KE JAKARTA

1520 Kata
Seolah Gunawan tidak bosan-bosannya mengolok-olok Rae, tapi Rae tidak marah. Ia sudah biasa menerima cemohan dari orang kaya. Justru perkataan orang-orang membuatnya bertambah menghargai dirinya sendiri, tidak tergiur kerja haram. "Apa benar kamu anak angkat dari ibu Dedes, bekas penyanyi Cafe Belalang?" kini giliran Mahalini kembali bertanya. "Kata orang begitu, tapi saya tidak peduli masalah itu, ibu Dedes membesarkan saya dengan ikhlas, saya merasa itulah ibu saya yang sebenarnya." "Berarti kamu sudah tahu asal usulmu. Apa kamu tidak ingin mencari ibu kandungmu yang melahirkanmu?" tanyanya lagi, Mahalini heran, dia merasa Rae bohong, mana mungkin seorang anak tidak ingin mengetahui ibunya. "Buat apa, ibu kandung telah membuang saya, berarti dia tidak membutuhkan pengakuan saya. Mungkin dia sudah mati, lagi pula saya tidak mau menyakiti hati ibu yang mengasuh saya. Intinya saya hidup untuk ibu Dedes, ingin membahagiakan hidupnya." Nona Mahalini mengangguk-angguk setuju dengan prinsip Rae. Sorga ada di telapak kaki ibu, jika ibunya membuang anaknya apakah kata-kata mutiara itu berlaku? Sorga berada di telapak kaki ibu Dedes, perempuan yang mengasuhnya dengan tulus ikhlas. Menyayanginya, menangis saat ia sakit. Wanita yang selalu memberi semangat kala orang-orang menghinanya dengan sebutan anak haram. "Kamu boleh pulang sekarang, besok pagi kita berangkat ke Jakarta. Seorang pelayan dan perawat akan datang besok sekitar jam tujuh pagi untuk mengurus ibumu." "Trimakasih atas kebaikan nona, aku tidak bisa membalas semua ini." "Habisi makananmu, ini uang untuk naik ojol. kami duluan pulang, sampai ketemu besok." ucap nona Mahalini beranjak pergi bersama Gunawan sang pacar. Mata Rae berkabut, air matanya mau jatuh, ia sangat terharu atas kebaikan putri nyonya Fransiska, sudah cantik baik hati lagi. bathin Rae tidak habis mengerti. Zaman sekarang ternyata masih ada orang baik. Sebelumnya ia sempat curiga kepada Mahalini Lembong, tapi sekarang tidak lagi. Menyanyi di Cafe belum tentu dapat lima ratus ribu semalam, sedangkan nona sudah memberikannya uang lima ratus ribu untuk naik ojol. Mimpi apa ia semalam sehingga mendapat rezeki nomplok? rejeki memang tidak bisa diprediksi datangnya. Setelah nona Mahalini dan Gunawan pergi, tinggal Pak Darius seorang diri. Pria itu sibuk menghabisi makanannya, setelah itu pergi begitu saja. Laki-laki yang tidak punya sopan santun. bathin Rae. Malam semakin larut. Rae meluncur pulang naik ojol. Angin malam menembus sampai ke tulang sumsum membuat Rae menggigil. Sudah lama ia berkeinginan membeli jacket tapi belum kesampaian. Setelah lima belas menit perjalanan ia sudah sampai dirumah, itupun dapat membeli bubur ayam, buah untuk ibunya dan sebungkus roti manis. Rumah ibunya tidak luas, tapi bersih dan nyaman. Ia masuk ke dalam rumah dengan hati berbunga. Hari ini ia membawa khabar baik untuk ibunya. "Ibuuuu......" suara Rae bergema di ruang depan ketika memanggil ibunya. Tentu tidak ada jawaban karena Ibunya tidur di kamar. "Aku datang bu, makanlah dulu aku ingin menyampaikan khabar baik kepada ibu." kata Rae menaruh makanannya di meja. Ia cepat masuk ke kamar menemui ibunya. "Bantu ibu bangun, perut terasa sakit dan membengkak lagi. Ibu kesulitan bernafas." suara ibu lirih. Rae buru-buru menopang badan ibunya supaya bisa berdiri. "Mungkin asam lambung ibu kumat, karena makannya tidak teratur. Maafkan aku bu tidak bisa memberikan ibu makanan sesuai yang ibu inginkan." ucap Rae menyiapkan bubur untuk ibunya. "Ibu yang minta maaf tidak bisa bertanggung jawab sampai kamu menikah. Ibu berhutang padamu nak, tidak bisa menyekolahkanmu kejenjang yang lebih tinggi." suara ibu sendu. Ibunya tersenyum bias, dia tahu percuma berobat, tapi dia sangat berharap sembuh supaya bisa membayar kewajiban kepada anaknya. Maksimal sampai anaknya potong gigi dan menikah, begitulah adat yang harus dia patuhi sebagai orang tua. "Jangan berpikir macam-macam, sebagai seorang ibu, aku sudah sangat bersyukur atas bimbingan ibu selama ini. Semoga ibu bisa di operasi dan sembuh." kata Rae sambil membantu ibunya duduk di kursi. "Semua barang yang ada di rumah ini sudah ludes terjual, tapi ibu belum juga sembuh. Kadang ibu pasrah. Apa lagi harus dijual?" "Ini rumah pemberian orang, tidak elok kalau dijual, aku sudah punya uang untuk operasi ibu. Semoga ibu bisa sehat seperti semula." "Darimana kamu dapat uang, jangan bekerja haram. Ibu tidak mau uang dari hasil jual diri." 'Tenang bu, uang ini dari wanita cantik dan baik hati." ucap Rae akhirnya bercerita dengan gaya bertutur. Ia juga bicara tingkah Gunawan yang terus mencemohnya. Rae tahu penyakit ibunya sulit disembuhkan, karena sudah stadium empat. Sudah tiga kali kemoterapi dan rambut ibu semua sudah rontok karena kerasnya obat. "Ibu, aku punya Bos wanita sangat baik sekali ketika aku bercerita tentang ibu dia langsung ingin membantu. Dia berjanji akan menaruh pelayan dan perawat selama sebulan disini. Dia juga memberi kita uang seratus juta dan ibu akan bisa operasi." "Ya Tuhan, ibu sampai merinding mendengar cerita mu. Ternyata doa ibu terkabul. Siapa orang baik itu, ibu ingin berterimakasih kepadanya." "Tapi ada syaratnya dia membantu kita, aku harus menemaninya besok ke Jakarta dalam waktu sebulan." "Ngapain ke Jakarta?" tanya ibunya curiga. "Dia orang kaya banyak punya perusahaan di Jakarta, jadi perusahan butuh tenaga yang bisa dipercaya. Untuk itulah dia mengajakku untuk menemaninya mengurus pelamar baru yang ajan ditempatkan di Jakarta " jelas Rae. Walaupun ibunya mengangguk tapi tetap ada perasaan curiga dihatinya. "Hati-hati saja, kita tidak tahu persis siapa orang itu. Zaman sekarang sulit mencari orang yang benar-benar jujur dan ikhlas membantu." "Ya bu trimakasih sudah mengizinkan aku pergi. Semoga ibu tambah sehat, setelah aku pulang dari Jakarta, ibu akan di operasi." Air mata ibu mengalir membasahi pipinya yang sudah keriput. Dulu ibunya penyanyi Cafe, terkenal pada zamannya karena cantik. Banyak p****************g mengidolakannya, tapi ia tidak mau menikah, alasannya lelaki yang nongkrong di cafenya semua beristri. Tentu ia tidak sanggup diselingkuhi, apalagi sudah ada Rae. Anak angkatnya. Melihat ibunya menangis, air mata Rae ikut bergulir. Serta merta ia memeluk wanita itu, rasa takut kehilangan merajalela memenuhi perasaannya. Ia sangat sayang kepada ibu Dedes. Hanya ibu Dedes satu-satunya keluarga yang ia punya. Tidak terbayang jika ibunya meninggal, ia akan sebatang kara. Duhhh...sedihnya. Keesokan harinya Rae bangun pagi-pagi sekali, ia mulai menyiapkan beberapa stel pakaian yang ia masukin ke tas ranselnya. Dadanya bergemuruh mengingat ia akan pergi ke Jakarta. Tidak pernah sekalipun ia berpikir untuk berpisah dengan ibunya. Ada perasaan bangga kalau dirinya akan bisa menginjakkan kakinya di Jakarta. "Jaga diri baik-baik, jika ada orang jahat keluarkan ilmu bela dirinya. Ingat berdoa, supaya kamu terhindar dari nara bahaya." "Baik bu, aku pasti sangat merindukan ibu. Sampai di Jakarta aku langsung khabari ibu. Kalau sudah beres urusannya aku segera pulang. Ibu ingin dibawakan oleh-oleh apa?" "Tidak usah, yang penting kamu sehat ibu sudah senang." Tidak terasa pukul 07.25 WITA, Rae sudah mandi dan berdandan rapi. Sebentar lagi ia akan dijemput oleh pak Darius sopir nona Mahalini Lembong. "Tookk...tookk...tookk." "Tunggu..." jawab Rae melangkah ke pintu. Ia membuka pintu dan pak Darius sudah berdiri di depan pintu dengan dua orang wanita. "Rae, ini perawat dan pelayan untuk ibumu. Nona sudah memberi pelayan uang makan, untuk mereka bertiga. Kamu tidak perlu memberi uang lagi." "Baik pak, silahkan masuk mbak. Mari saya perkenalkan dengan ibu." kata Rae mengajak kedua orang itu masuk ke kamar ibunya. Ia menerangkan dan mengarahkan kedua orang yang akan menjaga ibunya. "Mbak ini ibu, saya titip ya. Semoga mbak kerasan disini. Saya tidak bisa lama-lama karena pak Darius sudah memanggil." "Ya Rae kami akan menemani ibu, jangan khawatir pergilah." Perasaannya tidak menentu saat mau meninggalkan ibunya. Air matanya jatuh melihat ibunya, selama hidupnya baru pertamakali ia berpisah. "Bu mohon doanya, aku pergi hanya sebulan." suaranya terdengar lirih. "Semoga urusanmu lancar......" ibu menangis. "Rae cepat!" suara Pak Darius membuat Rae melepaskan pelukan ibunya dan cepat-cepat pamit. "Siap Pak..." sahut Rae buru-buru keluar menemui pak Darius "Rae, kamu cepat keluar, nona sudah lama menunggu. Kamu cukup membawa tas, tidak usah membawa koper dan segala macam." "Sudah Pak, kebetulan saya tidak punya koper." sahut Rae polos. Darius memacu mobilnya dengan kecepatan sedang, Rae duduk termenung disamping kiri sedang memikirkan pekerjaan yang bakal di gelutinya. Kenapa harus ke Jakarta mencari tenaga kerja, membuat iklan di sosned sudah banyak yang berebut. Apa yang membuat nona Mahalini menghambur kan uang begitu banyak? bathin Rae. "Ini sudah sampai, kamu jalan lurus sekitar dua ratus meter. Nona berada di depan Solaria. Katakan pada nona aku langsung pulang." "Baik pak, trimakasih telah mengantarkan saya ke sini...." Pak Darius tancap gas tanpa menghiraukan perkataan Rae, baginya Rae tidak lebih dari seorang babu yang tidak diperhitungkan. Rae terus berjalan menuju Solaria. Dadanya deg-degan karena tumben ke Bandara. Ternyata Bandara bagus, luas, rapi dan ramai sekali. Tapi ramainya beda dengan di pasar tradisional. Disini semua orang memakai pakaian bersih, bau harum. baik bule atau orang pribumi. Nona Mahalini sudah menunggunya dengan seorang lelaki yang tidak lain Tuan Gunawan. Pria ini ganteng, kulitnya hitam manis. Nona terlihar sangat mesra dengan Tuan Gunawan. "Selamat pagi nona." sapa Rae tersenyum. "Apa ini baju terbaru kamu Rae?" tanya nona Mahalini tersenyum aneh. "A-iya nona..." jawab Rae gagap. Apa maksud nona Mahalini menanyakan bajunya. Baginya baju ini paling bagus di almarinya, Ia membeli ketika dapat uang ngamen pertama kali. "Ikuti aku kita Boarding Pass, sayank kasih dia bawa kopernya." kata nona kepada pria yang ada disamping nya. "Bawa koper ini." kata Gunawan tersenyum. "Hee...jangan diangkat, digeret itu sudah ada rodanya." ucap nona Mahalini tertawa. Rae tersenyum geli atas kebodohannya. Tumben bawa koper pramugari, kirain dipanggul. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN