Argan berjalan memasuki minimarket tempatnya bekerja kini. Pemuda itu memperhatikan sekitarnya dan keadaan minimarket saat itu sedang lengang, dan bahkan mendekati kata sepi, pasalnya hanya ada satu orang saja yang tengah membeli keperluannya di minimarket itu. Selain itu Argan hanya melihat Fiko di sana. Cowok berambut cepak itu tengah menghitung uang dalam laci kasir. Fiko bahkan tak menyadari bahwa Argan yang masuk ke dalam minimarket, saking fokusnya cowok itu.
Fiko baru menyadari keberadaan Argan ketika pemuda itu berdiri begitu saja di depan meja kasir. Argan tak mengucap apa- apa dan sengaja ingin mengejutkan Fiko.
“Eits, kaget gue!” seru Fiko ketika ia mendongakkan kepalanya dan tak tahu bahwa Argan ada di depan meja kasir itu. Ekspresinya kentara sekali bahwa ia benar-benar terkejut.
Sedangkan orang yang mengerjai Fiko itu bukannya merasa bersalah malah tertawa dengan jahatnya. Argan menertawai Fiko keras- keras, sampai membuat pembeli yang tengah memilah milih barang itu sekilas menoleh. Orang itu namun hanya sekilas, selanjutnya kembali melanjutkan memilih barang- barang yang ia butuhkan.
“Ekspresi wajah lo! Haha, kocak!” seru Argan dengan mata menyipit, menandakan bahwa ia benar-benar tertawa. Ia sampai mengusap airmata di sudut matanya itu. “Kaget, ya?” Tanya Argan lagi seraya meledek Fiko.
Fiko memutar bola matanya, ia menatap Argan dengan jengah. Argan ini selalu saja mengerjainya setiap ada kesempatan. Ya meskipun terkadang gentian Fiko yang mengerjai Argan, namun tetap saja lebih sering Argan yang mengerjainya.
“Pake nanya lagi!” Fiko mengucap kalimat itu dengan sebal.
Ketika ia baru menyadari bahwa Argan datang ke minimarket di waktu yang tak seharusnya, Fiko mengubah ekspresinya. Ia menjadi bingung mengapa Argan ada di sini.
“Eh, lo ngapain di sini? Bukannya sekarang waktunya kuliah, ya?” tanya Fiko mengerut dahinya. Ia melirik jam tangannya, dan mendapati bahwa kini jam baru menunjuk di pukul sepuluh pagi. “Gak kuliah?” tanya Fiko lagi.
Argan terkekeh, ia menunduk menatap sepatunya dan kembali menatap Fiko yang masih menanti jawaban darinya itu. Argan mengulas senyumnya ketika pemuda itu berucap, “Gue lagi gak ada kelas. Dosennya minta pindah jam jadi jam tujuh pagi. Gila aja gue bahkan kesiangan dan telat masuk kelasnya.” Argan menggelengkan kepalanya ketika mengingat bagaimana riwehnya ia tadi pagi. Ia harus sudah bangun di saat Nino masih tertidur lelap. Ia terkadang iri pada Nino yang merupakan anak jurusan Bisnis itu yang terkadang sering sekali berangkat siang, bahkan Nino sering kali masuk paling pagi jam sembilan pagi, dan terkadang pulang jam tiga sore. Tak seperti Argan yang biasanya kelas dimulai pagi dan pulang jam empat sore.
“Oh, lagi gak ada kelas.” Fiko hanya mengangguk- anggukkan kepalanya menatap Argan itu. Selanjutnya ia kembali bertanya, “Terus lo mau ngapain di sini?” Fiko bertanya dengan alis terangkat sebelah.
Argan tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Gue ke sini mau apelin lo, lah!” serunya dengan raut bercanda. Selanjutnya ia tertawa lebih keras lagi.
Fiko mendecih. “Anjir, najis!” Ia hendak melempar Argan dengan uang di tangannya yang sedari tadi dihitungnya itu namun tak jadi.
“Sini …. kenapa gak jadi dilempar?” Argan malah menantang sembari meledek.
Fiko memberi tatapan sangarnya. “Enak aja!” Cowok itu mendecak. “Yang ada lo kesenengan nanti gue lempar pake uang!”
Namun detik berikutnya ia ikut tertawa bersama Argan. Mungkin Argan memang sering mengerjai dan meledeknya, namun Fiko juga tak pernah benar- benar marah pada Argan. Ia justru mengerti bahwa dengan cara itulah Argan akrab padanya. Setidaknya Argan bukanlah sosok partner kerja yang menyebalkan.
Argan menggulung saku kemejanya. “Lo udah sarapan, ‘kan?” tanyanya lagi. Tentu saja ia harus berbasa- basi terlebih dahulu pada Fiko, baru setelahnya ia akan mengatakan maksud tujuannya yang sebenarnya ke mari.
Fiko kini telah menyelesaikan kegiatannya menghitung uang yang sedari tadi tak selesai- selesai itu karena adanya Argan yang meledeknya itu. “Udah, dong.”
Ia meletakkan kembali uang- uang itu pada laci kasir itu dan berikutnya ia mendongak pada Argan ketika mengetahui ada yang tak biasanya. “Tumben amat, lo.” Fiko kini menyeka tangannya dengan tisu basah yang telah diberi pembersih kuman itu. Ia menyangga dagunya menatap Argan. “Lo pasti ada sesuatu yang pengen diomongin, ‘kan ke gue?” terkanya.
Argan mengerjap. Ia terkekeh. Sepertinya ia sudah tertangkap basah sekarang. Jadi ia tak bisa lagi mengelak, ‘kan?
Fiko terkekeh melihat Argan yang menyadari bahwa dirinya itu ketahuan. “Tuh, ‘kan bener. Ada apa?”
Argan meringis. “Yah, gue ketahuan cepet banget, ya!” Pemuda itu mendekatkan tubuhnya pada meja kasir. “Gue mau bilang sesuatu.” Ia makin mendekatkan tubuhnya pada meja kasir, hingga membuat Fiko penasaran.
“Apa?”
Argan menatap Fiko dengan tatapan yang sangat serius, pemuda itu sengaja membuat suasana di sekitarnya menjadi serius. Ia mulai membuka suaranya. “Gue mau tawarin lo sebuah kesempatan emas.” Ia benar- benar membuat Fiko makin penasaran.
“Tunggu! Lo gak akan ajakin gue ikut MLM, ‘kan?” Fiko bertanya dengan random.
Entah mendadak suasana tidak seserius sebelumnya. “Tadi lo bilang kesempatan emas.”
Argan memutar bola matanya. “Bukan, anjir!”
Fiko yang tadi sempat mundur kini kembali memajukan kepalanya. “Terus?”
Argan kembali memasang raut seriusnya. “Gue mau tukeran jadwal shift.” Ia mengakhiri kalimatnya itu dengan raut yang tak kalah seriusnya.
Fiko mengerjap. Ia makin merasa telah dikerjai oleh Argan. “Cuma tukeran jadwal shift doang?” tanyanya.
Argan mengangguk dengan serius. “Iya.”
Fiko mengulum bibirnya sangat kesal. “Gue kira apaan.” Ia menatap Argan dengan sorot mata jengah. “Tukeran gimana? Buat kapan?” tanyanya.
“Buat satu bulan.” Argan mulai menjelaskan. “Jadi gue mau tuker jadwal shift, di mana lo kebagian jaga minimarket pagi terus, sedangkan gue malem terus,” jelas pemuda itu. “Gimana? Bukannya ini kesempatan emas buat lo?”
“Emang lo mau ngapain selama sebulan ini? Sampai harus tuker shift segala?” tanya Fiko lagi dengan penasaran.
Argan menatap Fiko. “Gue ada misi penting, di mana gue harus ngelindungin seseorang.” Ia hendak menjelaskan kembali kelanjutan kalimatnya itu pada Fiko namun sayangnya Fiko justru memasang wajah bingung. “Ya, intinya gue ada perlu. Gitu aja, deh.” Akhirnya ia tak jadi mengatakan yang sebenarnya pada Fiko itu.
Fiko sudah membuka bibirnya, ia baru akan membalas lagi ucapan dari Argan itu, namun tak sempat ketika pembeli yang sedari tadi tengah memilih barang itu kini menyodorkan dua buah bungkus tisu di hadapan Argan dan Fiko itu. Ia bahkan hampir melupakan bahwa semenjak tadi masih ada pembeli itu, ia sangka pembeli itu telah ke luar sejak tadi.
Argan juga sontak memundurkan tubuhnya itu dan mempersilahkan agar pembeli itu maju ke depan. Ia segera menyingkir dari situ.
Fiko segera meng-scan dua bungkus tisu itu dan menghitung jumlah uangnya. Setelahnya cowok itu mendongak dan berucap, “Totalnya dua puluh satu ribu.” Ia tersenyum menatap pembeli depannya itu yang mengenakan masker hitam itu.
Si pembeli segera mengangguk dan tanpa mengucapkan apapun, ia mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Dan langsung diberikan kembalian oleh Fiko.
Semua transaksi itu terekam dalam indera penglihatan Argan. Pemuda itu juga memperhatikan si pembeli yang berjenis kelamin pria itu, dan tinggi badannya yang sejajar dengannya itu. Ia juga memperhatikan masker hitam yang dikenakan oleh si pembeli itu.
Fiko dengan cekatan memberikan dua buah bungkus tisu yang sudah ia masukkan ke dalam kantung kresek itu pada pembeli itu. Si pembeli itu kemudian mengucapkan ucapan terima kasihnya dan segera mundur untuk meninggalkan minimarket, namun sebelumnya, ia harus melewati Argan.
Tepat pada saat pembeli itu melewati Argan, seketika Argan merasakan dejavu. Pemuda itu mendadak mengingat peristiwa malam itu, ketika Bella diikuti oleh pria asing. Bahkan saat pria itu melewati Argan malam itu, ia juga menjadi mengingat semuanya.
Dan seketika Argan mendongak. Mata pemuda itu membelalak lebar.
Pria itu … si pembeli itu … adalah sosok pria asing yang mengikuti Bella!