1- Kabar Penting
Argan menatap layar ponselnya yang memunculkan foto teman sekamar kosnya, Nino. Pemuda itu menghubungi Argan mendadak padahal saat ini ia tengah berada di dalam kelasnya, mengikuti mata kuliah yang ia ulang akibat tidak dapat mencapai standar kelulusan.
Argan sekali lagi memikirkan untuk menerima telepon dari Nino itu. Namun ia pun memikirkan jika memang teman sekamarnya itu sampai meneleponnya, artinya ada sesuatu hal genting yang sangat harus ia lakukan.
"Ganggu aja deh, si Nino," batin pemuda itu.
Dengan menghembuskan napas kasarnya, ia segera mengangkat tangan kanannya tinggi- tinggi.
"Bu!" seru Argan, membuat beberapa mahasiswa lain, em, adik tingkatnya menoleh ke arahnya. Namun berikutnya mereka kembali berkutat dengan urusan masing- masing.
Dosen berkacamata di depan ruangan mulai menurunkan kacamatanya. Menatap Argan dengan selidik.
"Ada apa?" tanyanya dengan nada khas ibu- ibunya.
Pikirannya mungkin sama dengan semua mahasiswa lain yang ada di dalam ruang kelas itu. Argan memang mengganggu berjalannya kelas pagi ini.
Argan menyengir lebar menatap dosennya itu. Kemudian berujar dengan lembut, "Saya dapat telepon, sepertinya penting. Boleh saya angkat, Bu?" Pemuda itu melebarkan cengirannya sembari mengangkat ponselnya tinggi-tinggi.
Sang dosen menatap Argan, menelisik raut wajah pemuda itu dengan tajam. Ia mencari titik kebohongan dari pemuda itu namun sama sekali tidak menemukan hal bohong apapun.
Selanjutnya, ia hanya mengangguk setelah mengembuskan napasnya. "Iya, boleh," ucapnya. Kemudian segera kembali menatap layar lcd proyektor.
Argan yang melihat itu segera mengangguk setelah mengucap terima kasih. Bergegas ia melangkah menuju luar ruangan untuk segera mengangkat telepon dari Nino. Ponselnya masih bergetar kala ia sudah berada di luar ruangan. Argan segera menduduki kursi panjang di luar ruang kelasnya dan mengamati keadaan sekitar. Sepi. Jadi ia aman.
"Halo?"
"Halo!"
Seruan di sebrang sana membuat Argan terkejut. Ia menjauhkan ponsel dari telinganya dengan sebal.
"Apaan?" tanyanya dengan geram. Nino membuatnya sebal sekarang.
"Gan, gue ada kabar penting!"
Nino tampak menggebu- gebu dalam mengucapkan kalimat itu. Pemuda itu tampak seperti sedang ... panik?
"Apaan, No? Kabar penting apa?" tanyanya lagi masih mencoba untuk sabar. Ia lagi- lagi mendengar Nino menarik dan menghembuskan napas berulang kali.
"Tenang dulu, No. Tarik napas, terus buang. Terus tutup teleponnya kalau lo gak ngomong juga!"
Akhirnya kesabaran Argan sudah habis. Ia memutar bola mata jengah. "Gue lagi ada jadwal mata kuliah, Nino!"
"Lo gak baca grup chat anak- anak penerima beasiswa?" tanya Nino di seberang sana, masih terkesan panik.
Argan mengerut dahinya. Seharian ia memang hanya meng-scroll chat yang masuk dan belum membaca sama sekali. Ia disibukkan oleh kuliahnya sejak tadi pagi. Jadi tentu saja ia tidak tahu menahu apapun terkait grup chat itu.
"Enggak. Emang ada apa?" tanyanya bingung.
Agaknya apa yang sampai membuat Nino sampai panik di sebrang sana, sampai meneleponnya di tengah jam kuliahnya dengan nada seperti itu?
Nino menggumam beberapa kali. "Lo harus buka grup chat-nya nanti biar lebih jelasnya. Tapi sekarang lo dengerin gue." Pemuda itu masih menggebu- gebu.
Argan mengangguk, kemudian saat menyadari Nino tidak mungkin melihatnya, pemuda itu segera menjawab, "Iya."
"Beasiswa kita mau diubah ketentuannya. Ada rumor bilang kalau beasiswa kita sekarang gak akan full lagi," jelas Nino di sebrang sana dengan nada panik. Nino menarik napasnya kemudian kembali melanjutkan, "Nanti akan ada pertemuan mahasiswa penerima beasiswa itu sama dosen. Tapi gue gak tahu apa rumor itu benar atau cuma bohong."
Argan sontak membulatkan matanya lebar. Ia berseru dengan keras membuat gema di lorong di depan ruang kelas itu.
"Apa?!"
***
"Ada kebijakan baru dari Pihak Rektorat."
Seorang wanita berkacamata berdiri di depan lima orang mahasiswanya. Wanita itu merupakan Kepala Bagian Keuangan di Universitas Harapan. Ketika wanita itu menjelaskan apa yang ingin disampaikan, seluruh tatapan mahasiswanya terfokus dan mendengarkan dengan seksama.
Termasuk juga dengan Argan dan Nino. Dua dari kelima mahasiswa yang tengah berkumpul di ruangan Kepala Bagian Keuangan itu adalah mereka. Hari ini para penerima Beasiswa Miskin sengaja dikumpulkan untuk menerima kabar terbaru terkait kebijakan beasiswa kampus. Namun tetap saja mereka berharap jika kabar yang akan mereka dapatkan nanti bukanlah kabar buruk. Mereka berharap bahwa rumor yang beredar itu hanya lah kabar burung semata.
"Rektorat belum menemukan investor atau donatur baru setelah donatur yang lama pindah ke luar negeri. Sehingga hal ini berpengaruh terhadap jumlah dana beasiswa yang diterima kalian di semester ini hingga semester selanjutnya." Wanita ber-nametag Puspita itu berujar nyaring di depan ruangan.
Matanya menelisik satu per satu mahasiswa di depannya itu. Mereka hanya diam, masih mendengarkan dengan khitmad.
Kemudian ia melanjutkan, "Untuk semester ini dan selanjutnya, kalian hanya akan mendapatkan biaya semester dalam bentuk SPP bulanan untuk per semester sampai semester delapan nanti. Jadi, tidak ada tambahan biaya makan atau uang saku per bulannya seperti yang sudah-sudah."
Setelah Puspita selesai menjelaskan kalimat itu, barulah seluruh mahasiswa yang ada di dalam ruangan itu tercengang bersamaan. Mereka terkejut mendengarkan kebijakan baru dari kampus itu. Ternyata rumor yang beredar itu benar adanya. Pasalnya, selama ini mereka mau berkuliah di kampus itu juga karena ada biaya makan dan uang saku yang ditanggung oleh kampus.
Argan dan Nino bersitatap. Keduanya saling bercakap di udara tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Mereka tentu saja ikut terkejut mendengar kabar ini. Nyatanya harapan tentang kabar ini, pupus sudah, pada akhirnya kabar yang mereka dapatkan adalah kabar buruk.
"Kalau tidak ada yang ingin ditanyakan, silakan bisa keluar ruangan," ucap Puspita ketika melihat seluruh mahasiswa di depannya hanya diam. Meskipun mereka bersitatap dengan teman-temannya, namun mereka hanya diam, tidak berani memprotes atau berkata apapun.
Hingga seorang mahasiswa mengangkat tangannya, membuat seluruh mata menatapnya. Mahasiswa yang mengangkat tangan itu adalah Argan.
"Saya Argan, izin bertanya, Bu."
Puspita menelisik raut wajah Argan sebelum berujar, "Silakan."
Argan menarik napasnya. Sebagai penerima beasiswa dengan semester tertua di dalam ruangan itu, yaitu semester empat, ia rasa dirinya harus mewakili mahasiswa lainnya, termasuk adik-adik tingkatnya.
"Mengapa kebijakan kampus bisa berubah dalam sekejap, Bu?" tanya pemuda itu. Dengan cepat ia melanjutkan, "Kami tentu saja berani berkuliah di kampus ini karena sejak awal kampus menjamin untuk memenuhi seluruh biaya hidup kami selama kuliah."
Argan berhasil mengeluarkan seluruh uneg- unegnya. Ucapannya langsung mendapat anggukan dari mahasiswa lain.
Puspita mengangkat kacamatanya sebelum berujar, "'Kan tadi sudah saya katakan." Kemudian ia kembali melanjutkan. "Kalau ada donatur yang sudah pindah ke luar negeri, selain itu juga dana dari mahasiswa yang membayar biaya semesternya tidak bisa mencukupi."
Kemudian Puspita memajukan tubuhnya ke arah Argan yang menatapnya tanpa gentar.
"Kami juga masih harus membagi dana beasiswa untuk Beasiswa Mahasiswa Berprestasi. Mereka bahkan biasanya tidak mendapatkan jatah uang saku seperti kalian, hanya keringanan biaya SPP. Bukankah kalian seharusnya bersyukur karena kami tidak mencabut seluruh dana beasiswa?" ujar wanita itu tepat di depan Argan.
Semua yang ada di dalam ruangan itu lagi- lagi tercengang. Argan pun menjadi mengerjapkan matanya setelah mendengarkan kalimat dari bibir Puspita.
Puspita kini memundurkan tubuhnya dari depan Argan, lalu berjalan kembali ke tengah ruangan.
"Jika kami menyokong mahasiswa berprestasi itu, kami akan mendapat imbal balik berupa piala kejuaraan atau sertifikat penghargaan. Sedangkan jika kami menyokong kalian, apa yang akan kami dapat?" tanyanya lagi. "Bukankah kalian harusnya bersyukur?"
Mereka semua mengerjap saking terkejutnya. Tidak menyangka akan mendapatkan kalimat telak seperti ini. Karena nyatanya semua yang dikatakan wanita di tengah ruangan itu adalah benar. Seluruh penerima Beasiswa Miskin memang tidak pernah dibebani untuk keharusan mendapatkan IPK tinggi, atau memenangkan kejuaraan. Mereka hanya perlu berkelakuan baik dan tidak menimbulkan masalah di kampus. Seluruh prosesi seleksi sudah dilakukan di awal melalui observasi langsung ke rumah masing-masing, sehingga mereka yang terpilih hanya perlu datang ke kampus.
Argan hendak menyangkal kembali kalimat wanita itu, namun ia pun tidak tahu apa yang harus dikatakannya lagi. Benar- benar, mereka harus bersyukur karena setidaknya beasiswa mereka tidak berkurang seluruhnya. Setidaknya mereka tak perlu memusingkan biaya SPP per bulan yang totalnya jutaan itu.
"Kalau tidak ada yang ingin ditanyakan lagi, silakan keluar ruangan."
***