Pria Pilihan Ayasha

1286 Kata
Dion’s POV Diterima di manapun aku berada sudah hal yang biasa bagiku, tapi ditolak mentah-mentah, Ayasha, juaranya. Ini wanita yang ingin dijodohkan denganku? Keras kepala? Correct. Suka mengatur? Jelas. Bar-bar? Banget. Cantik? Iya, eh, ya, memang cantik, tapi itu tidak menggoyahkan keinginanku untuk membatalkan perjodohan ini. Sekeras apa pun aku berpikir, aku tak mendapat ide cemerlang untuk membatalkan perjodohan ini. Satu-satunya yang bisa menentukan, ya, si Ayasha, itu. Kalau saja dia menentukan keputusan untuk menolak perjodohan ini dengan alasan yang jelas, aku akan merasa lega. Namun, jika dia putus asa dan menerima perjodohan ini? Tamatlah riwayatku. Ayasha, oh, Ayasha. Makin ke sini, mengapa pikiranku dipenuhi olehnya? Bukan karena menginginkannya, tapi karena aku mencari cara agar dia mau membatalkan perjodohan ini. Alih-alih menolak perjodohan kami, dia justru menerima dengan alasan berhutang budi kepada Papa dan Mama. Putus asanya terlihat jelas ‘kan? Setelah berinteraksi dengannya beberapa hari ini, aku memilih untuk menjauhinya. Sudah kusampaikan sebelumnya, sebisa mungkin aku enggan berinteraksi intens dengan wanita, ribet. Aku sudah seperti bermain kucing-kucingan dengannya, hingga akhirnya aku tertangkap. “Mas,” panggilnya. Aku terus berlalu tak mengindahkan panggilannya. Aku merasakan sentuhan hangat di pergelangan tanganku, dengan cepat aku menghempasnya. “Mas—” “Ada apa?” Aku melihat raut wajahnya berubah menjadi sendu. “M—maaf, Mas, saya mau berterima kasih untuk cake—” “Sha, jangan salah paham. Saya tipe orang yang tidak suka berhutang budi pada orang lain. Tidak perlu berterima kasih, apa yang kemarin kamu terima itu bayaran atas makan siang waktu itu, tidak lebih,” potongku. Aku harus mempertegas ini, agar dia tak salah paham. “Tidak ada hal penting yang ingin kamu bicarakan lagi? Saya permisi, oh, ya, satu lagi. Jangan temui saya selagi kamu tidak membawa cara untuk menghentikan perjodohan kita.” “Loh, loh, Mas, kan—” Aku berlalu mengabaikannya. Begitu berbalik dan melanjutkan langkahku, aku mengulum senyum mengingat ekspresi Ayasha. Pasti sekarang dia sedang mencak-mencak mengataiku, yakinlah. Biarkan saja, dia tak boleh dibiarkan terlena dengan kebaikanku. Sore ini, aku janjian dengan sahabatku, Zero dan Lukas. Mereka mengajakku bertemu di kafe … sebentar lokasi kafe ini searah dengan rumah Ayasha. Oh, benar, ini kafe yang kemarin aku dan Ayasha datangi. Begitu menyimpan ponselku, aku melihat Ayasha bersama Ray—Rayyan? Dia tengah membuka pintu mobilnya untuk Ayasha. Aku melambatkan langkahku, siapa Rayyan ini? Kenapa dia seperhatian itu pada Ayasha? Aku menyeringai saat dia mengelus kepala Ayasha. “Dasar, tak tahu tempat,” decakku. *** “Kenapa, bro, kusut amat, tuh, muka dari tadi?” tanya Zero padaku. Sudah dua jam lebih kami duduk semeja dan mereka bercerita banyak hal, tapi aku sedang dalam mood yang kurang baik. Pertama aku memang kurang suka keramaian dan kedua … tidak bukan apa-apa, abaikan saja. “Aku pulanglah.” “Woy, kok, pulang?” Aku berdiri dan meletakkan beberapa lembar uang di atas meja. “Aku yang traktir, bye.” Kebetulan seperti apa ini? Sesampainya di parkiran, aku melihat mobil yang sama dengan mobil yang digunakan oleh Rayyan tadi melintas dan memasuki gang tempat Ayasha tinggal. Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Whatever. *** “Sayang, weekend ini kamu ke rumah ‘kan?” tanya Mama di seberang telepon. “Iya, dong. Aku udah rindu banget sama Mama.” “Kamu jahat banget, sih, udah satu kota masa Mamanya masih ditinggalin.” “Mas Nadeo nggak diomelin,” protesku. “Nadeo, ya, beda. Dia sudah punya istri dan bayi. Kamu kalau nggak mau diomelin kayak Nadeo, ya, nikah dulu dengan Aya. Ini bujang lapuk gayanya selangit.” Ya ampun, Mama, aku ini anaknya, loh. “Ma, kalau aku bujang lapuk, apa kabar dengan Mas Abi?” “Abi udah punya kekasih, dalam dekat ini katanya dia mau kenalin ke Mama dan melamar kekasihnya.” “Ya, biarin Mas Abi duluan kalau gitu, mana boleh dilangkahi.” “Jangan banyak alasan kamu. Sudahlah, Mama bete ngomong sama kamu.” “Jangan ngambek, dong, cintaku—” Tut, tut, tut! Ya, Mama beneran bete. Beliau memutuskan telepon secara sepihak. Setelah menyimpan ponselku, aku segera masuk lift menuju ruanganku. Aku memilih lift mana saja yang terbuka lebih dulu, baiklah, ternyata lift umum. Aku masuk dan menekan angka 4. Pintu yang hampir tertutup kembali terbuka dan Ayasha muncul tepat di hadapanku. “Pagi, Pak,” sapanya padaku dan aku mengangguk. “Kamu terlambat lima belas menit.” Tidak ada klarifikasi apa pun darinya. Dia mengecek jam di pergelangan tangannya, tapi tak mengatakan apa pun. “Lain kali kalau mau kencan ingat-ingat waktu, jangan—” “Syut!” Deg. Dia mendekat dan menempelkan telunjuknya ke bibirku. “Dilarang bicara dengan saya kalau Mas belum menemukan cara untuk membatalkan perjodohan kita.” Setelah mengakhiri kalimatnya, dia mengetuk bibirku dengan telunjuknya, lalu meninggalkanku. Aku menyentuh bibirku, tak percaya dengan apa yang wanita itu lakukan padaku. Lagi-lagi dia menodaiku. Bahaya, Ayasha, memang berbahaya. Siang harinya “Loh, kenapa Ayasha tidak ikut? Baiklah, berarti kita hanya bertiga? Ya, sudah apa boleh buat. Aku sih tidak heran kalau Ayasha menolak, paling dia makan di pantry lagi. Ok, bye. “Pak.” “Pak.” Panggilan Dito memecahkan lamunanku. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” “Ah, iya, Dito, tolong emailkan ke saya laporan keuangan bulan lalu, ya.” “Baik, Pak. Bapak sedang kurang fit, ya? Sejak tadi Bapak selalu termenung dan wajah Bapak memerah.” “W—wajah saya memerah?” Sialan, sejak tadi memang yang terlintas di pikiranku hanya wajah Ayasha. “Saya baik-baik saja, Dito.” Tadi, aku tak sengaja mendengar pembicaraan Dito di telepon dengan seseorang yang entah siapa. Sebentar, Ayasha sedang di pantry? Aku merasa perlu memberinya peringatan atas sikapnya yang selalu seenaknya padaku. Tanpa ragu, aku bergegas melangkah menuju pantry. “Serius, Pak?” Terdengar tawa renyah Ayasha dari dalam pantry, sedang apa dia dan dengan siapa? “Kamu cobain yang ini.” Begitu aku membuka pintu pantry, Ayasha tengah menerima suapan dari Rayyan. Dia lagi, dia lagi. Apa-apaan mereka berduaan di ruangan begini. “Siang, Pak,” sapa Ayasha. Dan Rayyan menyapaku kemudian setelah Ayasha. “Bapak cari saya?” Hei, bukan main percaya diri Ayasha ini. “Ada apa, Pak?” sambungnya. “Pak Rayyan saya undur diri, ya, terima kasih untuk makanannya.” Sekarang dia malah menarikku ke luar pantry. “Loh, Aya, sudah selesai makannya?” tanya Mas Abi. “Sudah, Pak. Sebenarnya saya juga bawa makan siang, Pak, tapi saya nggak enak dengan Pak Rayyan.” Ayasha meringis. “Ya sudah tidak apa-apa kamu boleh tinggalkan kami. Lalu, kenapa ini kalian pegangan tangan?” tanya Mas Abi menatap kami bergantian. Aku tersadar dan melepas rangkulan Ayasha pada lenganku. “Pak Dion memerlukan bantuan saya, permisi, Pak.” Lagi-lagi, aku mau-mau saja mengikuti perintah Ayasha. Aku sempat menoleh ke belakang dan Mas Abi menggeleng heran sambil masuk ke dalam pantry. Situasi apa ini sebenarnya? “Stop.” titahku. “Sini, Mas kita duduk di ruang tamu—” “Ayasha, stop!” Aku terpaksa meninggikan suaraku agar dia mau mendengarku. Dia menerjap saat aku menariknya ke ruangan meeting yang tak jauh dari tempat kami berdiri dan menutup pintu. “Kenapa kamu selalu mengatur saya?” Aku melangkah mendekatinya dan dia mundur selangkah. “Kenapa kamu selalu bersikap seperti ini pada saya?” Dia kembali mundur sambil meminta maaf. “Kenapa kamu selalu menyita perhatian saya?” Dia mengangkat pandangannya menatapku. “Kamu terlalu berbahaya untuk saya, Sha.” Tatapan sendunya seketika menjadi tegas. “Mas, tidak perlu khawatir. Saya sudah menemukan cara untuk membatalkan perjodohan kita.” Aku menyernyitkan dahi mendengar ucapannya. “Saya akan memberi kesempatan pada pria lain yang mencintai saya.” Pria lain, siapa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN