Ditolak

1379 Kata
Ayasha’s POV “Dinner.” “Heh, Dinner? Nggak bisa! Saya sudah ada janji malam ini.” “Dengan Rayyan?” “Bukan, Mas.” Aku menggeleng cepat, bahkan mempertegasnya dengan menggerakkan kedua tanganku. “Lalu?” “Saya ada acara makan malam dengan Pakde dan Bude, saya, Mas, biasanya kalau ada yang ulang tahun begini, Bude pasti masak besar.” “Ya sudah saya ikut saja, kita beli cake dulu—” “Tidak boleh!” Aku merutuki diriku, aku tak bermaksud sombong. Jujur, aku merasa tak enak hati dengan Mas Dion saat ini, tapi kalau aku ajak dia ke rumah bisa panjang ceritanya. Bagaimana aku akan menjelaskan pada Pakde dan Bude? Tak ada angin, apa lagi hujan tiba-tiba membawa lelaki ke rumah, di momen ini pula. Pasalnya aku tak pernah membawa lelaki ke rumah. “Kamu menolak saya?” “Iya, eh, tidak, eh, iya, Mas … pokoknya jangan malam ini, besok saja, ya?” “Kenapa kamu selalu mengatur saya?” Habislah aku, sudah aku bilang, aku tak ada muka lagi di hadapan Mas Dion. Lagi pula ada apa dengannya? Kenapa mendadak ngebet banget ngajakin dinner. Akhirnya Mas Dion hanya mengantarku sampai gerbang depan saja. Dua kali dia mengantarku pulang, aku tak mengizinkannya turun menyapa Pakde dan Budeku. “Sudah pulang, Sha?” Aku menghampiri Bude yang sedang menata makan malam di atas meja dan menyalami beliau. “Kamu diantar supir Bu Ara lagi?” Aku menjawab pertanyaan Bude dengan ringisan. Supir Bu Ara yang dimaksud oleh Bude adalah Mas Dion. Kemarin, saat Mas Dion mengantarku pulang malam setelah acara arisan di rumahnya, aku mengaku pada Bude bahwa aku diantar oleh supir pribadi Bu Ara. Aku begitu takut untuk memperkenalkan teman lelaki kepada Pakde dan Bude. Maafkan aku, Mas Dion. Setelah membersihkan diri, aku turun menuju ruang makan. Langkahku terhenti saat mendengar suara ketukan pintu. “Permisi.” Aku berpapasan dengan Bude dan saling menatap. “Siapa itu, Sha?” “Biar Asha yang lihat, Bude.” Begitu membuka pintu, aku melihat driver aplikasi online membawa bungkusan berisi kotak besar. “Mbak Ayasha?” “I—iya, saya, Mas.” “Ini ada kiriman dari seseorang, diterima, Mbak.” Driver itu mundur selangkah setelah menyerahkan bungkusan padaku sambil berkata. “Izin foto, ya, Mbak sebagai bukti sudah diterima.” “Loh, seseorang siapa, Mas?” “Selamat ulang tahun, Sha, semoga kebahagiaan menyertaimu. Terima kasih untuk makan siangnya. Begitu, Mbak, pesan dari yang ngirim,” ujar sang driver. Oh, ya ampun, Mas Dion. Aku jelas tahu ini dia karena tadi siang aku memang membagi makan siangku padanya dan satu hal yang membuat aku yakin adalah karena hanya Mas Dion yang memanggilku “Sha” sama seperti keluargaku. Kalau teman dan kenalan lain di luar keluarga hanya mengenal aku dengan panggilan Ayasha, ada pula Aya, dan Ay. Nah, kalau panggilan terakhir itu panggilan khusus dari Pak Rayyan. “Apa itu, Sha?” tanya Bude penasaran saat aku membawa bungkusan ke meja makan. Pakde pun tampak menunggu jawabanku. “Dari teman Bude.” “Cake ulang tahun? Wah, temannya laki-laki atau Perempuan, Sha?” tanya Bude. “Perempuan, ya, perempuan.” *** Siang ini, setelah menyantap makan siang, aku duduk di sofa tamu memainkan ponselku. Aku sengaja duduk di sini agar bisa bertemu dengan Mas Dion, aku ingin berterima kasih juga meminta maaf padanya perihal tiga hari yang lalu. Ya, sejak malam itu di mana aku menolak ajakan Mas Dion untuk makan malam bersama. Dia seperti menjauhiku, bukan menjauh, sih, memang dasarnya dia bentukkan begitu tak tersentuh. Saat aku meyambangi ruangannya Dito selalu mengatakan kalau Mas Dion sibuk. Saat berpapasan juga dia mengabaikanku. Nah, itu yang ditunggu, aku berdiri begitu melihat Mas Dion keluar dari lift direksi. “Mas,” panggilku. Dia terus berlalu tak mengindahkan panggilanku. “Mas—” Aku reflek menahan tangannya, kali ini dia berhenti menghempaskan tanganku lalu berbalik menatapku. “Ada apa?” “M—maaf, Mas, saya mau berterima kasih untuk cake—” “Sha, jangan salah paham. Saya tipe orang yang tidak suka berhutang budi pada orang lain. Tidak perlu berterima kasih, apa yang kemarin kamu terima itu bayaran atas makan siang waktu itu, tidak lebih.” Mas Dion ini, loh, paling jago mengiris hatiku, apa tidak bisa bicara lebih lembut sedikitkah? Aku ini wanita, loh, heran aku, tuh. “Tidak ada hal penting yang ingin kamu bicarakan lagi? Saya permisi, oh, ya, satu lagi. Jangan temui saya selagi kamu tidak membawa cara untuk menghentikan perjodohan kita.” “Loh, loh, Mas, kan—” Mas Dion berlalu mengabaikanku. Ingkar janji, katanya mau cari cara berdua, dasar es balok. Sore ini sepulang kerja, Lita mengajakku ngopi bareng. padahal aku bukan tim kopi, tapi aku terima saja ajakannya. Aku dan Lita turun bersama ke lobi. Lita ini sekretaris Mas Nadeo, dia bekerja di sini tepat di saat Mas Nadeo menjabat sebagai CEO menggantikan Pak Aditama yang pensiun. “Aya, nanti kita bareng, Pak—” “Ay.” Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku. Pak Rayyan? Aku mengalihkan pandanganku pada Lita yang sedang meringis. Jelas ini pasti jebakan untukku. “Kalau kamu kabur, aku juga bakal ninggalin Pak Rayyan di sini,” bisikku pada Lita. “Nggak, aku ikut kok, tenang, Bebeb.” Lita mengelus punggungku sambil berjalan ke mobil Pak Rayyan. “Masuk, Ay.” Pak Rayyan membuka pintu mobil bagian depan untukku. “Sebentar, Ay.” Aku membulatkan mataku saat Pak Rayyan menyentuh rambutku dengan sebelah tangannya. “Ada hewan kecil.” Dia tersenyum lebar. “Sore, Pak Dion,” sapa Lita membuat aku menoleh ke arah belakang. Pak Rayyan juga ikut menyapa Pak Dion. “Sore,” jawabnya alakadar. “Sore, Pak.” Aku ikut menyapanya, bukannya menjawab dia malah menghadiahiku dengan tatapan tajam, dan berlalu begitu saja. Sabar, Sha, sabar. Akhirnya kami bertiga sampai di sebuah kafe yang sedang hits saat ini. Lita bilang di sini kopi dan pilihan makanannya enak. “Kamu tahu kafe ini dari mana, Li?” tanyaku sambil menelisik seisi kafe yang tampak ramai. “Temanku kerja di sini, tuh, orangnya.” “Rey.” Lita meninggikan suaranya memanggil temannya yang sekarang tengah menghampiri meja kami. Teman Lita yang bernama Rey itu menyapa aku dan Pak Rayyan. Dia bahkan ikut duduk bersama kami. Aku melihat interaksi Pak Rayyan dengan Rey, Pak Rayyan ini tipe orang yang cepat akrab, se-humble itu dia. Padahal beliau anak salah satu pengusaha tersohor di kota ini, satu hal itulah yang membuat aku kagum padanya, low profile. Kagum saja, loh, ya, tidak lebih. Aku tahu dia sedang berusaha mendekatiku. Aku tak se-naif itu, aku tahu dia menyukaiku, tapi aku memang tak memiliki perasaan apa pun terhadapnya. Aku enggan diajak jalan, makan berdua atau sekedar diantar pulang, sebisa mungkin aku menghindar. Tidak untuk hari ini, sudah aku bilang ini jebakan. Terpaksa malam ini Pak Rayyan yang mengantarku pulang. Saat ini kami berada di mobil yang sama. Lita berpisah dengan kami, dia akan pergi bersama Rey setelah ini. “Kita makan malam, ya, Ay—” “Tidak perlu, Pak, langsung pulang saja.” “Kamu ini, masih saja menolak saya.” Aku meringis. “Lain kali saja, ya, Pak,” pintaku dan beliau mengangguk pasrah. *** Aku berlari mengejar pintu lift yang perlahan menutup. Huh, aku bernapas lega saat pintu kembali terbuka, aku masih sempat menahannya. Begitu pintu terbuka lebar, mataku membulat saat melihat seseorang yang berada di dalamnya. “Pagi, Pak,” sapaku pada Pak Dion. Beliau tidak menjawab hanya mengangguk, heran, ini kulkas berapa pintu dingin amat. “Kamu terlambat lima belas menit.” Suara baritonnya memecahkan keheningan. Aku melirik jam yang melingkar di tanganku. Benar, aku terlambat lima belas menit, tapi aku terlambat bukan karena lalai dalam pekerjaan. Aku terpaksa merubah rute perjalanan ke kantor saat Pak Abi memintaku mengambil dokumen yang tertinggal di rumahnya. Pagi ini Pak Abi langsung menyambangi kantor salah satu klien untuk meeting, dan aku diminta untuk mempersiapkan pertemuan selanjutnya di kantor setelah urusan Pak Abi dengan klien pagi ini selesai. “Lain kali kalau mau kencan ingat-ingat waktu, jangan—” “Syut!” Aku menempelkan telunjukku ke bibirnya. “Dilarang bicara dengan saya kalau Mas belum menemukan cara untuk membatalkan perjodohan kita.” Setelah mengakhiri kalimatku, aku mengetuk bibirnya dengan telunjukku, lalu meninggalkannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN