MAHALINI LEMBONG

1563 Kata
Walaupun ia seorang penyanyi Cafe, Rae merasa pengawal Mahalini kurang sopan menghentikannya saat bernyanyi. Orang yang level rendah sepertinya harus mengalah, dan mengikuti keinginan bos. Cuma heran saja, kenapa mereka tidak sopan, apakah pihak Cafe tidak bisa menghargai orang? Rae sedikit menunduk dan bertanya kepada Pak Made. Ia memberanikan diri, walaupun ia akan menerima bentakan kasar. "Maaf ada apa pak Made?" Rae penasaran. Ia malu diteriaki dan dipaksa turun dari Stage. "Cepat turun, Nona Mahalini mau bertemu!" perintah Scurity itu. "Tapi saya masih bernyanyi, ini request dari penonton, tunggu selesai bernyanyi, Pak." ucap Rae tetap sopan. "Kamu berani membantah ku, aku Darius pengawal Nona Mahalini Lembong." tegas pria sangar yang berada disamping Pak Made. Kumisnya berdiri saat ia menahan kesal menunggu Rae yang ragu-ragu. Rae terpaksa turun menemui Pak Darius. Ia sangat malu dilihat oleh semua mata pengunjung. Sinar mata mereka menatap sinis. Dia semakin malu ketika Pak Darius menggandengnya keluar Cafe. Ya ampun! Melihat pemandangan itu otak Dewa dan Arya langsung berpikir negatif, mungkin semua pengunjung menilai bahwa Rae adalah cewek murahan. Sudah menjadi rahasia umum kalau penyanyi Cafe bisa di boking. Menyanyi hanya sebagai kedok belaka. Dewa terlihat kecewa, ia tidak menyalahi gadis itu yang butuh uang, mungkin baginya uang nomor satu daripada harga diri. Dewa hanya sedikit menyesal, kenapa Rae sangat murahan. Gadis itu tiba-tiba tidak berharga di matanya. Haruskah gadis itu mengobral tubuhnya, sementara suaranya sangat bagus dipakai untuk mencari uang? Ahh.. EGP. "Aahh...kelihatan saja polos, ternyata ayam cafe juga." gerutu Dewa kesal, ia terbayang wajah cantik gadis itu. "Rupanya kamu pengamat juga, pikiran kita sama. Sayang sekali, lagunya baru sepotong sudah berhenti." gumam Arya menyeringai. "People dari Libianca, lagu yang aku suka. Dasar kampret, ada saja yang bikin kesal hari ini. Pengawal Mahalini sangat kasar, arogan, sama dengan bos nya, kadang aku menyesal kalau mama berteman baik dengannya." "Bukannya Mahalini wanita yang dijodohkan oleh keluargamu?" "Tidak usah dibahas, Arya, ayo kita cabut saja penyanyinya sudah raib." Dewa menepuk punggung Arya. "Yaelah.. kenapa harus pulang, tujuan kita kesini minum dan menghibur diri. Ada penyanyi pengganti, jangan jhawstir." kilah Arya malas mengikuti Dewa. "Aku sudah gak mood, bidadarinya lenyap dibawa gondorowo." "Hahaha....aku yakin si gadis bisa ringsek meladeni om-om." "Tahu semurah itu, aku duluan, nasi sudah jadi bubur." ucap Dewa keki. Dewa berdiri, langsung beranjak dari Cafe. Terpaksa Arya mengikuti, tapi banyak juga lelaki yang ikut keluar Cafe, mungkin pikiran mereka sama dengan Dewa, kecewa berat. Pak Made, dan Pak Ketut berjalan beriringan. Di depan mereka Rae dan Pak Darius berjalan tanpa suara. Sampai dIbawah pohon Akasia, Rae dipaksa masuk ke mobil oleh pak Darius. "Maaf bos ada apa ini, aku tidak merasa berbuat salah." Rae ketakutan, suara bergetar. memandang Supervisornya. "Rae, putri nyonya Fransiska ingin bertemu denganmu, pak Darius akan mengawal mu ke sana. Tidak usah takut, mereka orang baik." ucap Pak Ketut menenangkan Rae. "Maksud nya apa ini, aku bukan barang untuk di jual atau dipindah tangan." "Jangan khawatir dia hanya ingin bertemu denganmu. Mungkin nona Mahalini Lembong terkesan dengan suaramu." "Owh...begitu, baiklah." ucap Rae lirih. Apa boleh buat, Rae Sitha naik kemobil pak Darius, sepanjang perjalanan mereka diam. Mungkin pak Darius menganggap Rae bukan levelnya atau pria ini tidak mood berbicara. Rae tidak peduli, ia duduk termenung memikirkan Mahalini, gadis cantik putri bosnya yang hidup bergelimang harta. Nasib mereka seperti langit dan bumi, Mahalini kaya raya, ia miskin, kadang makan tidak bisa beli. Dalam hidupnya hanya bencana yang sering menghampirinya. Senang sebentar, setelah itu kembali terpuruk. Daripada terus menambah beban ibunya, Rae memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Biasanya ia mendapat uang dari tetangga, upah mencuci baju, nyetrika atau kerjaan lain. Itu ia lakukan dari umur sepuluh tahun. Setelah SMA ia memutuskan untuk menjadi pengamen lepas sekolah. Akhirnya ia mengikuti jejak ibunya menjadi penyanyi Cafe. Bekerja apa saja ia lakon, yang penting halal dan ada upah. Ada saja yang mengajak kerja, tetangga semua baik dan bersimpati kepada ibunya yang lagi sakit. Apalagi tetangga sudah tahu ibunya sakit kanker. Sekitar tiga puluh menit mobil memasuki halaman parkir Mall, Pak Darius menyuruh Rae turun dari mobil mengajaknya menuju salah satu restoran cepat saji. "Ikuti aku." perintah Pak Darius tanpa menoleh. Ia berjalan membusungkan d**a, sambil sesekali menjawab telepon masuk. Kesannya angker. Rae mengangguk, dia masih belum mengerti untuk apa putri nyonya Fransiska menyuruh dirinya kesini. Mereka menuju eskalator dan naik ke lantai tiga. Disebuah restoran cepat saji sudah menunggu nona Mahalini Lembong dan Gunawan. Mereka tersenyum saat melihat Rae. "Malam nona, saya sudah mengajak nona Rae kesini." ucap Pak Darius sopan. "Duduklah Rae, mungkin kamu sudah tahu siapa aku dan pacarku. Aku pemilik Cafe tempatmu bekerja." ucap Mahalini sombong. "Saya tahu nona adalah putri Nyonya Fransiska, tapi untuk apa nona memanggil saya kesini?" "Nona Mahalini, tolong nona bicara langsung ke supervisor. Tadi Pak Ketut agak keberatan memberi izin, karena Rae penyanyi baru yang bisa menarik minat pengunjung." Pak Darius mendekati nona Mahalini sambil berbisik. "Aku sudah berbicara, aku bilang ini mutlak keinginan Rae untuk rehat beberapa hari karena Ibunya sakit." sahut Mahalini. "Saya juga takut kalau nyonya Fransiska menanyakan perihal raibnya Rae. Tolong nona memberi keterangan kepada nyonya besar." "Beres, masalah itu aku akan tanggung jawab, kamu jangan takut. Sekarang kalian boleh pesan makanan, Rae pasti lapar." kata nona Mahalini menoleh kepada Rae yang berdiri kaku. "Baik nona." sahut pak Darius sopan. "Rae duduk, jangan takut aku tidak jahat. Kamu pasti kaget melihatku, sengaja aku memanggilmu kesini karena aku ingin berbisnis denganmu." "Bisnis apa nona?" tanya Rae duduk di depan Mahalini berbatas meja, dia tampak gelisah memikirkan kalau-kalau Mahalini akan memecatnya. Rae merasa ada sesuatu yang mendorong otaknya untuk berasumsi negatif kepada putri bosnya ini. Baru pertama melihatnya ia sudah tidak senang dengannya. Rae duduk semeja dengan Mahalini. Pakaian mereka seperti langit dan bumi. Penampilan nona Mahalini sangat glamour. Orang sudah tahu dari mana kedua orang itu berasal. Rae mengakui nona Mahalini cantik, pakaiannya branded. Beda jauh dengan dirinya yang berpakaian seratus ribuan. "Aku akan mengajakmu ke Jakarta selama sebulan. Kita akan mencari beberapa orang untuk membantu mamaku menjalankan bisnis cafenya." kata nona Mahalini menatap Rae lekat-lekat. "Maaf nona saya tidak mau meninggalkan ibu saya, apalagi sekarang ibu dalam keadaan sakit." pungkas Rae keberatan. "Aku akan menaruh pelayan dan suster untuk merawat ibumu sepanjang kamu pergi. Dan aku juga akan membayarmu seratus juta selama sebulan, asal kamu mau mengikutiku ke Jakarta." "Wow.. banyak banget, pekerjaan apa nona. apakah pekerjaan ini haram atau jual beli narkotika?" "Hahaha....tidaklah, aku hanya ingin ada yang menemaniku saat di jakarta. Apa kamu mau, kalau tidak, aku mencari orang lain." "Mau nona." jawab Rae cepat, ia merasa butuh biaya untuk mengobati ibunya. "Begitu dong, ternyata kamu gadis yang smart. Kesempatan itu datangnya sekali, jika kamu mengabaikannya, peluang itu akan hilang." "Saya butuh uang banyak untuk operasi ibu." "Oke, sebelum kerja sama ini berlanjut, kita bikin hitam diatas putih supaya kamu tidak ingkar janji." ucap Mahalini tersenyum tipis. Ia mengambil selembar kertas untuk di tanda tangani oleh Rae. "Saya salut kepada nona yang begitu saja percaya kepada saya, padahal nona baru mengenal saya." "Aku yakin kamu bisa dipercaya dan berani berkorban untuk ibumu khususnya. Marilah kita pupuk benih pertemanan ini dengan satu tujuan kebahagiaan kita semua." "Trimakasih, nona baik sekali, saya akan berusaha membantu nona semampu saya. Jika saya lalai tolong ditegur." "Bukan ditegur, aku langsung laporkan ke polisi kalau kamu ingkar janji, maunya uang saja, tapi kerjaan belum selesai." "Baiklah nona, saya akan patuh." ucap Rae tulus. Mahalini tidak menyangka kalau Rae bisa ditundukan dengan mudah, uang adalah segalanya. Sambil berbincang-bincang ia memperhatikan gadis di depannya ini. Rae sangat cantik, sayang tidak terawat. Bodynya sexy, rambutnya panjang tapi kasar, ujungnya merah bercabang. Bajunya sangat simpel dari bahan murahan, kaos warna hitam agak kesempitan dan celana jean belel, sederhana banget. "Kamu tamatan apa?" tanya Gunawan iseng. Jujurly ia terpesona terhadap Rae yang tidak banyak tingkah dan polos. "Sampai SMA saja, untuk melanjutkan kuliah tidak ada biaya. Saya anak yatim, saya hanya mengandalkan upah dari bernyanyi." "Kamu tidak ingin menjadi wanita high class simpanan pengusaha?" pancing Gunawan. Rae tersenyum tipis, matanya yang indah menatap Gunawan tajam. "Maaf Tuan, saya orang beragama dan taat pada kaidah agama." sahut Rae menohok. Gunawan dan Mahalini tersenyum penuh arti. Mereka sudah biasa mendengar kicauan gadis miskin yang sock moralis, biasanya setelah kepepet mereka akan mencari lorong gelap, menjajakan diri. Namun ia bukanlah gadis yang mendadak susah, dari lahir ia sudah susah, karena dibuang oleh ibu kandungnya. Untung ada yang menemukannya, kalau tidak ia pasti mati, karena seluruh badannya digigit semut. dipungut oleh Nyonya Dedes. "Hidup cuma sekali kenapa menyiksa diri, tidak ada yang peduli padamu jika miskin. Kalau kamu kaya otomatis orang berebut menjadi temanmu. Wajah sepertimu akan menjadi rebutan jika kamu pasang harga." "Tuan Gunawan yang terhormat, sudah berapa orang yang menawarkan pekerjaan esek-esek, kawin siri dengan iming-iming kemewahan, semua saya tolak. Bagi saya tidak perlu banyak uang, hidup kaya raya kalau harus mendapatkannya dengan cara tidak bermoral. Bukan munafik atau ingin dibilang agamis, saya takut Karma, hukum tabur tuai, apa yang ditanam itu yang dipanen." pungkas Rae agak dongkol. Ia benci kepada Gunawan yang julid. "Aku meragukan omonganmu hehe..." ejek Gunawan. Mahalini memberi kode supaya Gunawan diam. "Sekecil apapun penghasilan saya, selalu saya syukuri. Bagi saya rejeki itu bukan uang semata, umur panjang, kesehatan juga rejeki." "Sekarepmulah Rae, ngomong tidak ada pajaknya, yang penting ada realisasinya saja. Masalahnya aku sering menemukan orang munafik sepertimu. Tong kosong nyaring bunyinya hahaha....." Gunawan betul-betul tidak bisa menahan dirinya untuk mengejek Rae yang bodoh. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN