bc

Merebut Cinta Ayasha

book_age18+
1.7K
IKUTI
13.9K
BACA
HE
arranged marriage
arrogant
goodgirl
boss
heir/heiress
bxg
lighthearted
mystery
bold
loser
affair
like
intro-logo
Uraian

“Ah …!” Aku berteriak lalu dengan cepat meraih tas dan memukulinya.

Dasar pria m***m! Bisa-bisanya dia masuk ke toilet wanita dan memandangiku selekat

itu. Aku terus memukulinya, tapi dia tetap bergeming. Tanpa diduga, dia lantas

menuntunku hingga ke arah pintu dan membukanya lebar. Tanpa sepatah kata, dia

menunjuk tulisan di depan pintu “toilet pria” lengkap dengan ikon kepala pria. Aku

menutup mulutku tak percaya, bisa-bisanya aku salah masuk toilet, padahal sudah

hampir tujuh tahun aku bekerja di sini.

Dengan menyembunyikan semburat merah di wajahku, aku berbalik mengambil barang-

barangku yang tertinggal di meja westafel, lantas bergegas keluar. Namun, langkahku

terhenti saat pria itu menghalangi jalanku. Dengan lancang dia mengambil jaket di

tanganku dan menutupi bagian depan tubuhku.

Dia sedikit menunduk mendekat ke arah telingaku. “Kemejanya belum terkancing

sempurna,” bisiknya.

Sialan! Kuharap ini terakhir kalinya kita bertemu. Namun, sepertinya takdir sebercanda

itu kepadaku. Double s**t! Dosa apa diriku, Tuhan?

Cover by Shenaarts

chap-preview
Pratinjau gratis
Pertemuan yang Memalukan
Ayasha’s POV “Asha …! Ya ampun … anak gadis. Bukannya kamu bilang pagi ini ada acara penting di kantormu?” Suara celotehan Bude membangunkanku dari tidur nyenyakku. Acara penting. Aku meraih ponselku yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurku. Sekarang pukul 6.10, matahari masih malu-malu menampakkan cahayanya. “Bude ….” Aku melompat dari tempat tidur, membuka lemari, dan mengambil sedapatnya atasan dan bawahan yang sekiranya senada untuk aku pakai. Kemudian, aku memasukkannya ke dalam paperbag bersama beberapa perlengkapan yang aku rasa perlu untuk aku bawa. Setelah itu, aku meraih tas yang setiap hari menemani rutinitasku. Aku menyalami Bude yang terdiam di depan pintu kamarku lalu mencium kedua pipinya. “Sha, kamu nggak mandi? Ini masih pakai piyama tidur pula,” tanya beliau bingung. Bude memandangiku dari atas hingga bawah tubuhku. “Nggak sempat, Bude, lagi pula Asha kemarin pulang larut malam ‘kan langsung mandi jadi masih wangi,” jawabku sambil mengendus ketiak kiri dan kanan. “Gosok gigi pun tidak, Sha!” teriak Bude. “Di kantor saja, Bude.” Aku sudah berlari menuruni anak tangga dengan langkah besar. Aku berlari menuju halaman depan tempat mobil terparkir. Pakde, yang berdiri di depan pintu, segera memberikan kunci mobil padaku, katanya beliau sudah memanasi mobilnya. Ini bukan mobilku, tapi mobil perusahaan. Segera saja aku menyalami Pakde dan masuk ke mobil, lalu mengendarainya sampai ke kantor. Butuh waktu sekitar dua puluh menit karena jalanan sangat sepi, syukurlah. Begitu sampai, aku turun dari mobil, mengenakan jaket dan kacamata hitam, dan bergegas menuju toilet yang terletak di lantai satu. Aku memilih toilet ini karena jarang sekali karyawan yang menggunakannya. Lagi pula, ini masih pagi, pukul 7 saja belum ada. Aku harus datang lebih awal karena aku adalah penanggung jawab acara hari ini. Aku sudah bersiap, lantas memoles wajahku se-natural mungkin. Saking buru-buru, aku tidak menyadari ada seorang pria yang tengah berdiri tak jauh dariku menatap pantulan diriku di kaca dinding wastafel. “Ah …!” Aku berteriak lalu dengan cepat meraih tas dan memukulinya. Dasar pria m***m! Bisa-bisanya dia masuk ke toilet wanita dan memandangiku selekat itu. Aku terus memukulinya, tapi dia tetap bergeming. Tanpa diduga, dia lantas menuntunku hingga ke arah pintu dan membukanya lebar. Tanpa sepatah kata, dia menunjuk tulisan di depan pintu “toilet pria” lengkap dengan ikon kepala pria. Aku menutup mulutku tak percaya, bisa-bisanya aku salah masuk toilet, padahal sudah hampir tujuh tahun aku bekerja di sini. Dengan menyembunyikan semburat merah di wajahku, aku berbalik mengambil barang-barangku yang tertinggal di meja westafel, lantas bergegas keluar. Namun, langkahku terhenti saat pria itu menghalangi jalanku. Dengan lancang dia mengambil jaket di tanganku dan menutupi bagian depan tubuhku. Dia sedikit menunduk mendekat ke arah telingaku. “Kemejanya belum terkancing sempurna,” bisiknya. Dia keluar lebih dulu meninggalkanku yang terpaku mencerna ucapannya. “Ah, Bude …!” *** Namaku Ayasha Humaira, aku telah bekerja sebagai sekretaris Chief Marketing Officer selama hampir tujuh tahun di perusahaan ini. Aku tinggal bersama pakde dan budeku setelah ditinggal pergi oleh ambu dan bapakku sejak aku duduk di bangku SMA, pergi menghadap Ilahi. Pagi ini, aku ditugaskan untuk menyambut anak bungsu dari pemilik perusahaan tempatku bekerja, Dion Pangestu Aditama, yang akan bergabung dengan kami sebagai Chief Financial Officer. Kemarin, aku sudah memastikan semua persiapan aman. Saat ini, jam masih menunjukkan pukul 7.30, masih ada waktu untuk sekali lagi mengecek keseluruhan persiapan agar lebih matang. Bu Ara tadi menghubungiku, dia baru saja berangkat bersama suami dan anaknya. Aku perkirakan dia akan sampai tepat jam 8. Aku menyernyitkan dahi melihat pria yang duduk di salah satu kursi di ruangan yang dikhususkan untuk acara penting hari ini. Aku mendekatinya dan ternyata dia adalah perusak mood-ku pagi ini, pria yang kutemui di toilet lantai satu tadi. Sepertinya aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Mungkin dia adalah calon karyawan baru, karena hari ini memang ada jadwal wawancara untuk penerimaan karyawan baru di perusahaan. “Permisi, Mas,” sapaku. Tidak ada jawaban, dia asyik dengan ponsel di tangannya, tidak sopan menurutku. “Maaf, Mas, sepertinya Mas salah ruangan, untuk interview ruangannya di lantai tiga,” sambungku. Dia menoleh dan menatapku dari atas hingga ke bawah dengan wajah datar. Melihat manik matanya, tiba-tiba aku mengingat kejadian tadi, membuat semburat merah muncul di wajahku. Lihat dia, apa-apaan, tatapannya kini berubah seperti ingin mengintimidasi. “Aya, di sini rupanya, kamu ditunggu Mama di ruanganku,” ujar Pak Abi. Beliau adalah Abinza Dio Aditama, atasanku dan juga putra kedua pasangan Ara Riyani dan Aditama Prawira. “Pagi, Pak Abi. Baik, Pak.” Aku menarik tangan pria yang masih duduk dengan tenang di hadapanku. nampaknya para tamu dan karyawan juga sudah mulai berdatangan. “Ayo, Mas, saya tunjukan ruangannya,” ujarku. Begitu melewati Pak Abi, aku mengangguk sebagai bentuk penghormatan padanya. Wajahnya terlihat heran saat menatapku. “Loh, mau ke mana?” tanyanya. “Ke ruangan, Bapak, permisi,” jawabku. “Ayo, Mas, buruan,” seruku pada pria yang belum aku ketahui namanya. Begitu memasuki lift aku menekan angka tiga dan empat, suara dentingan lift terdengar dan pintu terbuka. Aku menuntunnya keluar seraya menunjukkan ruangan yang tepat di hadapan kami. “Nah, Mas, ini ruangannya, semoga lancar, ya, interview-nya, semangat.” Biar saja aku dikatai sok asyik, sudah baik aku memberinya semangat, padahal dia sudah merusak mood-ku pagi ini. Aku melanjutkan langkahku menuju ruangan Pak Abi di lantai empat untuk menemui Bu Ara dan Pak Aditama. “Hai, Sayang, sampai rumah jam berapa kamu kemarin?” tanya Bu Ara begitu melihatku memasuki ruangan. Aku juga menyapa Pak Aditama yang tengah duduk di sofa membaca koran. “Sampai rumah tepat jam setengah dua belas, Bu. Oh, ya, Ibu sudah sarapan atau belum?” tanyaku memastikan. “Sudah, sudah. Kebangetan Abi kalau sudah kerja,” gerutu Bu Ara. “Kamu sudah ketemu Dion? Dia sudah di kantor sedari pagi katanya,” lanjut Bu Ara. Aku menyernyitkan dahi mendengar ucapan Bu Ara, ternyata mereka berangkat terpisah. Bu Ara bersama Pak Aditama, Pak Nadeo, dan Pak Abi berangkat dari kediaman Aditama, sedangkan Pak Dion berangkat sendiri dari apartemennya. Aku tak melihat Pak Dion, lebih tepatnya aku tak mengenali wajah beliau. Bisa-bisanya begitu? Sabar. Aku pernah melihatnya saat lebaran tahun kapan, tapi itu pun kami tidak bertegur sapa. Sudah lama sekali, beliau juga jarang pulang ke Indonesia, jelas aku lupa. Aku menuntun Bu Ara dan Pak Aditama menuju ruangan tempat acara berlangsung dan memilih bergabung dengan rekan-rekan. Namun, Bu Ara menarik tanganku hingga ke meja VIP, di sana ada Pak Nadeo, Pak Abi, bersama para manajer perusahaan, dan seorang pria yang telah aku lihat sebelumnya. Tidak, sebenarnya aku sudah mengantarnya ke ruangan di lantai tiga. “Dion, jam berapa kamu sampai kantor? Kenalin ini Ayasha, sekretaris Abi,” ujar Bu Ara memperkenalkanku. Dion, maksudnya, Pak Dion Pangestu Aditamana? Mana, yang mana orangnya? Dia? batinku. Pria yang Bu Ara panggil Dion berdiri tepat di hadapanku, masih dengan wajah tanpa ekspresi. “Sebelum jam tujuh, Ma,” jawabnya. Dia menyalami dan mencium punggung tangan Bu Ara, kemudian menatapku sejenak lalu mengulurkan tangannya padaku menyebut namanya lengkap. “Dion Pangestu Aditama,” ujarnya. Mau tak mau aku harus menyambut uluran tangannya ‘kan? “Sa-saya Ayasha, Pak, Ayasha Humaira,” lirihku, tapi aku yakin dia dengar. “Salam kenal, Aya-sha Hu-mai-ra,” ujarnya penuh penekanan. Matilah aku.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
7.0K
bc

Petaka Semalam di Kamar Adik Ipar

read
4.2K
bc

Dokter Jiwaku Membuatku Menggila

read
15.6K
bc

Terjebak Pemuas Hasrat Om Maven

read
4.2K
bc

CINTA ARJUNA

read
18.4K
bc

Rayuan Sang Casanova

read
2.6K
bc

Tergoda Rayuan Mantan

read
26.3K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook