucat pasi. “Lo kenapa si bro?” tanya Mario kebingungan. Ia kemudian segera membalikkan badannya untuk melihat ke arah yang sedang dilihat Leo saat ini. Mario tentu saja ikut syok saat tahu siapa yang sedang dilihat oleh sahabatnya itu. Dimana di depan pintu warung makan yang mereka datangi ini, ada dua orang wanita yang berdiri di depan pintu, dimana salah satu wanita tersebut dalam kondisi hamil. “Ce..ce..cewe yang hamil itu bukannya Jelita ya,” ujar Mario yang terbata-bata karena masih syok dengan apa yang dilihatnya saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN