Bab 3

845 Kata
Melihat pria yang selama enam bulan ini berusaha ia lupakan berada beberapa meter di hadapannya membuat rasa takut mulai menyerang dirinya. Tangan Jelita refleks memeluk perut buncitnya, seakan ingin memberikan perlindungan pada anaknya tersebut dari segala kemungkinan buruk yang akan terjadi. “Jelita, kamu kenapa?” Tanya Santi yang nampak khawatir melihat Jelita yang ekspresi wajahnya begitu ketakutan saat ini. Ia bahkan bisa merasakan tubuh wanita hamil disampingnya itu tengah bergetar hebat. “San, ki..ki..kita makan di tempat lain aja ya,” ujar Jelita dengan suara bergetar. “Tapi kena…” Sebelum Santi menyelesaikan perkataannya, Jelita sudah meraih tangan wanita itu dan menariknya keluar dari warung lesehan tersebut. Langkah Jelita nampak terburu-buru dan hampir seperti berlari. “Jelita, kamu kenapa sih?” Tanya Santi yang mulai tertular kepanikan Jelita. Ia bahkan mulai khawatir dengan langkah Jelita yang begitu cepat berjalan. “Pelan-pelan aja jalannya, nanti kalau kamu jatuh gimana?” nasehat Santi berusaha memperingatkan Jelita. Perkataan Santi sama sekali tidak digubris oleh Jelita saat ini, karena yang ada dipikirannya sekarang adalah segera pergi dari tempat ini dan memastikan bahwa pria itu tidak akan bertemu dengan dirinya lagi. Namun, harapan Jelita sepertinya hanyalah harapan semu. Dibelakangnya saat ini terlihat dua orang pria yang sedang berlari cepat mengejar dirinya. Santi segera memalingkan wajahnya ke belakang dan menyadari bahwa ada dua orang pria yang tidak dikenal tengah mengikuti dirinya dan Jelita saat ini. “Kamu kenal mereka?” Tanya Santi yang mulai merasa takut. Jelita tetap tidak menjawab dan malah mempercepat langkahnya agar bisa menghindari pria yang tengah mengejarnya saat ini. Namun kondisinya yang tengah hamil membuat usahanya tentu saja sia-sia, kecepatan larinya tentu tidak sebanding dengan dua pria yang mengejarnya itu. Langkah Jelita langsung berhenti tiba-tiba saat seseorang muncul dan berdiri di hadapannya. Untung saja Santi dengan cepat menahan tubuh Jelita agar tidak kehilangan keseimbangan. Ia kemudian menatap tajam ke arah pria yang berdiri di hadapannya dan Jelita saat ini. “Mas mau ngapain sih ngejar-ngejar saya dan temen saya? Awas aja kalau ngelakuin hal macem-macem ya, saya nggak segan-segan teriak,” bentak Santi dengan nada kesal berusaha mengancam pria di hadapannya itu. Mengabaikan perkataan Santi, pria itu malah menatap lurus pada Jelita dengan tatapan datar. “Kamu hamil?” Tanya pria itu dengan nada tajam. Jelita berusaha menghindari tatapan pria di hadapannya ini, yang tidak lain adalah Leo Mawardi, ayah dari anak yang dikandungnya saat ini. Ia tentu tidak bisa menyembunyikan perasaan kalut dan takutnya. Santi yang tengah memegang tangan Jelita tentu saja menyadari ketakutan wanita itu dan bisa merasakan keringat dingin yang membasahi telapak tangannya. “Jawab pertanyaan saya?” bentak Leo mulai menatap marah pada Jelita. “Woy Mas, apa-apaan sih bentak temen saya? Punya sopan santun nggak?” Tanya Santi yang ikut berteriak keras di hadapan Leo Mawardi. “Ini bukan urusan kamu,” ujar Leo dengan nada tajam ke arah Santi sebelum kembali menatap Jelita. Mario dengan terburu-buru menghampiri Leo dan menepuk pelan bahu sahabatnya itu. “Bro, plisss kendaliin diri lo,” ujar Mario memperingatkan Leo agar tidan emosi. Mario kemudian menatap ke arah Jelita dengan tatapan yang lebih ramah dibandingkan Leo. “Sorry Jelita, Leo Cuma pingin nanya kebenarannya sama kamu. Apa anak yang kamu kandung ini anak……” “Bukan,” jawab Jelita dengan nada tegas memotong perkataan Mario. Entah kenapa saat Mario menyebutkan anak di dalam kandungannya, keberanian seakan muncul dalam diri Jelita. Ia berani menatap lurus pada Leo setelah dari tadi hanya menunduk takut sambil memeluk perut buncitnya. “Ini anak saya dan hanya anak saya,” lanjut Jelita. Leo tertawa sinis mendengar jawaban Jelita. “Kamu pikir saya bodoh? Pasti kamu mau jadiin bayi di dalam kandungan kamu ini alat untuk memeras saya dan keluarga saya kan? Dasar perempuan licik.” Santi merasa semakin marah mendengar perkataan pria dihadapannya ini, ia kemudian menginjak kaki Leo dengan sekuat tenaga untuk melampiaskan kekesalannya. “Aaaakkkhhhh,” teriak Leo kesakitan. “Jelas-jelas kamu nggak tahu permasalahan diantara kami, ngapain ikut campur?” bentak Leo yang mulai murka sambil meringis kesakitan. Untung saja Mario masih berusaha menahan sahabatnya itu agar tidak sampai memukul seorang wanita. Apalagi posisi mereka saat ini berada di area publik yang dimana banyak orang yang berlalu lalang. “Saya nggak tahu apa permasalahan kamu sama Jelita. Tapi yang pasti sebagai seorang sahabat, saya nggak terima kamu menghina sahabat saya,” jelas Santi menatap Leo dengan tatapan menantang, sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Jelita segera memegang lengan Santi, seakan memberi kode pada temannya itu untuk bersikap tenang. Pandangannya masih lurus menatap Leo lekat. “Saya nggak peduli bagaimana pemikiran anda tentang saya saat ini, yang pasti setelah hari saya keluar dari rumah anda kita hanyalah orang asing. Kondisi saya dan anak dikandungan saya bukanlah urusan anda.” Setelah mengatakan hal itu Jelita segera menarik tangan Santi dan berjalan pergi dari tempat itu. Ia tidak ingin terlalu lama berhadapan dengan pria yang sudah menghancurkan hidupnya dan menganggap dirinya hanyalah perempuan rendahan. Kepergian Jelita dari hadapannya entah kenapa bagaikan pukulan keras bagi Leo saat ini. Ada perasaan mengganjal di dalam hatinya saat melihatpunggung Jelita yang melangkan menjauh darinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN