PASRAH

1657 Kata
Hal konyol yang dilakukan Rae membuat Mahalini malu. Walaupun menjadi bahan tertawaan, tidak membuat Rae kecil hati. Wajar kalau ia tidak mengerti apapun, karena tumben naik pesawat. Mereka menuju Boarding Pass, Mahalini dan Gunawan duluan berjalan, Rae lalu mengikuti dari belakang, agak berjarak. Mereka berjalan cukup jauh, setelah itu naik bis Bandara. Rae naik pesawat dengan d**a berdebar. Ia grogi campur senang. Senyumnya selalu terlukis dibibir jika ada penumpang memandangnya. Walaupun klas ekonomi ia bersyukur bisa naik pesawat. Jika ia sendiri ke Bandara pasti akan kesasar, semua tulisan bahasa asing. Ini pengalaman pertama bagi Rae yang menyenangkan. Rae berharap di kemudian hari bisa naik pesawat lagi. Pengalaman yang tidak bisa di lupakan. Sepanjang perjalanan Rae berusaha membuka matanya dan melihat keluar jendela. Yang tampak hanya awan, ternyata di atas langit ada langit, seperti kata pepatah. Pukul 10.45 WIB, pesawat landing di Bandara Soekarno Hatta. Rae menarik nafas panjang, perasaannya bercampur menjadi satu. Ada rasa sedih ketika ingatannya kembali kepada ibunya, ia yakin kedua wanita suruhan nona Mahalini, yang kini berada dirumahnya bisa mengurus ibunya dengan baik. Rae berdiri dan mengambil tas di loker atas kepalanya dan mengantri turun dari pesawat. Setelah berada dibawah, nona dan pacarnya sudah menunggu. Pasangan itu tersenyum aneh menunggunya, Rae tahu mereka berdua sedang bergosip ria, menggosipkan dirinya. Terutama pria itu, yang selalu sinis melihatnya. Perasaan Rae jadi kurang simpati kepada laki-laki itu. "Bagaimana Rae, kamu senang naik pesawat. Aku yakin suatu hari kamu akan kembali naik pesawat." "Ini pengalaman pertama, walaupun banyak salah tapi saya sangat senang." jawab Rae polos. "Senanglah, orang gratis." ucap Gunawan ikut nimbrung. Rae diam saja memandang lelaki itu tidak senang. Mereka mengikuti penumpang lain naik bis Bandara. Turun dari bis mereka menuju conveyor bagasi untuk mengambil koper. Gunawan menyuruh Rae membawa koper Mahalini. Mereka naik Taxi untuk mencari hotel atau penginapan klas melati. Sepanjang jalan yang berbicara hanya Mahalini dan pria itu. Sedangkan Rae mengantuk karena tadi malam ia gelisah memikirkan akan pergi ke Jakarta. Ia terlalu kampungan, seperti anak kecil yang dijanjiin beli mainan. Rae menguap beberapa kali, matanya sampai berair. Untuk menghilangkan rasa kantuk yang menyerang nya ia mencoba mengalihkan pandangannya keluar. Hanya ada gedung menjulang tinggi dan jalanan padat. Tentu sangat jauh perbedaannya Bali dengan Jakarta. Di Bali masih terlihat pohon kembang kertas yang berjejer di pinggir jalan, atau hijaunya sawah terasering. Yang lebih mencolok, bule berseliweran di kota Bali, sampai di pelosok desa. Mereka berada dimana-mana, kost di samping rumah juga ada. Akhirnya mereka memasuki hotel klas Melati, ia mendapat kamar dipojok, tidak berderet dengan Mahalini. Syukurlah, ia enek melihat Gunawan yang selalu menatapnya penuh ancaman. "Rae, habis makan siang kita akan bicara. Kopernya bawa ke kamarmu, di koper ini berisi pakaianku, semua isinya menjadi milikmu." kata nona Mahalini membuat Rae terperangah. "Benarkah ini, semua baju dalam koper ini nona kasi saya?" tanyanya tidak percaya. "Ya, itu jadi milikmu sekarang. Semoga cukup dibadanmu." "Trimakasih nona, saya sangat terharu, nona sangat baik sama saya." Rae sangat senang, ia masuk ke kamar dan menaruh kopernya. Perasaannya lega ketika melihat kamarnya yang bersih dan rapi. Ada almari satu pintu, meja dan kursi kayu. Dipan single dan kamar mandi dalam. Cukup nyaman. Rae naik ketempat tidur, iseng membuka kopernya, ia terperanjat melihat isi kopernya. Isinya semua pakaian mewah dengan kwalitas yang mahal. Ada gaun, baju, celana panjang, baju tidur, celana pendek, celana dalam yang berbentuk aneh, dan branya juga aneh. Dalemannya semua baru masih ada cap dan harganya yang selangit. Rae mencoba pakaiannya satu persatu, ia heran, ternyata semua cukup dibadannya. Beruntung sekali ia hari ini. Mahalini baik sekali, seperti malaikat sorga. gumamnya. "Tookk...tookk...tookk.." Suara ketokan dipintu mengagetkannya. Rae cepat menutup kopernya, menyeret kakinya ke pintu, dia kaget karena nona Mahalini ada di depan pintu. "No..nona..." ia cepat menutup pintu kembali. Ia malu memakai baju Mahalini. "Hee..buka pintu." Mahalini mendorong pintu dan nyelonong masuk, untung Mahalini tidak bersama pacarnya. "Yaelah Rae, pantesan tidak keluar-keluar ternyata kamu mencoba semua baju. Kalau mau coba satu saja, tidak usah semuanya." Mahalini mengerjitkan alisnya ketika melihat baju bertebaran di tempat tidur. "Maaf nona..." ucap Rae menutup tubuhnya yang memakai lingerie "Itu namanya Lingerie dipakai saat tidur, ternyata badanmu mulus dan sexy." puji Mahalini menatap tubuh Rae dengan kagum. "Cepat ganti pakaianmu, kita makan siang dan sekalian membahas pekerjaan untukmu. Aku akan memberi kamu tugas yang harus kamu lakukan setelah pulang ke Bali." ucap Mahalini tegas. "Siap nona semoga saya bisa membantu, nona terlalu baik kepada saya." Mereka keluar kamar, ternyata Gunawan menunggu di teras sambil merokok. Bau asap rokok menyebar. "Sayank, ternyata Rae pas di badan memakai bajuku, rupanya tubuh kami sama besarnya." "Syukurlah, kebaikan nona harus kamu balas tanpa peduli apa yang diperintahkan oleh nona. Aku saja belum pernah dikasi uang sebanyak itu. Aku tidak mau kamu memanfaatkan pacarku, sedikit kamu ingkar dari perjanjian, aku bisa memutilasi tubuhmu. Seharusnya bekerja dulu baru dapat uang, nona sudah baik ngasi uang duluan. Sampai pembantu dan suster di kasih, mengertilah. Belum lagi pakaian yang tidak ternilai harganya." Gunawan mengomel panjang lebar membuat Rae tidak enak hati. "Saya mengerti Tuan dan sangat berterima kasih atas kebaikan nona dan Tuan." "Mari kita ke Restoran." ajak Mahalini. Mereka beranjak menuju Restoran yang tidak begitu jauh dari penginapan itu. Rae hanya mengikuti saja, rasanya malas makan kalau ingat kata-kata Gunawan yang cenderung julid. Ternyata Gunawan lebih bawel dari perkiraannya. "Kita cari tempat dipinggir supaya agak sepi." ucap Mahalini kepojok ruangan. Rae tidak mengerti kenapa cari tempat sepi, padahal cuma ada sepuluh orang yang makan. Orang kaya rada-rada aneh. Mereka duduk bertiga berbatas meja, Rae menyempatkan diri untuk chat ibunya. Baru beberapa jam pergi dari rumah, perasaannya sudah sedih dan kangen kepada ibunya. "Yank, sudah memesan makanan?" tanya Mahalini ketika makanan sudah tiba, padahal baru saja duduk. "Sudah, silahkan menikmati. Hari ini aku akan mentraktir kalian berdua." kata Gunawan penuh arti. "Trimakasih Tuan Gunawan." "Hahaha....jangan panggil aku Tuan, panggil Gunawan saja, malu di dengar orang. Untung restoran tidak ramai." Rae mengangguk tersenyum tipis. Mereka makan dengan lahap, selesai makan Mahalini mulai membuka percakapan. "Rae, besok kita ke klinik kecantikan. Kita akan operasi plastik. Aku ingin wajahmu mirip aku." "Maksud nona?" tanya Rae mengerjitkan alisnya. Ia mulai takut, baginya operasi wajah sangat mengerikan. Tidak ada dalam kamus hidupnya untuk merubah wajah menjadi lebih cantik atau mirip orang lain. Ia bersyukur dan bangga atas parasnya sekarang ini. "Ini rahasia kita bertiga, tidak ada yang boleh tahu. Aku sudah hampir setahun pacaran dengan Gunawan, kami sudah saling mencintai. Tapi mamaku memaksa aku untuk menikah dengan pemuda kaya. Tentu aku menentang anjurannya, padahal pemuda itu juga tidak mau menikah waktu pertama kali bertemu, tapi belakangan ia setuju menikah. Itu sebabnya aku memilih kamu tukar posisi, kamu yang menikah dengan Dewa. Aku akan menikah dengan Gunawan dan tinggal di luar Bali." "Ahh, saya tidak mau nona, masalah ini berat sekali. Saya tidak bisa menikah saat ini, apalagi dengan orang kaya. Lagipula saya tidak mau meninggalkan ibu yang lagi sakit keras. Pernikahan adalah sakral, seumur hidup, bukan untuk dipermainkan mana mungkin saya mengkhianati Tuhan dan masyarakat pada umumnya serta keluarga besar nona. Saya tidak pandai berbohong." "Jangan langsung menolak, dengarkan dulu." ketus Gunawan. "Pernikahan mu dengan pemuda itu real, kalian tidak mengkhianati siapapun. Kamu jangan takut, tidak ada yang terjadi." Rae menarik nafas panjang, kemudian membuangnya kasar. Ia sangat bingung dan takut. Ini masalah manipulasi pernikahan, kasihan pemuda itu dan orang tua masing-masing pihak. "Setelah sampai di Bali, kamu akan di jemput oleh dokter Suwanda dan Duarsa lalu diantar kerumah mamaku. Kamu akan pura-pura amnesia, akibat tabrak lari." lanjut Mahalini tambah bersemangat menjelaskan ide gilanya. Rae mulai berkeringat dingin. Ia berpikir hal terburuk yaitu ketahuan. Kalau itu terjadi masyarakat akan menuduhnya yang bukan-bukan. Pasti ia disalahkan, apalagi posisinya orang miskin. "Sepandai-pandainya menutup bangkai, akan tercium juga bau busuknya. Suatu saat kebohongan itu akan terbongkar, keluarga pemuda itu akan mencampakan saya dan memenjarakan saya." sahut Rae berusaha membuka pikiran Mahalini. "Jangan mengkhayal, semua itu tidak akan terjadi, asal kamu baik di rumah laki-laki itu, kamu pasti selamat." "Saya tidak bisa nona, saya takut..." "Jika kamu tidak mau ibumu akan mati, sekarang dia lagi di rumah sakit butuh dana untuk operasi." Gunawan ikut bicara sambil memperlihatkan vidio ibunya yang sedang dipasang selang infus. "Ibuuuuu...kenapa ibu...huhu..hhuhu.." Rae spontan menangis, membuat pengunjung lain memandangnya. "Ibumu tiba-tiba tidak bisa bernafas, saat ini berada di ICU. Jika kamu tidak setuju semua selang itu dicabut oleh dokter dan ibumu tinggal nama." "Nona mengancam saya?" "Kau tahu berapa biaya tiap hari di ruang ICU, belum biaya dokter dan obat?" Rae terdiam. Ia menangis sesenggukan. Otaknya tiba-tiba sulit berpikir jernih. Nyawa ibunya ada pada keputusannya. Jika situasi ini menimpa ibunya, pasti wanita tua itu tidak membantah dan memilih mengikuti nona Mahalini. Nasib buruk apa yang nenimpanya, jika nyonya Fransiska tahu yang sebenarnya. Atau laki-laki yang akan menikahinya sadar bahwa istrinya orang miskin. Ia tidak berani membayangkan apa yang bakal terjadi. "Saya sebenarnya berat menjalani semua ini, demi kesehatan ibu, saya rela. Asal ibuku bisa selamat seperti sedia kala." "Kamu anak yang berbakti, Bagaimana pun juga ibumu menyelamatkan dirimu dari bayi dan dari kematianmu. Jika kamu menolak berarti kamu egois. Ntah berapa uang sudah ibumu habisi dan penderitaan yang ibumu rasakan, tapi dia tidak mau mengeluh. Kamu hanya mengorbankan sedikit saja sudah merasa menderita." kata Mahalini membuat Rae semakin pasrah menerima usulannya. "Jika saya tukar posisi apakah nona akan mendampingi ibuku dengan baik?" "Ya dan aku akan mengatakan bahwa aku operasi wajah. Ibumu akan maklum, aku akan membuat ibumu bahagia." "Nona, berjanjilah akan merawat ibu, saya juga berjanji menerima tawaranmu." "Aku berjanji atas langit dan bumi. Kadang kita harus berkorban demi keselamatan orang lain." Sepanjang malam Rae menangisi nasib hidupnya yang malang. Besok wajahnya akan berubah menjadi lain. Ya Tuhan, dosaku terlalu banyak, sehingga hamba menerima karma buruk yang mengerikan. Rae merasa sedang dipermainkan oleh nasib, tenggelam ke dalam mimpi berlapis-lapis, mimpi yang di dalamnya ada mimpi lagi, lagi dan lagi. Jarum jam terus berputar mengikuti takdir nya, tidak mengeluh saat dituduh mengejar sejuta umat manusia, ia tetap berputar maju dan menolak mundur. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN