Makan Malam

1225 Kata
“Mas, kok, tahu Asha—ehem saya suka es krim?” “Biasanya bocil memang disogok pakai itu ‘kan?” Aku memalingkan wajahku kesal. Melihat keramaian lalu lintas jauh lebih menyenangkan daripada harus menghadapi wajahnya yang membuatku jengkel. Deringan ponselku memecahkan keheningan yang kami ciptakan. Begitu aku melihat nama yang muncul di layar ponselku, segera saja aku menjawab panggilan itu. “Iya, Mas?” “Kata Mama, kamu mau ke rumah malam ini?” “Iya, Mas perlu sesuatu?” “Saya jemput kamu, mau?” Aku melirik ke arah Mas Dion yang tengah sibuk dengan kemudinya. “Saya diminta Ibu untuk membantu Mas Dion di apartemennya, Mas. Setelah selesai saya langsung ke sana, kemungkinan sore sudah sampai.” “Dion? Ya sudah kalau begitu, sampai ketemu di rumah.” “Bye, Mas.” Saat sambungan terputus, aku kembali memalingkan wajahku untuk menatap jendela di sampingku. “Telepon dari siapa?” “Kepo.” Aku melirik ke arah Mas Dion, melihatnya menggelengkan kepalanya sambil menatap jalanan di hadapannya. Sesampainya di apartemen, aku menyiapkan beberapa menu makanan untuk stok Mas Dion selama seminggu di freezer. Aku juga menyiapkan menu untuk makan siang. Sementara aku memasak, Mas Dion tengah membersihkan ruangan. Sudah enak memiliki keluarga dan fasilitas yang lengkap, malah memilih hidup sendiri. Entah kenapa, tiap kali menatap Mas Dion, yang jelas di matanya adalah kekosongan. “Mas, makan siangnya sudah siap!” “Mas—kemana, tuh, orang?” tanyaku seorang diri. Aku menatap dua pintu yang bersisihan, salah satunya pasti kamar Mas Dion. Aku mencoba meraih gagang pintu, tapi lebih dulu suara bariton menyapa pendengaranku. “Mas—” “Kamu bahkan berani masuk ke kamar lelaki, Sha?” Aku melompat kaget saat suara Mas Dion tepat di telingaku, bahkan aku dapat merasakan hembusan napasnya. “Mas ini titisan ninja apa, pergerakannya semulus dan sesunyi itu,” gerutuku. “Ayo, makan, Mas.” *** Setelah makan selesai, kami segera ke rumah Bu Ara, lebih cepat dari yang kusangka. Sebelum pergi ke rumah Bu Ara, aku meminta Mas Dion untuk mampir ke toko dessert favoritku. Aku membeli puding dan dessert box ukuran besar. Aku meminta Mas Dion untuk menunggu di mobil saja, karena sudah memesannya kemarin, jadi hari ini hanya perlu mengambil saja. “Mas mau nggak?” Aku membuka dessert box berukuran kecil Chocolate Black Forest, bonus dari pemiliknya. Mas Dion bergeming. “Mas kurang-kurangi napa dinginnya, saya bisa beku lama-lama di samping, Mas.” Saat aku hendak menyuap diriku sendiri, tiba-tiba tangan Mas Dion menarik tanganku dan mengarahkannya ke mulutnya sendiri. Hal ini membuatku tersenyum lebar. “Enak, Mas?” “Enak.” “Enak karena saya yang suapkah?” Aku sengaja menggodanya, tapi tidak mempan. Dia sudah kembali ke mode semula dengan wajah datarnya. Akhirnya, kami tiba di pelataran parkir rumah Bu Ara. Ketika Mas Dion melepas sabuk pengaman dan hendak membuka pintu, aku menahannya. Dia menoleh dan menatapku dengan heran, tapi menyeramkan secara bersamaan. “Mas, jangan gitu liatinnya, menyeramkan, serius. Ini bawa dessert-nya, nanti kasih ke Ibu.” “Kenapa harus saya?” “Ini yang saya maksud salah satu contoh anak yang tidak peka, tidak perhatian—” Mas Dion merampas bungkusan dariku dan segera turun tanpa mengatakan apa-apa. Aku ikut turun dan mengejarnya. “Sama-sama, Mas Dion.” Setelah mengatakan itu aku berlari mendahuluinya. Mas Abi sudah berdiri di teras rumah, dia tersenyum menyambutku. “Kamu datang lebih awal?” “Iya, Mas, tadi selesai beberesnya lebih cepat.” “Kamu harus hitung lembur, Aya, untuk hari ini,” ujar Mas Abi saat Mas Dion mendekat. Dia tak menjawab, memberi buah tangan kepada Mas Abi, lalu, nyelonong masuk. Bebas, toh, rumahnya sendiri. “Ayo, masuk,” ajak Mas Abi. Mas Abi ini adalah bos terbaik versiku, bukan berarti Mas Nadeo tidak baik, ya. Mas Abi cenderung lebih santai, sementara Mas Nadeo lebih serius namun tetap ramah. Kalau Mas Dion, tahu sendiri ‘kan, tak perlu aku deskripsikan. “Hai, Sayang,” sapa Bu Ara begitu melihatku. Mas Dion sudah mengambil Ainun—anak Mas Nadeo, dari gendongan Bu Ara. “Bawa apa, sih?” Bu Ara memelukku sambil melihat Mas Abi membawa bungkusan dan meletaknya di atas meja ruang tengah. Bu Ara menuntunku ke ruang tengah. Beliau juga menawarkan minuman untukku, tapi aku dengan sopan menolak. “Dion, jangan diusilin gitu, ah, nanti dia nangis, riweh lagi Mama,” protes Bu Ara saat melihat Ainun resah diciumi Mas Dion. “Mana emak dan bapaknya?” “Lagi keluar sebentar, tadi Ainun tidur, makanya Mama suruh tinggal.” “Kencan?” “Kepo aja kamu.” Mendengar jawaban Bu Ara, aku berusaha menahan tawaku. Berbeda dengan aku, Mas Abi justru terkekeh, sehingga mendapat tatapan tajam dari Mas Dion. Bu Ara saja setuju kalau anaknya itu kepo. “Sepertinya enak pudingnya,” ujar Mas Abi. “Banget, sebentar, Mas, saya ambil piring.” Begitu mendapat izin dari Bu Ara, aku pergi ke dapur untuk mengambil piring dan memindahkan puding, lalu kembali ke ruang tengah dengan membawa puding, beberapa piring, dan sendok kecil. “Thank you,” ujar Mas Abi. Mas Abi tampak asyik menikmati puding, sementara Mas Dion masih bermain dengan Ainun. Bu Ara juga ikut menikmati puding yang aku bawa. “Abi, gimana kalau kamu kenalkan kekasihmu ke Mama sekarang aja?” “Kekasih? Mas Abi punya kekasih?” Aku membulatkan mata ke arah Mas Abi. Uhuk-uhuk! “Loh, Mas, ini minum dulu.” Aku memberi segelas air mineral kemasan yang tersusun di atas meja. “Slow, Mas, aku nggak minta,” ujar Mas Dion dan aku hadiahi tatapan tajam. Tiga tahun menjadi sekretaris Mas Abi, aku belum pernah melihat dia membawa wanita atau mendengar kabar dia memiliki kekasih. Bu Ara membawa Ainun ke kamar tanpa menunggu jawaban dari Mas Abi karena Ainun mulai menangis sepertinya mengantuk lagi. Aku masih menatap Mas Abi dengan mata sedikit memicing. “Saya bicara dengan kamu nanti,” bisiknya. Mas Abi bangkit dari duduknya, mengelus lembut kepalaku, lalu meninggalkan aku yang semakin heran dengan sikapnya. *** Seperti biasanya, makan malam bersama keluarga Bu Ara selalu menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku. Setiap bulan, Bu Ara selalu mengundangku untuk makan bersama, entah itu makan siang atau makan malam seperti hari ini. “Non, tidak perlu, biar Bibi yang nyuci piringnya.” “Satu lagi, Bi, please, saya nggak enak mau ikutan gabung dengan mereka di ruang tengah.” Bi Rina menggeleng setelah mendengar ucapanku. Nah, begini lebih baik. Aku tidak keberatan mengasuh Ainun daripada ikut berbicara dengan mereka yang topik pembicaraannya hanya seputar pekerjaan. Tak lama, Mas Dion, mendekatiku, dia mengambil Ainun dari pangkuanku. “Kamu kelelahan, saya antar kamu pulang.” “Tidak perlu, Mas, saya nanti dijemput—” “Rayyan?” Aku memicingkan mataku. Benar, berarti tadi Mas Dion menguping pembicaraanku di telepon dengan Mas Rayyan. “Iya, iya, saya dengar obrolan kalian tadi di swalayan, puas?” “Aya, kamu pulang dengan saya. Saya antar,” potong Mas Abi sambil berlalu dan mengacak rambutku. “Baik, Mas.” “Ma, Aya, mau pulang.” Mas Abi memanggil Bu Ara yang sedang berada di dapur. “Sebentar, Bi, Mama sedang menyiapkan ini, tunggu sebentar.” Aku segera berdiri. Sebelumnya, aku duduk di matras bermain bersama Ainun. Namun, belum sempat berdiri, tanganku ditarik oleh Mas Dion. “Kenapa kamu tak mengindahkan ajakan saya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN