Ayasha’s POV
“Mas, tidak perlu khawatir. Saya sudah menemukan cara untuk membatalkan perjodohan kita.”
“Saya akan memberi kesempatan pada pria lain yang mencintai saya.”
Lagi-lagi aku asal bicara. Tidak sepenuhnya asal, sih, aku memang mulai mencoba membuka hati untuk Pak Rayyan.
Siang ini, Pak Rayyan datang membawa makan siang untuk aku dan Pak Abi, lalu kami makan bersamanya di pantry. Di tengah makan bersama, Pak Abi izin menerima panggilan telepon.
Pak Rayyan bilang, dia makan siang di sini karena aku selalu menolaknya. Kemarin, dia sengaja mengajak Lita agar bisa pergi bersamaku dan hari ini dia rela jauh-jauh ke sini untuk sekedar makan siang bersamaku meski harus bersama Pak Abi. Dia melakukan semua ini karena ingin punya kesempatan untuk lebih dekat lagi denganku.
Mas Dion terdiam sesaat setelah mendengar ucapanku.
“B—bagus. Siapa? Maksud saya, siapa pria yang mencintai kamu?”
“Mas nggak perlu tahu.”
“Oh, okey, never mind, tapi kamu juga mencintai lelaki itu?”
“Mas … jangan kepo, deh, saya udah mutar-mutar cari cara ini, udah nurut aja.” Aku mendorong tubuh Mas Dion dan melewatinya.
“Udah, ya, Mas, saya mau lanjut makan. Masih lapar, tadi cuma makan sedikit.”
“Saya bahkan belum makan.”
“Saya nggak nanya, bye, Mas.”
Begitu keluar dari ruangan meeting aku berpapasan dengan Pak Rayyan yang tampak bingung melihat aku keluar dari ruangan meeting berdua dengan Mas Dion.
“Pak Rayyan mau kembali ke kantor?” Pak Rayyan menatap aku dan Mas Dion bergantian.
“Iya, ada panggilan mendadak. Saya duluan, ya, Ay.” Aku membulatkan mataku saat Pak Rayyan mengelus pipiku dengan sebelah tangannya. “Terima kasih sudah mau menemani saya makan siang.”
“Permisi, Pak Dion.”
Begitu Pak Rayyan pergi, aku juga melanjutkan langkahku menuju meja kerjaku. Namun, langkahku terhenti saat Mas Dion menahanku.
“Jangan bilang dia pria yang kamu maksud?”
Aku tak menjawab dan pergi meninggalkan Mas Dion.
***
Setelah memutuskan untuk membuka hati pada Pak Rayyan, kami sering bertemu di luar jam kerja. Aku tak lagi menghindar saat dia dengan sengaja menjemputku pulang kerja atau mengajakku keluar untuk jalan bersama.
Aku juga sudah tak bertemu Pak Dion, kalau berpapasan saat di kantor, ya, pasti ada. Maksudku kami tak lagi mempermasalahkan perihal perjodohan. Dia juga tak mengusikku lagi dengan bolak-balik bertanya tentang cara membatalkan perjodohan.
“Kita makan dulu, mau?” tanya Pak Rayyan saat mobilnya meninggalkan parkiran kantor.
“Boleh, Pak.” Pak Rayyan tersenyum.
“Saya ‘kan sudah bilang kamu tidak perlu panggil saya ‘Pak’ di luar jam kerja, Ay.”
“M—mas? Saya boleh panggil, Mas?”
“Sounds good.”
“Kamu ada alergi makanan tertentu, Ay?”
“Nggak, Mas. Saya pemakan segalanya,” ujarku membuat Mas Rayyan terkekeh.
“Okey, saya mau ajak kamu makan seafood, dijamin kamu suka.”
Benar kata Mas Rayyan, menu makanan di sini enak, aku suka. Jelas saja enak harganya saja fantastik, orang kaya, mah, bebas, ya.
“Ay.”
“Ya, Mas?”
Mas Rayyan menggenggam tanganku. Aku berusaha menarik, tapi dia menahannya.
“Saya yakin kamu tahu bagaimana perasaan saya pada kamu. Saya ingin menjalani hubungan yang serius dengan kamu, Ay.”
“Iya, saya tahu. Saya juga yakin, Mas, paham dengan penerimaan saya belakangan ini terhadap Mas. Saya ingin belajar membuka hati saya, tapi saya tidak bisa menjanjikan apa pun untuk saat ini. Mas Rayyan mau atau tidak meyakinkan saya, bahwa pilihan saya ini tepat?”
Mas Rayyan tersenyum.
“Saya selalu suka dengan ketegasan kamu. Saya akan menyakinkan kamu bahwa saya pantas untuk kamu.”
“Terima kasih, ya, Mas.”
Ditempat lain
“Udah, dong, Cintaku, ngambeknya.”
“Ngomong aja, Dion, kamu ada perlu apa?” ujar Ara seolah tahu Dion meneleponnya karena ada maunya.
“Kok, Mama tahu, sih.” Terdengar tawa sumbang di seberang telepon. “Ma, kirimin Dion ART, dong, buat bersihin apartemen dan belanja kebutuhan dapur. Nanti Dion transfer ke Mama, jadi mbaknya pas ke sini udah belanja. Terus minta tolong masakin Dion kayak kemarin itu, loh, Ma, disimpan di freezer jadi Dion tinggal eksekusi akhir.”
“Lebihin buat Mama kalau transfer,” jawab Ara ketus.
“Oh, so pasti. Thank you, cintaku—”
Tut, tut, tut!
Mama, oh, Mama.
Back to Ayasha’s POV
“Malam, Bu,” sapaku saat menjawab panggilan telepon dari Bu Ara.
“Malam, Sayang, besok kamu jadi ke rumah ‘kan?”
“Jadi, Bu, ada perlu sesuatu, Bu?”
“Besok, paginya kamu mampir ke apartemen Dion, bisa? Bantu dia beberes apartemennya, Bibi di sini besok pada sibuk. Nanti sorenya kamu bareng masmu saja ke sini. Dia mau menginap di sini katanya.”
“B—baik, Bu.”
Lihatlah, aku tak bisa menolak permintaan dari Bu Ara. Padahal sebelumnya dia hanya mengundang makan malam bersama di rumahnya, dan aku menawarkan bantuan untuk membantu menyiapkan hidangan. Namun, malam ini beliau malah memintaku untuk membantu anak bungsunya, pria yang dingin tak tersentuh itu.
Dan, ya, pagi ini aku sudah berada di depan pintu apartemen Mas Dion. Tiga kali menekan bel, pintu terbuka, dan Mas Dion muncul di hadapanku, hanya mengenakan celana pendek dan handuk menggantung di lehernya.
“Mas.” Aku berteriak dan menarik pintu, tapi Mas Dion menahannya.
“Ngapain kamu di sini?” Aku berbalik menunggunginya. “Mas, pakai baju dulu.”
“Sha.”
“Buruan, Mas.”
“Ya udah kamu masuk—”
“Mas!”
Mas Dion masuk, dia menghalangi pintu dengan sesuatu agak tidak tertutup.
Ini kali kedua aku melihat roti sobek, eh , tidak, lupakan.
Tak sampai lima menit Mas Dion sudah kembali dengan pakaian lengkap, tetapi masih mengenakan celana pendeknya.
“Sudah.”
“Ibu minta saya bantu, Mas, beberes di sini.”
Mas Dion memiijat pangkal hidungnya.
“Okey, lalu, mana belanjaannya?”
“Belanjaan apa, ya, Mas?”
“Saya minta ART yang membantu saya, belanja keperluan dapur sebelum ke sini karena stok di kulkas sudah habis.”
“Oh, Ibu nggak bilang. Nggak apa-apa, saya belanja sekarang.” Aku mengangkat tanganku memintanya menunggu, lalu berbalik menuju lift.
“Sha.”
“Iya, Mas?” Aku menoleh ketika dipanggil.
“Uangnya ada?”
Ah, iya, aku lupa. Aku kembali mendekat dan menadahkan tanganku padanya.
“Lupa, mana, Mas, uangnya?”
“Kamu bawa kendaraan?” Aku menggeleng.
Mas Dion menghilang dari hadapanku setelah meminta aku menunggunya.
“Ayo, saya temani.”
Loh?
Lebih baik aku belanja sendiri daripada dengannya. Sedari tadi, aku asyik mengoceh, sedangkan dia hanya menjawab seadanya sambil mendorong troli belanja.
Mas Dion meminta aku untuk membuat olahan mentah yang dapat disimpan di freezer, seperti yang sebelumnya dibuat oleh ART Bu Ara. Jadi, aku memilih menu yang akan aku siapkan untuknya nanti.
“Jangan banyak-banyak, Sha, yang aman untuk seminggu atau dua minggu. Saya kadang makan di luar juga soalnya.”
Nah, kalau protes begini, Mas Dion, jagonya. Sedari tadi, ini adalah kalimat terpanjang yang dia ucapkan. Selain kata, ok, hm, dan terserah kamu.
Mas Dion sedang memilih minuman, sementara aku memilih buah.
Aku merogoh tas untuk mencari ponsel yang berdering, ternyata Mas Rayyan.
“Halo, Mas?”
“Hai, what are you doing?”
“Saya lagi belanja, Mas, di swalayan. Mas udah di Bandung?”
“Sudah, baru saja tiba di rumah, kangen masa.”
“Terus?”
“Mau ketemu, kamu ada waktu?”
“Hari ini full temanin Bu Ara, Mas, sampai malam.”
“Aku jemput kamu di rumah Abi nanti malam, gimana?”
“Loh, ya, jauh, Mas.”
“Anything for you, ya?”
“Aku hubungi, Mas, lagi, deh, aku takut nanti bakal kemalaman.”
“Okey, Ay. Bye.”
Setelah sambungan terputus, aku terkejut saat wajah Mas Dion tepat di sampingku. Dia menundukkan kepalanya sehingga sejajar denganku.
“Mas! Ya ampun, Mas Dion, ngapain, sih, aku kaget!”
Wajahnya datar seperti biasa.
“Kamu mau ke rumah Mama juga?” Aku mengangguk. Sebentar, apa tadi dia menguping pembicaraanku?
“Kamu bareng saya saja.”
“Memang, Bu Ara minta saya datang dengan Mas.” Aku menyimpan ponselku sambil menggerutu. “Ibu, tuh, pasti sedih karena anak bungsunya jarang pulang padahal udah sekota. Anak bungsu, Bu Ara, itu, Mas, sudahlah tidak peka, tidak perhatian, dan tidak—”
Aku mendelik saat Mas Dion menyumpal mulutku dengan sebiji buah anggur.
“Mas Dion!” Dia pergi meninggalkanku.
Mas Dion menoleh ke belakang melihat aku yang tak bergeming.
“Ayo, Sha.”
“Saya marah.” Tentu, aku marah. Buah yang masuk ke mulutku jelas belum dicuci. Tidak boleh petik dan langsung makan begitu saja. Bayar dulu, baru makan.
“Jangan marah, Sha.” Dia mundur menyamakan langkah kami.
“Saya aduin, Mas, ke kasir udah metik buahnya padahal belum bayar.”
Mas Dion tampak menahan tawanya. “Iya, nanti saya lebihkan uangnya saat bayar di kasir.”
“Ayo, Sha.”
Aku masih memicingkan mataku padanya. “Nanti saya belikan kamu es krim.”
“Es krim? Mau, Mas ….”