Santi terlihat berjalan dari area dapur kecil di kamar kos Jelita sambil membawa segelas air hangat. Dengan pelan ia menghampiri Jelita yang duduk di atas ranjangnya dengan kepala menunduk menatap perut buncitnya, ia kemudian menyodorkan gelas yang dipegangnya itu pada Jelita.
Jelita tersenyum tipis menerima gelas yang diberikan Santi padanya. “Makasih,” ucap Jelita sebelum meminum air hangat di dalam gelas tersebut.
Santi kemudian duduk di samping Jelita dan menatap iba wanita hamil di sampingnya itu. “Jadi cowok tadi ayah anak kamu ini?” Tanya Santi dengan nada pelan.
Pertanyaan Santi membuat Jelita berhenti minum dan menjauhkan gelas dari bibirnya. Ia hanya diam dengan kepala yang semakin dalam menunduk.
“Maaf Jelita, aku nggak bermaksud bikin kamu sedih ataupun marah. Anggap aja aku nggak pernah nanyain hal itu ya,” ucap Santi yang merasa panik jika pertanyaannya tadi menyinggung Jelita.
Jelita berusaha untuk tersenyum tipis pada Santi sambil memberikan gelengan pelan. “Aku nggak marah kok San. Aku cuma masih nggak nyangka aja setelah enam bulan menjauh dari pria itu, kondisi aku ini malah semakin membuat dia menghina aku.”
Santi segera merangkul Jelita dan mengusap lembut bahu wanita itu. “Udah,udah nggak usah dipikirin lagi omongan cowok brengs3k itu,” hibur Santi. “Dia berani ngehina kamu tanpa sadar diri kalau dia itu cuma cowok pengecut yang lari dari tanggung jawab dan melimpahkan kesalahannya ke orang lain. Malah dia itu nggak pantas disebut laki-laki, harusnya disebut banci,” lanjutnya menggerutu kesal ketika mengingat kembali perlakuan pria itu pada Jelita.
Mendengar perkataan Santi membuat Jelita hanya bisa semakin menunduk menatap sendu perut buncitnya. Dibanding memikirkan penghinaan yang dilakukan Leo Mawardi pada dirinya, Jelita malah memiliki berbagai pemikiran dan rasa takut setelah hari ini pria itu sudah mengetahui kehamilannya.
Bagaimana jika pria itu akhirnya malah kembali datang dan ingin melenyapkan anaknya ini? atau bagaimana jika keluarga pria itu tahu tentang kehamilannya dan bertekad akan merebut anaknya ini?
Semua pemikiran itu membuat Jelita semakin ketakutan jika keluarga Mawardi mengetahui tentang kehamilannya. padahal dari awal ia ingin hidup tenang dan membesarkan anaknya seorang diri, sama sekali tidak ada dalam pikirannya untuk memanfaatkan kehamilannya demi memeras keluarga Mawardi.
Melihat Jelita yang hanya diam saja dan terus memandangi perutnya membuat Santi menyadari bahwa pikiran wanita itu sedang sangat kalut saat ini. Ia tahu Jelita tentu memiliki banyak ketakutan dalam dirinya setelah bertemu dengan pria yang sudah menghamilinya itu.
Dering ponsel tiba-tiba berbunyi ditengah kesunyian antara Jelita dan santi yang sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Begitu menyadari bahwa yang berdering adalah ponselnya, Santi segera meraih benda pipih itu dan melihat ke layar ponselnya.
Setelah kembali ke kos mereka, Santi memutuskan memesan makanan di aplikasi online karena mereka yang belum sempat makan tadi. Ia tentu tidak ingin Jelita tidur dalam keadaan perut kosong disaat kondisi wanita itu sedang hamil saat ini.
“Jangan terlalu dipikirin ya Jelita. Mending kita makan malam dulu sekarang, aku keluar ambil makanan dulu ya.”
Santi segera berjalan keluar kamar hendak mengambil pesanan makanan untuknya dan Jelita, meninggalkan Jelita yang masih terjebak dalam pikiran dan rasa takutnya.
Tangan Jelita terus bergerak mengusap perut buncitnya.
“Sayang, mama harus gimana sekarang? Mama nggak mau keluarga Mawardi ataupun pria itu menyakiti kamu. Mama akan lakuin apapun untuk kamu dan mastiin kalau pria itu nggak bisa memisahkan Mama dan kamu” ujar Jelita berbicara dengan bayi di dalam kandungannya itu.
*****
Mario yang tengah fokus menyetir mobil beberapa kali melirik ke arah kursi mobil disampingnya yang saat ini diduduki oleh Leo Mawardi. Pria itu terlihat bersandar di sandaran kursi sambil memijat pelipisnya, dimana hal itu menunjukkan betapa frustasinya pria itu saat ini.
“Sekarang gimana bro? Lo nggak mungkin diem aja kan setelah tahu kalau Jelita hamil anak lo saat ini?” Tanya Mario ingin mencari tahu apa yang dipikirkan sahabatnya itu saat ini.
Leo mendengus kesal mendengar pertanyaan yang diajukan Mario. “Gimana bisa lo yakin kalau anak yang dikandung cewe itu adalah anak gue? Bisa aja dia juga tidur sama cowo lain selain gue.” Setelah menyelesaikan kalimatnya itu tubuh Leo langsung terdorong keras ke arah depan karena Mario yang mengerem mendadak mobil yang dikendarainya.
"Lo bisa nggak sih bawa mobil yang bener," gerutu Leo dengan nada kesal.
Tanpa mempedulikan ocehan sahabatnya itu Mario langsung mengarahkan pandangan sepenuhnya pada Leo dengan tatapan tajam. “Bro, kali ini menurut gue perkataan lo itu udah keterlaluan. Gue emang nggak terlalu tahu gimana sifat si Jelita itu, tapi ini masalah serius bro. Oke bagus kalau emang itu bukan anak lo, tapi kalau ternyata itu anak lo gimana? Masa lo mau diem gitu aja.”
Leo menghela nafas berat mendengar perkataan Mario. “Gue nggak sudi punya anak dari perempuan rendahan kaya dia.”
“Ini bukan masalah sudi nggak sudi,” desak Mario yang mulai hilang kesabaran karena tingkah Leo. “Sekarang masalahnya adalah si Jelita itu udah hamil dan kemungkinan besarnya bayi yang dia kandung itu adalah anak lo. Selain itu gimana jadinya kalau keluarga lo tahu soal masalah ini?”
Leo menyadari baha perkataan Mario saat ini ada benarnya. Ia tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa yang dikandung Jelita mungkin saja memang adalah anak kandungnya. Sekalipun ia tidak sudi memiliki anak dari perempuan rendahan itu, ia tentu tidak bisa mengabaikan darah dagingnya sendiri.
“Soal kejadian malam ini, gue harap lo bisa tutup mulut dan nggak membicarakannya ke keluarga gue. Dan soal anak yang dikandung dia, gue bakal nyari tahu sendiri apa itu anak kandung gue atau bukan.”
Mario akhirnya hanya bisa mengangguk menyetujui perkataan Leo.
“Kalau ada hal yang bisa gue bantu lo bilang aja. Tapi gue mau ngingetin satu hal sama lo bro. Ini bukan masalah sepele, jadi apapun yang akan lo lakuin kedepannya, sebaiknya dipikirin baik-baik, biar lo nggak menyesal nantinya,” nasehat Mario.
Leo memberikan anggukan lalu kembali menyandarkan punggung serta kepalanya ke sandaran kursi mobil kemudian memejamkan mata. Ia butuh menenangkan pikirannya saat ini agar tidak semakin stress menghadapi masalah yang ada.
Mario akhirnya kembali mengatur posisi duduknya seperti semula dan mulai menyalakan kembali mesin mobil. Ia memutuskan kembali fokus menyetir mobil dan membiarkan Leo memiliki waktunya sendiri untuk memikirkan permasalahannya itu.